Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langit dan tanah Bagdad belum lagi menyediakan sepetak pojok yang nyaman. Di Irak pasca-Saddam, kepada wartawan yang masih lalu-lalang meliput negara yang tengah membangun diri ini, "ditawarkan" tiga ancaman: peluru nyasar, bom mobil tersembunyi yang siap memburaikan tubuh setiap detik, atau penculikan. Entah yang dilakukan atas motif politik atau karena pertimbangan ekonomi.
Penculikan dan penyekapan terhadap wartawan Metro TV Meutya Hafid dan Budiyanto beberapa hari lalu masih untung berakhir melegakan dengan dilepasnya kedua wartawan oleh para penculik. Maklum, sebelumnya, tak sedikit wartawan asing yang menemui ajalnya di tangan mereka. Yang paling sial jika wartawan diculik oleh para Ali Babaini sebutan untuk para begal yang menyekap wartawan karena alasan ekonomi. Para Ali Baba sering tak berpikir panjang, apalagi menyangkut hubungan antarnegara. Yang penting, wartawan asing bisa diperas untuk menjadi sumber pendapatan baru.
Status netralitas wartawan yang dijamin Konvensi Jenewa lebih bersifat teoretis ketimbang yang terjadi di lapangan. Selama peliputan pemilu 30 Januari silam, misalnya, Tempo beberapa kali diinterogasi oleh polisi dan tentara Irak, serta pasukan AS. Bahkan saat meliput kegiatan di depan satu tempat pe-mungutan suara di Bagdad, kamera Tempo dirampas polisi setempat meski wartawan mingguan ini sudah menunjukkan kartu identitas dan akreditasi bagi wartawan asing. Kamera akhirnya dikembalikan, setelah beberapa petugas meluncurkan maki-makian.
Di jalan raya problemnya lain lagi. Pihak penggeledah biasanya pasukan koalisi yang dimotori Amerika Serikat. Mereka tak kalah galak. Untung, sepucuk "surat sakti" yang dikeluarkan Kedutaan Besar AS di Jakarta menjadi penangkal yang manjur dari penggeledahan lanjutan. Tapi surat ini atau tanda pengenal wartawan tak bisa seenaknya dikalungkan di leher. "Di tempat umum sembunyikan badge Anda, kalau tidak ingin jadi sasaran penembakan atau penculikan," kata wartawan Al-Ahram, Daud, ketika berjalan kaki dengan Tempo akibat tak diperbolehkannya menggunakan mobil saat pemilu berlangsung.
Daud sempat ketakutan ketika Tempo menyatakan ingin menumpang mobilnya menuju Corsul Muktamarat. "Coba lihat paspor dan tanda pengenal Anda? Nyawa saya cuma satu. Saya tak mau mati karena memberikan izin seseorang naik kendaraan tetapi membawa bom," katanya. Walhasil, Tempo harus mengizinkan Daud menggeledah seluruh tubuh, karena ia masih tak percaya dengan paspor dan tanda pengenal yang ditunjukkan.
Di Basra, beberapa hari lalu koresponden stasiun televisi yang dibiayai AS Al-Hurra, Abdul-Hussein Khazal, 40 tahun, ditembak oleh orang tak dikenal, setelah melakukan peliputan di dekat Shatl-Arab, yang merupakan pusat kerumunan di kota itu. Khazal dieksekusi bersama putrinya yang baru berumur tiga tahun. Padahal beberapa jam sebelumnya Tempo masih sempat melihat Abdul Hussein mengambil gambar bersama juru kameranya.
Ironisnya, tempat yang paling mengerikan bagi kebanyakan jurnalis justru zona hijau, kawasan steril dekat Kedutaan Besar AS yang dijaga sangat ketat oleh pasukan Abang Sam. Semua jurnalis yang berada di sini justru mengenakan rompi antipeluru, karena wilayah ini merupakan tempat "favorit" sebagai target penembakan dan pengeboman. Alhasil, makin banyak saja media asing yang memilih menggunakan wartawan lokal sebagai koresponden ketimbang menerjunkan wartawan sendiri.
Salah satunya adalah Maha Al-Sharif, Pemimpin Redaksi The Star Yordania. Ia mengaku tak akan mengirimkan lagi jurnalisnya ke Irak, sebelum negeri itu benar-benar aman. "Nasib wartawan asing di Irak itu tak jelas. Kami tak bisa menghubungi siapa pun yang dianggap bertanggung jawab terhadap suatu kejadian," katanya kepada Tempo.
Al-Sharif pernah punya pengalaman buruk ketika kontributor The Star, Christian Chesnot, yang juga bekerja untuk Radio France International Prancis, disekap selama empat bulan di Irak. "Chris hilang dalam perjalanan dari Bagdad menuju Najaf pada 19 Agustus 2004," ujarnya. Bersama Chesnot, diculik juga George Malbrunot, wartawan koran Le Figaro Prancis, dan sopir asal Suriah, Muhammad Al-Joundi, yang membawa mereka ke kawasan tersebut.
Dalam rekaman yang kemudian disiarkan kanal televisi Al-Jazeera, Chesnot dan Malbrunot meminta Presiden Prancis Jacques Chirac untuk mematuhi permintaan para penculik: mencabut larangan pemakaian jilbab bagi muslimah di sekolah-sekolah Prancis. "Larangan itu salah dan bertentangan dengan hukum. Mungkin saya bisa mati kapan saja," kata Chesnot, 37 tahun. Keduanya baru dibebaskan setelah tokoh Islam di Prancis, Qatar, Libanon, Raja Abdullah dari Yordania, dan mendiang Presiden Palestina Yasser Arafat, meyakinkan penculik bahwa keduanya murni jurnalis, bukan antek AS.
Menurut Budiyanto, juru kamera Metro TV, yang sudah dua kali meliput di Irak sebelum disekap pekan lalu, kondisi sekarang jauh lebih mengerikan dibanding zaman perang dan saat terjungkalnya Saddam Hussein. Dulu, dari dalam taksi yang berjalan, Budi bisa mengambil gambar tanpa perlu takut. "Sekarang, kalau saya mengarahkan kamera lewat taksi, tentara AS, tentara dan polisi Irak, langsung mengarahkan senjatanya yang siap tembak," kata Budi.
Suatu saat, Budiyanto pernah nekat mencoba merekam gambar. Taksi dihentikan dan ia digeledah di bawah todongan senjata. Otoritas keamanan juga tak segan-segan menghapus gambar yang sudah diambil tanpa memberikan alasan yang jelas. Akhirnya ia memutar otak. "Kadang-kadang saya akali dengan memberikan film yang sudah tak terpakai," katanya.
Federasi Wartawan Internasional (IFJ) mencatat sudah 72 wartawan asing terbunuh di Irak, sejak negeri itu diduduki pasukan koalisi dua tahun silam (lihat Para Jurnalis Pengundi Nyawa). Komisi Perlindungan Wartawan (CPJ), yang bermarkas di New York, mengumumkan 23 jurnalis tewas sepanjang tahun 2004. Dua orang wartawan lagi dikabarkan tewas tapi belum mendapat konfirmasi.
Memasuki tahun 2005, kembali jurnalis Prancis, Florence Aubenas dari Liberation, lenyap bersama penerjemahnya asal Irak, Hussein al-Saad.
Pada awal Februari, giliran wartawan Italia Giuliana Sgrena, reporter il manifesto, Italia, yang diciduk di dekat Universitas Bagdad setelah mewawancarai seseorang. Giuliana ditangkap oleh kelompok orang bersenjata. Tempat itu setengah jam sebelumnya baru saja dilewati Tempo.
Dengan kondisi seperti ini, tak mengherankan jika CPJ "menobatkan" Irak sebagai tempat liputan paling berbahaya di muka bumi saat ini, yang belum menyediakan sepotong pun lahan bagi rasa aman.
Ahmad Taufik (Bagdad, Amman), Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo