Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tersandera karena Warta

Sejak invasi AS, puluhan wartawan peliput Irak disandera dan menjadi komoditas kelompok bersenjata. Sebagian dilepas dan sebagian dibunuh.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 2004 dinobatkan Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) sebagai tahun kelabu bagi wartawan. Dan kuburan terbesar bagi para jurnalis adalah Irak. Pekan lalu, menurut data IFJ, 72 wartawan tewas saat bertugas di sana sejak Amerika menginvasi Negeri Seribu Satu Malam itu dua tahun lalu. Di antara mereka ada yang meregang nyawa dipancung penyandera. Bagi kaum militan bersenjata, para jurnalis juga menjadi komoditas yang bisa ditukar dengan sebuah kebijakan negara asal para pewarta itu. Inilah kisah sebagian dari mereka.

Christian Chesnot dan Georges Malbrunot Dua wartawan asal Prancis itu diculik gerilyawan Irak di sebuah tempat di selatan Bagdad, 20 Agustus tahun lalu. Kelompok bersenjata tersebut menuntut agar Prancis mencabut kembali larangan pemakaian jilbab bagi siswi muslim. Tuntutan itu ditolak. Namun, upaya pembebasan koresponden untuk radio France-Internationale dan harian Le Figaro pun dilakukan cukup keras. Pemerintah Prancis bahkan meminta bantuan Sekjen Liga Arab Amr Mousa dan Presiden Mesir untuk ikut membantu membebaskan warganya ini. Upaya keras itu pun berbuah manis. Tiga bulan berselang, Chesnot dan Malbrunot akhirnya dibebaskan. ”Mimpi buruk telah berlalu. Sekarang kami bisa melalui Natal yang sangat membahagiakan,” kata Andree, ibu Malbrunot, begitu anaknya dilepaskan, Desember tahun lalu.

Florence Aubenas Aubenas, wartawan senior harian Liberation, Prancis, dinyatakan hilang sejak 5 Januari 2005. Terakhir, Florence terlihat bersama Hussein Hanoun al-Saadi, penerjemahnya, sedang meninggalkan hotelnya di Bagdad. Jurnalis harian berbahasa Prancis ini diyakini diculik kawanan bersenjata militan Irak yang menentang pendudukan Amerika dan sekutunya di Irak. Hingga kini belum jelas nasib wartawati berparas ayu itu.

Giuliana Sgrena Awal Februari lalu, Guiliana Sgrena masih terlihat sedang mengendarai sebuah mobil bersama penerjemahnya. Wartawati media Il Manifesto ini baru saja mewawancarai para pengungsi di Fallujah, Irak. Kemudian, jurnalis harian berbahasa Italia itu lenyap dalam kurungan penculik. Para penyandera meminta agar Italia menarik pasukannya dari Irak. Pertengahan Februari lalu, Associated Press Television menayangkan gambar video Guiliana. ”Tolong saya, tolong saya—penuhi permintaan penarikan pasukan. Selamatkan jiwa saya,” kata Guiliana yang dalam tayangan video tadi terlihat kuyu dan sayu. Tidak jelas apakah wanita berusia 56 tahun tersebut akan mengalami nasib yang sama seperti koleganya, Enzo Baldoni.

Enzo Baldoni Jurnalis mingguan Il Diario ini mengalami nasib nahas yang mengenaskan. Ia tewas di tangan kelompok yang menamakan diri Tentara Islam. Akhir Agustus tahun lalu, televisi Al-Jazeera menayangkan eksekusi Baldoni. Menurut para penyandera, wartawan media berbahasa Italia itu terpaksa mereka bunuh karena Italia tidak memenuhi tuntutan menarik pasukannya dari Irak. Diculik pada 24 Agustus 2004, wartawan perang berusia 56 tahun itu dieksekusi tiga hari kemudian. ”Tindakan barbar yang tidak layak dilakukan di zaman peradaban,” kata Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, yang tetap berkeras menempatkan 3.000 tentaranya di sana.

Meutya Hafid dan Budiyanto Reporter dan juru kamera Metro TV Meutya dan Budiyanto disandera kelompok bersenjata di Irak, 15 Februari lalu. Saat itu, keduanya sedang berada di sebuah stasiun pengisian bahan bakar di Ramadi. Para penyandera, yang menyebut kelompoknya sebagai Jaish al-Mujahidin, meminta pemerintah Indonesia menjelaskan maksud keberadaan kedua jurnalisnya di Irak. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menjawab bahwa keduanya wartawan yang menjalankan tugas peliputan pemilu di Irak. Jawaban presiden disiarkan jaringan televisi Al-Jazeera. Dua hari kemudian, 21 Februari, kedua wartawan dibebaskan. ”Kami diperlakukan dengan baik oleh para penyandera,” kata Meutya.

Johan Budi SP (AP, AFP, BBC News dan IFJ)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus