Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampah di mana-mana sama saja, bau, mengganggu kesehatan lingkungan, dan tak sedap dipandang. Hal itu dianggap menjadi perkara serius ketika berada di daerah pariwisata. Lihat saja misalnya di Suwung, sampah itu kini menyembul dan merambah hutan bakau yang terhampar di tepi pantai. Tidak ada lagi batas tegas antara pantai dan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
Padahal, Suwung, Denpasar, Bali selatan, berada di jalur strategis pengembangan wisata alam. Berdekatan dengan pelabuhan wisata Benoa dan searah menuju bandara internasional Ngurah Rai. Wilayah itu letaknya tepat berseberangan dengan Pulau Serangan, yang kaya keragaman hayati, mulai dari hutan bakau, terumbu karang, burung laut, ikan hias..., tapi, ups... kenapa banyak sampah berserak di mana-mana? Bahkan, kalau sampah itu hanyut sejauh dua kilometer saja ke selatan, akan menjadi tamu baru di surga olahraga air, Benoa.
Perkembangan kondisi TPA Suwung itu kini sering disebut sudah dalam kondisi mencemaskan. Sepuluh tahun lalu, misalnya, ditetapkan hanya 10 hektare lahan di dalam taman hutan raya yang digunakan sebagai tempat sampah, tapi kini wilayah itu meluas secara paksa, hingga empat kali lipat. Dari tiga ancaman potensial terhadap kesehatan warga dan industri pariwisata?bau, pencemaran air, dan asap kebakaran?ancaman yang terakhir telah menampakkan batang hidungnya. ?Setiap kemarau pasti ada kebakaran di TPA ini,? kata bekas Wali Kota Denpasar, A.A. Puspayoga, cemas.
Di Bali, agaknya bukan hanya Denpasar yang dipusingkan perihal sampah. Tetangganya, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan, juga mengalami soal yang sama. Peningkatan volume sampah di keempat kota sudah mencapai 3.000 meter kubik setiap harinya. Ini membuat pemerintah daerah merasa kewalahan. Banjir sampah ini ibarat air, sulit dibendung dan selalu mengalir ke tempat lain.
TPA Canggu di Badung, misalnya, yang sudah ditutup karena terlalu penuh, akhirnya sampah yang datang terpaksa dialihkan ke TPA Suwung. Nasib TPA Mandung di Tabanan dan TPA Temesi di Gianyar agaknya akan sama. Tidak sampai dua tahun ke depan, keduanya juga sudah harus ditutup. Tidak tahu lagi ke mana banjir sampah itu akan mengalir kemudian.
Badan Pengelola Kebersihan Sampah (BPKS) Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) memperkirakan pada tahun 2010 volume akan bertambah cepat mencapai 4.700 meter kubik setiap hari. Atau jika dihitung dalam setahun, volumenya akan menjadi 32 kali volume Candi Borobudur (volume Borobudur 55 ribu meter kubik). ?Lingkungan harus segera diselamatkan dan kerusakan hutan bakau harus dikurangi,? ujar Made Sudharma, Kepala BPKS.
Sesungguhnya, sampah adalah permasalahan sama yang dihadapi Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia. Tetapi, ketika kota-kota itu masih gagap mengatasi persoalan sampah, pemerintah daerah tingkat dua Sarbagita, Bali, telah bergerak cepat. Sebab, sejak Mei tahun lalu, dengan menggandeng investor asal Inggris, PT Navigate Organic Energy Indonesia (PT NOEI), dengan memilih lokasi enam hektare lahan di TPA Suwung, mereka berencana tidak hanya mengelola, melainkan juga mengubah sampah menjadi listrik.
Caranya, dengan sekaligus menggabungkan tiga alternatif pengelolaan sampah: sanitary landfill, anaerobic digestion, dan gasification. Sebuah instalasi terpadu pertama yang dicoba dibangun di Indonesia. Seperti diakui Joko Heru Martono, peneliti teknologi pengelolaan sampah dan limbah padat di BPPT, ?Ini bisa menjadi uji coba juga di Indonesia.? Apa yang ingin diterapkan Pemda DKI Jakarta di tempat pengolahan sampah terpadu di Bojong, Bogor, Jawa Barat pun belum sejauh ini. ?Di Bojong itu tidak menghasilkan energi,? kata Joko.
Bermodal investasi Rp 180 miliar lebih, PT NOEI berjanji instalasi pengolahan sampah terpadu yang akan dibangunnya itu ramah lingkungan. Sanitary landfill yang dilengkapi dengan instalasi khusus pengolahan air sampah diperuntukkan bagi gunungan sampah lama. Anaerobic digestion (penghancuran menggunakan mikroorganisme) untuk sampah baru yang organik semacam kayu, daun, dan kertas akan menghasilkan biogas dan kompos. Sedangkan sampah baru yang kering seperti plastik, kaca, besi, dan bekas bangunan kebagian teknologi pirolisis dan gasifikasi atau pemanasan bersuhu tinggi tanpa oksigen.
Biogas dari ketiga proses itulah yang akan dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin. Dengan perhitungan mengolah 1.500 meter kubik sampah per hari, listrik yang dihasilkan 5 sampai 8 megawatt. Angka itu dari PT NOEI. Sedangkan Joko, yang pernah bereksperimen dengan insinerator, memastikan volume yang sama dengan mesin gas mampu menghasilkan lebih dari 17 Megawatt. Semakin tinggi volume sampah, tentunya semakin besar pula listrik yang dapat dihasilkan.
Delapan atau 17 megawatt memang masih belum merupakan sumber kapasitas listrik yang besar, mengingat beban puncak di seluruh Pulau Bali pada malam hari mencapai 328 megawatt, dan diprediksi akan terus meningkat. Tetapi pejabat Humas PT PLN Distribusi Bali, Wayan Redika, mengaku menaruh harapan atas adanya pengembangan pembangkit listrik tenaga panas dari sampah Sarbagita. ?Karena listrik itu dihasilkan dari sampah terbuka, kemungkinan PLN bisa membeli lebih murah sehingga masyarakat juga bisa menikmati listrik yang lebih murah,? kata dia.
Sempurna bagi pemerintah daerah Sarbagita: tidak bayar, sampah teratasi, mendapat efek ganda, dan masih ada royalti pula sebesar US$ 1.000 per tahun untuk setiap satu megawatt yang dijual PT NOEI kepada PT PLN. Kerja sama berlaku selama 20 tahun. ?Tahun depan mulai menghasilkan listrik,? kata Kadek Agus Adiana, Kepala Bidang Pengembangan Usaha BPKS.
Hitungan di atas kertas memang agaknya cukup menjanjikan. Pantas saja investor ikut senang. ?Sambutannya sangat baik, kami nyaman dengan kerja sama ini,? kata Sri Andhini, Direktur PT NOEI.
Tinggal kini Adiana, Sudharma, dan lainnya memastikan standar operasional diterapkan seperti yang dibakukan. ?Jangan sampai seperti (sanitary landfill) di Bantargebang, sebenarnya SOP di sana bagus, tapi karena tidak diikuti ya akhirnya begitu...,? ujar Joko wanti-wanti..
Wuragil, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo