Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Iklan di tv cina

Arloji, televisi, adpertensi, jalan kapitalis yang di kutuk mao. meningkatkan derajat kemiskinan menjadi semacam panggilan kudus. deng xiao-ping merasa cina terbelakang, membiarkan iklan di tv.

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKLAN telah muncul -- di televisi Republik Rakyat Cina. Ini memang satu cerita yang sulit dipercaya. Tapi sejak 1979 orang di Hong Kong sering menerima surat dari sanak keluarganya di negeri leluhur. Paman Chin atau keponakan Ling memesan dibelikan arloji merk tertentu. "Seperti yang kami lihat di televisi," kata sepucuk surat untuk Bibi Kwan. Arloji, televisi, adpertensi. Jalan "kapitalis" yang dikutuk Mao dan diperlebar Deng Xiaoping dengan segera membelah Tiongkok. Di sebelah sini gunung batu yang harus dihancurkan. Di sebelah sana etalase. Di sebelah sini revolusi, sebuah ultra-maraton. Di sebelah sana kenikmatan-kenikmatan dunia sekejap. Manakah yang benar? Sisi manakah yang harus dipilih? Mao suatu hari berkata kepada tamunya, Presiden Nixon: "Saya hanya berhasil mengubah beberapa daerah di dekat Peking." Waktu itu usianya menjelang habis. Ia telah 30 tahun berkuasa. Toh kehendaknya untuk membuat rakyat Cina terus berkorban nampaknya kandas. 900 juta manusia adalah sebuah lautan besar dengan ombak yang berbeda-beda. Berapa orang yang bersedia jadi revolusioner sampai 7 keturunan? Untuk menghancurkan ribuan gunung batu, untuk mengembalikan semangat gerilya Yenan, dan sekaligus meminta 900 juta manusia agar tak bersungut-sungut, diperlukan mobilisasi. Hampir tiap hari ada pidato. Hampir tiap sore rapat. Hampir di tiap sudut poster. Herankah kita bila pada akhirnya hampir tiap wajah adalah tampang orang yang batinnya capek? Rakyat Cina itu sudah sadar, memang, bahwa hari ini (setelah kemenangan komunis) lebih baik ketimbang hari kemarin (sebelum kemenangan komunis). Tapi jika itulah kemajuan, mengapa hari esok harus tetap sukar? Mengapa televisi, arloji dan barang-barang konsumsi lain bukan saja sulit didapat, tapi nyaris najis? Bukankah bangsa-bangsa lain menikmatinya? Barangkali benar bahwa kita harus memeriksa apa yang terjadi dengan "rasa gombal". Ada seorang pemikir yang mencoba berteori tentang sumber psikologis perbedaan sosial -- dan itu adalah rasa cemburu. Pada mulanya, kata teori itu, bergabunglah manusia yang bersendiri dengan manusia lain. Di kalangan itu kemudian terlihat: bahwa yang paling ganteng, yang paling kuat, yang paling pintar -- mereka inilah yang memperoleh bagian terbesar dari benda-benda yang, kita tahu, di dunia ini selalu terbatas. Dan orang-orang yang lain pun ngiler. Daya upaya dikerahkan, untuk mengejar ketinggalan. Ada yang memakai politik. Ada yang memakai kosmetik. Dari situlah perkembangan sosial-ekonomi terjadi. Hasrat dan kebutuhan telah terbit, dan produksi digerakkan untuk memenuhinya. Modal ditanam. Tenaga kerja dikerahkan. Bahan mentah diolah. Organisasi disusun. Perbedaan sosial -- yang justru kian nampak -- pada gilirannya merangsang ekspansi lebih lanjut. Masyarakat burjuis kata ahli sosiologi Amerika Daniel Beil, adalah "pelembagaan rasa iri hati." Memang cukup alasan untuk memaafkan perkembangan seperti itu. Karl Marx sendiri, bapak komunisme dunia, mengagumi sumbangan sejarah kaum burjuis. Salah satu contoh adalah perkembangan teknologi. Tanpa pasar yang ramai, mungkin kamera, kacamata dan kalkulator tak akan dibikin orang. Dan lapangan kerja tak akan diciptakan. Barangkali semacam itu jugalah yang dipikirkan Deng Xiao-ping. Ketika seorang tamu negara dari Prancis di depannya berbasa-basi tentang kemajuan Cina, Deng tiba-tiba memotong "Tidak, mon sieur, Cina adalah negeri terkebelakang." Ia bukan Mao, yang hampir meningkatkan derajat kemiskinan menjadi semacam panggilan kudus. Ia mengundang masuk Coca Cola. Ia membiarkan iklan di televisi. Syahdan, dalam sebuah mimpi buruk, terlihat 900 juta manusia melemparkan 900 juta botol minuman ke sungai Yang-Tse. Berkali-kali, dari hari ke hari. Lalu seekor naga bangkit dari sebuah kedung. Bumi belah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus