IKLAN telah muncul -- di televisi Republik Rakyat Cina.
Ini memang satu cerita yang sulit dipercaya. Tapi sejak 1979
orang di Hong Kong sering menerima surat dari sanak keluarganya
di negeri leluhur. Paman Chin atau keponakan Ling memesan
dibelikan arloji merk tertentu. "Seperti yang kami lihat di
televisi," kata sepucuk surat untuk Bibi Kwan.
Arloji, televisi, adpertensi. Jalan "kapitalis" yang dikutuk Mao
dan diperlebar Deng Xiaoping dengan segera membelah Tiongkok. Di
sebelah sini gunung batu yang harus dihancurkan. Di sebelah sana
etalase. Di sebelah sini revolusi, sebuah ultra-maraton. Di
sebelah sana kenikmatan-kenikmatan dunia sekejap.
Manakah yang benar? Sisi manakah yang harus dipilih? Mao suatu
hari berkata kepada tamunya, Presiden Nixon: "Saya hanya
berhasil mengubah beberapa daerah di dekat Peking."
Waktu itu usianya menjelang habis. Ia telah 30 tahun berkuasa.
Toh kehendaknya untuk membuat rakyat Cina terus berkorban
nampaknya kandas. 900 juta manusia adalah sebuah lautan besar
dengan ombak yang berbeda-beda. Berapa orang yang bersedia jadi
revolusioner sampai 7 keturunan?
Untuk menghancurkan ribuan gunung batu, untuk mengembalikan
semangat gerilya Yenan, dan sekaligus meminta 900 juta manusia
agar tak bersungut-sungut, diperlukan mobilisasi. Hampir tiap
hari ada pidato. Hampir tiap sore rapat. Hampir di tiap sudut
poster. Herankah kita bila pada akhirnya hampir tiap wajah
adalah tampang orang yang batinnya capek?
Rakyat Cina itu sudah sadar, memang, bahwa hari ini (setelah
kemenangan komunis) lebih baik ketimbang hari kemarin (sebelum
kemenangan komunis). Tapi jika itulah kemajuan, mengapa hari
esok harus tetap sukar? Mengapa televisi, arloji dan
barang-barang konsumsi lain bukan saja sulit didapat, tapi
nyaris najis? Bukankah bangsa-bangsa lain menikmatinya?
Barangkali benar bahwa kita harus memeriksa apa yang terjadi
dengan "rasa gombal". Ada seorang pemikir yang mencoba berteori
tentang sumber psikologis perbedaan sosial -- dan itu adalah
rasa cemburu.
Pada mulanya, kata teori itu, bergabunglah manusia yang
bersendiri dengan manusia lain. Di kalangan itu kemudian
terlihat: bahwa yang paling ganteng, yang paling kuat, yang
paling pintar -- mereka inilah yang memperoleh bagian terbesar
dari benda-benda yang, kita tahu, di dunia ini selalu terbatas.
Dan orang-orang yang lain pun ngiler. Daya upaya dikerahkan,
untuk mengejar ketinggalan. Ada yang memakai politik. Ada yang
memakai kosmetik.
Dari situlah perkembangan sosial-ekonomi terjadi. Hasrat dan
kebutuhan telah terbit, dan produksi digerakkan untuk
memenuhinya. Modal ditanam. Tenaga kerja dikerahkan. Bahan
mentah diolah. Organisasi disusun. Perbedaan sosial -- yang
justru kian nampak -- pada gilirannya merangsang ekspansi lebih
lanjut. Masyarakat burjuis kata ahli sosiologi Amerika Daniel
Beil, adalah "pelembagaan rasa iri hati."
Memang cukup alasan untuk memaafkan perkembangan seperti itu.
Karl Marx sendiri, bapak komunisme dunia, mengagumi sumbangan
sejarah kaum burjuis. Salah satu contoh adalah perkembangan
teknologi. Tanpa pasar yang ramai, mungkin kamera, kacamata dan
kalkulator tak akan dibikin orang. Dan lapangan kerja tak akan
diciptakan.
Barangkali semacam itu jugalah yang dipikirkan Deng Xiao-ping.
Ketika seorang tamu negara dari Prancis di depannya berbasa-basi
tentang kemajuan Cina, Deng tiba-tiba memotong "Tidak, mon
sieur, Cina adalah negeri terkebelakang." Ia bukan Mao, yang
hampir meningkatkan derajat kemiskinan menjadi semacam panggilan
kudus. Ia mengundang masuk Coca Cola. Ia membiarkan iklan di
televisi.
Syahdan, dalam sebuah mimpi buruk, terlihat 900 juta manusia
melemparkan 900 juta botol minuman ke sungai Yang-Tse.
Berkali-kali, dari hari ke hari. Lalu seekor naga bangkit dari
sebuah kedung. Bumi belah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini