Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONFLIK panjang kepemilikan aset antara Yayasan dan Universitas Trisakti menambah daftar kasus hukum yang tak bisa diselesaikan lewat putusan hakim. Meski Mahkamah Agung telah memenangkan Yayasan, juru sita tak bisa mengeksekusi kampus elite di Jakarta ini.
Tiga kali Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjadwalkan penyitaan, tapi selalu gagal. Pada Rabu akhir bulan lalu, pengadilan kembali mengurungkan eksekusi setelah dua hari sebelumnya didemo ratusan karyawan Universitas. "Kami meminta hakim tak pakai kacamata kuda melaksanakan eksekusi," kata Advendi Simangunsong, juru bicara Universitas Trisakti.
Menurut Advendi, hakim Mahkamah tak hanya memutuskan sembilan tergugat—antara lain Rektor Thoby Mutis—tak boleh lagi bekerja di kampus, tapi juga siapa pun yang mendapat mandat dari kuasa universitas. "Artinya, semua pegawai dan mahasiswa tak boleh masuk kampus," katanya. "Apa hakim mempertimbangkan itu?"
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Lexsy Mamonto mengabulkan tuntutan Advendi dan membatalkan eksekusi. Ini untuk ketiga kalinya eksekusi batal. Eksekusi pertama terjadi pada 11 Mei 2011, dua bulan setelah putusan tetap Mahkamah yang memenangkan Yayasan terbit. Juru sita yang datang ke kampus dihadang ratusan orang di pintu gerbang. Penolakan itu berlangsung ricuh.
Polisi menemukan pistol revolver dari seorang pendemo. Tak ada kepastian siapa pemiliknya karena ia keburu kabur saat akan ditangkap. Advendi menyangkal pembawa pistol adalah mahasiswa Trisakti. Menurut dia, penolakan itu murni dilakukan civitas academica yang tak mengakui Yayasan sebagai pemilik universitas.
Sejatinya, ini kemenangan kedua Yayasan dalam konflik. Pada 2002, Mahkamah Agung memenangkan Yayasan atas pengelolaan Trisakti, tapi putusan itu juga tak bisa dieksekusi. Yayasan mengajukan gugatan ulang dengan permohonan eksekusi dalam putusan. "Lagi-lagi kami menang," kata Abi Jabar, Sekretaris Yayasan.
Rupanya, meski sudah dilengkapi permintaan eksekusi, putusan hakim tertinggi di Indonesia ini juga tetap mentok. Lexsy beralasan, selain urusan teknis tak bisa masuk universitas, pengadilan kini punya pertimbangan tambahan, yakni munculnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Januari lalu.
Dua pengadilan itu mengabulkan gugatan Universitas. Setelah putusan Mahkamah dan eksekusi pertama yang gagal itu, Advendi mengajukan gugatan lain pada Juli tahun lalu perihal keabsahan Yayasan dan hak pengelolaan aset. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan pendirian Yayasan cacat hukum. Sedangkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur membatalkan surat Menteri Pendidikan Daoed Joesoef pada 1979 yang menyerahkan pengelolaan aset kampus kepada Yayasan.
Inilah pangkal sengketa yang tak berujung itu. Pada 2002, ketika Thoby Mutis akan berakhir masa jabatannya sebagai rektor, ia mengganti Statuta Universitas Trisakti dengan menghapus keberadaan Yayasan sebagai pengelola kampus. Yayasan membalas dengan memecat Thoby pada 4 September 2002, lima hari sebelum periodenya berakhir.
Kisruh pun dimulai. Kedua pihak saling gugat, sementara Thoby tetap menjadi rektor hingga periode keempat saat ini. "Dia melanggar Undang-Undang Perguruan Tinggi dan statuta yang dia bikin sendiri," kata Abi. Advendi beralasan, konflik membuat situasi darurat dan senat universitas memandang perlu mempertahankan Thoby.
Setidaknya ada tujuh perkara yang masuk pengadilan. Beberapa gugur di tengah jalan karena tak cukup bukti, ada pemalsuan surat, dan lainnya melaju hingga diputuskan Mahkamah Agung. Putusan pada Januari 2011 itu menyatakan pengelolaan kampus beraset triliunan rupiah tersebut kembali ke Yayasan dan sembilan tergugat dilarang menginjak area kampus.
Thoby punya tafsiran sendiri ihwal sejarah Trisakti. Menurut dia, Trisakti milik negara karena di bawah penguasaan Panglima Darurat Perang setelah pemerintah melikuidasi kampus yang dulu bernama Universitas Res Publica itu. Kampus mahasiswa Tionghoa ini dicurigai terlibat Gerakan 30 September 1965 ketika Partai Komunis Indonesia mencoba mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno.
Bukti lainnya adalah Yayasan dibentuk setahun setelah Universitas Trisakti didirikan. "Tak ada satu pun kata yang menyatakan Yayasan sebagai pemilik atau pengelola universitas," ujar Advendi. Menurut dia, kesamaan dua lembaga ini hanya didirikan oleh orang yang sama.
Pandangan Yayasan sebaliknya. Menurut Abi Jabar, surat Menteri Daoed Joesoef itu melegitimasi keberadaan Yayasan sebagai pengelola kampus. "Nah, sekarang surat itu sudah dibatalkan oleh Pengadilan Jakarta Selatan," kata Advendi.
Abi Jabar berkeras soal pendirian Yayasan, penyerahan aset Universitas, dan surat Daoed sudah menjadi bahan pertimbangan hakim ketika menguji gugatannya atas tindakan Thoby mengganti statuta. Pertimbangan itu, menurut dia, sudah diterjemahkan dalam putusan yang menyatakan Thoby dan kawan-kawan tak berhak mengatur kampus.
Mahkamah Agung juga sudah menyurati Lexsy agar segera mengeksekusi putusan itu. Mahkamah beralasan putusan dua pengadilan yang memenangkan Universitas belum punya kekuatan hukum tetap dan masih dalam proses banding di pengadilan tinggi.
Di luar urusan hukum, kedua pihak sama-sama mencari dukungan. Abi mengklaim didukung Komisi Pendidikan dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat setelah mereka mengadu ke sana. Pada 15 November 2011, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menyurati Mahkamah Agung agar memerintahkan pengadilan mengeksekusi Trisakti. "Kami meminta Menteri Pendidikan bersikap tegas kepada Thoby Mutis dan kawan-kawannya dan menindak sesuai dengan hukum yang berlaku," begitu inti surat Priyo.
Sebaliknya, Universitas berpegang pada surat Pelaksana Harian Direktur Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sjafruddin. Pada 24 Juni 2011, Sjafruddin menerbitkan surat yang meminta Yayasan mengeluarkan Universitas dari daftar kekayaan karena aset tersebut tercatat sebagai milik negara di Kementerian Keuangan.
Atas dasar inilah Advendi mengajukan usul pemerintah mengambil alih Universitas dengan mengubah status Trisakti menjadi perguruan tinggi negeri. "Ini juga pelurusan sejarah karena Trisakti didirikan oleh pemerintah," kata Dadan Umar Daihani, Ketua Tim Reposisi Universitas Trisakti.
Jika usul ini disetujui pemerintah, otomatis Yayasan tak lagi punya hak atas kampus. Menurut Abi Jabar, ini cara Universitas mengelak secara halus melaksanakan putusan pengadilan. "Kalaupun menjadi negeri, harus ada pembicaraan dengan Yayasan karena ada putusan hukum yang kami menangi," katanya.
Sejauh ini Kementerian Pendidikan tak bereaksi terhadap permintaan itu. Alih-alih menengahi, upaya penyelesaian datang dari partai politik. Orang-orang Partai Demokrat kabarnya mencoba mendekati kedua pihak menawarkan solusi damai. "Ada yang datang, tapi kami tak respons karena khawatir ada unsur politiknya," kata Abi Jabar.
Jalan damai juga ditawarkan Lexsy Mamonto. Mengaku kesulitan menjalankan perintah dan putusan Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat ini berniat mendamaikan kedua pihak di luar jalan eksekusi. "Kalau keduanya bergabung membesarkan Trisakti kan bagus," kata Lexsy.
Pada Kamis dua pekan lalu, Lexsy menyurati Universitas menawarkan dua poin tawaran damai yang diajukan Yayasan: Universitas mengembalikan aset dan kelompok Thoby tetap bekerja di Trisakti.
Bagja Hidayat, Aditya Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo