INILAH pertama kali sejak 22 bulan perang di Bosnia, pihak luar mengambil ancang-ancang campur tangan militer. Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO, setelah mencanangkan ancaman serangan udara terhadap etnis Serbia pengepung Sarajevo, tak kurang dari 140 pesawat tempur dan pengebom dari berbagai jenis sudah disiagakan di Aviano, Italia. Sebagian besar di antaranya sudah diisi bahan bakar, dan siap diterbangkan menuju langit Bosnia-Herzegovina. Dan Prancis sudah mengirimkan kapal induknya, Clemenceau, ke Laut Adriatik. Harap dicatat, tenggang waktu ancaman 10 hari, mulai Jumat pekan lalu. Tapi juru bicara NATO juga mengatakan, bila sebelum 10 hari pihak milisi Serbia melakukan kebrutalan, tak tertutup kemungkinan tenggang waktu diperpendek. Itulah kenapa di Aviano para penerbang berada dalam kondisi zulu time (siaga). Mereka pun sudah terbang bolak-balik ke dekat lokasi untuk latihan menepatkan sasaran. "Persenjataan kami benar-benar akurat," kata Kolonel Bruce Wright, yang baru selesai menerbangkan pesawat tempur F-16 di atas Sarajevo. Penerbang berusia 42 tahun dari Castleford, Idaho, AS ini sudah mencoba membidik sasaran pertahanan milisi Serbia, berdasarkan panduan dari pesawat pengintai bernama Grumman E-8A J-STARS. Pesawat yang dilengkapi kamera ini mampu mengenali truk dan orang-orang bersenjata yang berada di balik pegunungan Bosnia sekalipun. Terdengarnya memang serius, dan keras. Meski ada juga yang tak yakin bahwa NATO benar-benar mengancam (lihat Pepesan Kosong untuk Bosnia). Dan kenyataannya, setelah ultimatum dikeluarkan NATO Rabu pekan lalu, beberapa hari kemudian milisi Serbia yang mengepung Sarajevo memenuhi tuntutan. Konon, mereka mengundurkan senjata artilerinya sejauh 20 km dari pinggir Sarajevo, dan sebagian senjata malah sudah diserahkan ke pasukan PBB, menurut berita di International Herald Tribune Sabtu pekan lalu. Misalnya, pasukan PBB asal Prancis yang diberi tugas ke garis depan telah menerima 13 pucuk persenjataan berat dari Serbia, dan lima lainnya dari Bosnia. "Masih sedikit memang, tapi ini langkah awal yang baik," tutur seorang diplomat Eropa. Seperti diketahui, NATO akhirnya mencanangkan ultimatum setelah terjadi pengeboman Pasar Markale di Sarajevo, yang menewaskan 68 penduduk sipil, Sabtu dua pekan lalu. Ini sudah dianggap keterlaluan. Dan meski terlambat, dicapailah keputusan tersebut oleh 16 negara anggota NATO. Tapi kemudian, soal pengeboman pasar itu sendiri dimasalahkan oleh Radovan Karadzic, pemimpin etnis Serbia di Bosnia. Ia minta agar dibentuk sebuah komisi internasional untuk menyelidiki siapa sebenarnya pelaku pengeboman Pasar Markale itu. Karadzic tak yakin, pihaknya yang mengirim pembawa maut itu. Ia malah menuduh Bosnia. Malah harian angkatan bersenjata Rusia Krasnaya Zvezda (Bintang Merah) menyebut dalam artikelnya, pembantaian 68 warga Sarajevo itu merupakan salah satu "provokasi ekstremis muslim". Maksudnya, etnis muslim Bosnia melakukan itu agar menarik perhatian dunia internasional dan terdorong campur tangan di Bosnia. Memang keterlaluan tuduhan itu. Kalau melihat jenis mortirnya, jelas milik etnis Serbia. Toh PBB memenuhi tuntutan itu, dan dibentuklah komisi tersebut. Sejauh ini, sedikitnya tiga kali sudah ada ancaman serangan udara dari NATO dan AS. Pertama, bulan Mei tahun lalu, AS mengusulkan serangan udara. Usul ini akhirnya ditolak, karena tak terjadi kesepakatan dalam NATO. Yang kedua, Agustus lalu, ketika Serbia tetap mengebomi permukiman sipil. Ancaman kedua ini pun berlalu begitu saja. Barulah ancaman ketiga pekan lalu itu yang bernada serius, dan dengan batas waktu. Sebelumnya, tak ada batas waktu. Tapi, harap diketahui, ancaman serangan udara NATO itu bukanlah serangan untuk sama sekali membendung agresi milisi Serbia dan Kroasia. Seperti kata Sacirbey, duta besar Bosnia di PBB, ultimatum itu hanya sebatas membebaskan Sarajevo dari kepungan Serbia. "Lima kawasan bebas" lainnya, yang dinyatakan oleh PBB sebagai daerah muslim Bosnia beberapa lama lalu, dan kini dikuasai Serbia, tak akan disentuh oleh sebiji bom pun. Dan makin diusut, makin tampak pucat ancaman itu. Menteri pertahanan AS yang baru, William Perry, ketika didesak wartawan diminta menjelaskan serangan udara yang akan dilakukan NATO terhadap etnis Serbia, malah menjawab, "Bukan begitu tepatnya." Maksudnya, ancaman itu diharapkan mempengaruhi perundingan di Jenewa antara berbagai pihak yang terlibat di Bosnia yang berlarut-larut, agar secepatnya dicapai kesepakatan. Pery mengulang usulan damai David Owen, bekas menteri luar negeri Inggris, yang diserahi PBB untuk memimpin agar perundingan di Jenewa itu disepakati. Usulan itu membagi Bosnia-Herzegovina menjadi 10 provinsi. Etnis Serbia dan Bosnia masing-masing mendapat tiga provinsi, dan etnis Kroasia memperoleh dua. Sedangkan dua sisanya sebagai wilayah pembauran ketiga etnis. Usulan ini ditolak oleh Bosnia karena dinilai tidak adil. Sebab, dari segi jumlah, etnis Bosnia adalah mayoritas. Yang diusulkan kembali oleh Pery itu pun berbeda dengan pendapat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Warren Christopher, dua pekan lalu. Bagi Christopher, "Serbialah yang harus diyakinkan untuk memberikan konsesi teritorial lebih luas bagi Bosnia." Bila demikian, bisa dimaklumi sikap apatis orang-orang Bosnia, termasuk duta besar mereka di PBB, terhadap ancaman NATO itu. Meski lebih tegas dibandingkan dengan dua ancaman sebelumnya, dinilai dari omongan para tokoh yang ikut menentukan ancaman itu, tampaknya yang ketiga ini pun akan mengalami nasib sama dengan dua pendahulunya. Dalam rencana NATO, yang akan dilakukan hanyalah pengeboman, sama sekali tanpa mendaratkan pasukan. Lalu bagaimana bila setelah pengeboman milisi Serbia masih tetap menembakkan roket dan mortir ke arah muslim Bosnia? Mengambil pelajaran dari Perang Teluk, tak banyak bom yang mengenai sasaran. Artinya, senjata artileri Serbia sebagian besar akan tetap utuh. Dan risiko di Bosnia, menurut para pengamat, bahwa bom akan mengenai warga sipil atau tentara PBB di sana, besar. Terbuka kemungkinan, seandainya benar terjadi serangan udara, milisi Serbia melarikan peralatan militernya ke wilayah yang sarat penduduk sipil. Kemudian menawan pasukan PBB atau penduduk sipil untuk dijadikan perisai hidup. Tapi tanpa itu pun, seperti sudah disinggung, sebenarnya pengeboman medan perang di Bosnia tak semudah di Kuwait. Di Bosnia paling sedikit ada empat kelompok yang berisiko terkena bom: milisi Serbia, Bosnia, Kroasia, dan penduduk sipil dari ketiga etnis itu. Dan ini bakal menambah daftar korban jiwa dari 22 bulan perang itu, yang sudah mencapai 200 ribu nyawa. Tidakkah ini justru akan menambah kesengsaraan di Bosnia? Dan sebetulnya, ada atau tak ada pengeboman, masalahnya adalah bagaimana menyelesaikan konflik etnis di Bosnia itu. Ada yang bilang, pengeboman mungkin bisa menghentikan perang, untuk sementara. Sesudah itu, setelah luka-luka agak pulih, ketiga etnis tersebut akan menyulut konflik lagi. Pendapat yang tampaknya masuk akal adalah membiarkan mereka bertempur sampai capek. Tapi itu baru boleh dibiarkan bila kekuatan ketiga pihak dianggap seimbang. Kini, jelas, pihak muslim Bosnia keteter dari segi persenjataan. Maka, Richard Burt, bekas asisten kementerian luar negeri AS, dan Richard Perle, bekas asisten kementerian pertahanan AS, mengusulkan dalam kolom untuk New York Times, setelah Sarajevo dibebaskan, NATO harus menyeimbangkan kekuatan ketiga pihak. Caranya, tak cuma mencabut embargo khusus untuk etnis muslim Bosnia, tapi juga NATO harus menyerang pangkalan-pangkalan militer Serbia. Sebab, diduga, datangnya bantuan persenjataan pada etnis Serbia dari pangkalan-pangkalan di Serbia itu. Itu bila Barat memang ingin membantu penyelesaian masalah Bosnia. Menurut tulisan Richard Burt dan Richard Perle itu, yang bisa menyelesaikan masalah Bosnia hanyalah mereka yang terlibat langsung: etnis muslim Bosnia, etnis Serbia, dan etnis Kroasia. Bila kini jalan perundingan tak juga memperoleh hasil, karena wakil muslim Bosnia berada dalam posisi keteter. Mereka tak memiliki senjata untuk bertahan, apalagi menyerang. Hal ini menyebabkan wakil Bosnia di meja perundingan kurang mempunyai kekuatan untuk mendesakkan usulannya. Bagi etnis Kroasia dan Serbia, tanpa perdamaian justru menguntungkan mereka, karena mereka di medan laga di atas angin. Karena itu, tulisan tersebut mendukung tidak perlunya NATO mendaratkan pasukannya di Bosnia. Serahkan saja penyelesaian Bosnia di tangan warganya sendiri, tulisnya. Yang diperlukan oleh pihak luar adalah mengkondisikan supaya tercapai keseimbangan kekuatan ketiga pihak. Jadi, mungkin ucapan Radovan Karadzic tidak main-main. Pemimpin Serbia di Bosnia itu menyebut ultimatum NATO seperti tingkah seorang tukang pukul yang tak perlu ditanggapi. "Ia mengetuk pintu yang sudah terbuka, memamerkan otot lengannya yang menggelembung, lalu pergi," katanya sembari meninggalkan para wartawan dengan bersungut-sungut. Setidaknya, itu merupakan peringatan, jika pengeboman memang dilaksanakan, milisi Serbia tampaknya tak akan menyerah begitu saja.Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini