Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang berubah dalam aktivitas Nyza Ayob. Wartawan Harakah itu tetap masuk pagi, ikut rapat redaksi, dan kemudian turun ke lapangan mencari berita. Padahal surat kabar milik Partai Islam Se-Malaysia itu sudah sepekan dibredel pemerintah. ”Saya tetap masuk seperti biasa,” ujarnya.
Nyza memang tak sedikit pun menampakkan wajah cemas. Ahmad Lutfi Othman, pemimpin redaksi media yang telah berumur 22 tahun itu, telah menenangkan karyawan untuk tak panik. Perusahaan, katanya, pekan depan akan menerbitkan Hujah sebagai pengganti Harakah. ”Jumlah halamannya sama, 48 halaman. Isinya hanya berubah sedikit. Gaji dibayar seperti biasa,” kata Nyza, seperti dikutip Malaysiakini.com.
Inilah siasat bertahan hidup Harakah setelah dilarang terbit oleh Kementerian Dalam Negeri selama tiga bulan sejak pekan lalu. Para pemimpin Partai Islam Se-Malaysia memang berang terhadap pembredelan itu. Tuan Guru Dato’ Nik Abdul Aziz Nik Mat, Menteri Besar Kelantan, misalnya, menyarankan boikot membaca media-media milik Barisan Nasional. Pembaca Harakah bahkan menyarankan menggelar demonstrasi besar-besaran. Tapi Lutfi lebih memilih melawan dengan cara lebih cerdas: mengganti nama Harakah dan menggugat Kementerian Dalam Negeri ke Mahkamah Agung.
”Penutupan ini lebih sewenang-wenang dibanding zaman Mahathir,” ujar Lutfi. Mahathir, kata Lutfi, pernah membatasi penerbitan Haraki, induk Harakah, tapi tak pernah melarangnya. Partai Islam Se-Malaysia kemudian menggugatnya dan menang.
Harakah tak dipaksa gulung tikar sendirian. Suara Keadilan, surat kabar milik Partai Keadilan Rakyat, juga dibungkam. Dua partai ini tergabung dalam Pakatan Rakyat, aliansi kelompok oposisi. Surat penutupan disampaikan persis sepekan sebelum Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) berganti pucuk pimpinan.
Tak jelas apa kesalahan dua media tersebut. Surat kementerian itu juga tak menunjuk pada berita tertentu sebagai penyebab pemerintah mengambil kebijakan drastis. Alasan yang disampaikan: berita di dua media itu ”sensasional, keliru, dan memicu keresahan”. ”Sungguh alasan yang tak bisa dimengerti dan diterima,” kata Tian Chua, juru bicara Suara Keadilan, kepada Tempo yang menghubunginya Rabu pekan lalu.
Tian yang juga juru bicara Pakatan Rakyat mengatakan penutupan itu berhubungan dengan ketakutan UMNO terhadap kekuatan oposisi yang membesar. ”Pengangkatan Najib Tun Razak sebagai Ketua UMNO penuh kontroversi dan tekanan politik,” kata Tian. ”Kami yakin UMNO khawatir mereka akan kian kehilangan dukungan dan menggunakan kesempatan ini untuk membungkam kebebasan bersuara.”
Ia khawatir penutupan sementara itu merupakan awal dari tindakan yang lebih keras lagi terhadap kebebasan pers di Malaysia. ”Kalau sudah begini, alamat kiamat yang akan terjadi pada pers Malaysia,” kata Tian.
Dalam pernyataan resminya, Menteri Dalam Negeri Datuk Seri Syed Hamid Albar mengatakan penghentian sementara Suara Keadilan dan Harakah dilakukan karena pemerintah tak bisa menerima pemberitaan kedua koran itu. ”Kami tak keberatan jika artikel pada kedua koran ini hanya sebatas mengenalkan ideologi politik mereka. Tapi kami tak bisa mentolerirnya jika berita dan artikel yang dimuat membangkitkan kebingungan dan kemarahan rakyat,” kata Hamid.
Tak hanya menghentikan sementara koran yang menjadi corong politik kelompok oposisi, pemerintah juga menutup akses peliputan bagi sejumlah media online dan surat kabar Malaysia. Sejumlah media online, termasuk Malaysiakini, dilarang meliput sidang UMNO yang berlangsung pekan lalu. Sejumlah media yang dilarang meliput itu tak diberi kartu tanda masuk ke berbagai acara selama sidang UMNO berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tekanan terhadap kebebasan pers merupakan horor yang terus menghantui media di Malaysia. Tak cuma media cetak, blog yang menjadi media privat pun diawasi. Blogger paling berpengaruh di Malaysia, Raja Petra, misalnya, harus menghadapi hukuman kurungan karena blog yang ia kelola—MalaysiaToday—dinilai mendiskreditkan pemerintah.
Sebagaimana Harakah, Suara Keadilan memilih melawan. Sementara Harakah bersalin rupa, Tian Chua bertekad terus menerbitkan Suara Keadilan dengan risiko apa pun.
Angela Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo