Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GADIS kecil Diala terbangun pada pukul 5 pagi ketika terjadi keributan di luar rumahnya, Ahad dua pekan lalu. Ia lari ke jendela. Diala, 13 tahun, kaget melihat polisi antihuru-hara Israel menggunakan seragam hitam datang menyerbu. Ia bergegas berlari membangunkan orang tuanya.
Keheningan pagi itu pun pecah ketika polisi Israel tersebut menjebol pintu dan jendela, dan memaksa 17 anggota keluarga Hanoun yang terdiri atas tiga lelaki, istri, dan anak-anak mereka keluar rumah keluarga yang telah mereka tempati setengah abad lalu. Pada hari itu juga, 58 keluarga Palestina diusir dari kawasan Arab di Yerusalem Timur, Syekh Jarrah.
Mereka menolak mematuhi perintah pengadilan pada Mei lalu, yang memutuskan 58 keluarga Palestina itu tak punya hak milik atas tanah yang diklaim sekelompok pemukim Yahudi sebagai tanah leluhur mereka pada abad ke-19. Saat itu tanah Palestina di bawah kekuasaan Kerajaan Ottoman (Turki).
Keluarga besar Hanoun tak berdaya. Mereka hanya bisa menonton di bawah pohon hanya 15 meter dari pintu depan rumah itu ketika polisi mengawal sejumlah keluarga pemukim Yahudi masuk ke rumah mereka. ”Sulit bagi kami melihat mereka memasukkan orang yang tak berasal dari sini ke rumah kami. Sementara kami tersia-sia di jalan,” ujar Nadia Hanoun, ibunda Diala.
Pengusiran keluarga Palestina itu segera menyengat dunia. PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat mencela Israel. Husni Abu Hussein, pengacara keluarga Palestina itu, menyebut pengusiran itu tak sah. ”Tugas pemerintah (Israel) adalah membersihkan Yerusalem dari warga Arab,” ujar Husni.
Pembersihan etnis Arab dari wilayah Israel ini merupakan konsekuensi sikap ngotot Israel bahwa negeri itu adalah negara etnis Yahudi. Artinya, tak ada tempat bagi 20 persen warga Arab di Israel yang kini masih berstatus warga negara Israel, dan sekitar satu juta pengungsi Palestina yang terusir dari tanahnya di wilayah yang kini diklaim sebagai wilayah Israel sejak Ben Gurion memproklamasikan negara Israel pada 1948.
Dua hari setelah pengusiran keluarga Hanoun itu, iring-iringan mobil mewah Mercedes-Benz hitam menerobos jalan yang dijaga ketat polisi Palestina di Betlehem, Tepi Barat. Salah satu mobil itu membawa Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas ke kompleks sekolah Kristen dekat Gereja Nativity, tempat kelahiran Yesus. Hari itu, Selasa pekan lalu, dimulai kongres Fatah, faksi terbesar dalam Organisasi Pembebasan Palestina, PLO.
Kongres ini merupakan peristiwa pertama setelah dua dekade sejak kongres pertama berlangsung di Tunisia pada 1989, dan pertama kali juga berlangsung di tanah Palestina. Dihadiri sekitar 2.000 orang anggota Fatah yang berasal dari sejumlah negara Arab, antara lain Suriah, Libanon, Mesir, dan Yordania. Mereka lolos dari seleksi ketat di perbatasan Israel atau berhasil kabur meninggalkan Gaza menunggang keledai atau perahu motor. Maklum, Hamas, penguasa Jalur Gaza, menutup pintu keluar bagi 400 anggota Fatah yang terkurung di Gaza.
Dinding dalam ruang kongres berhiaskan citraan heroik perjuangan rakyat Palestina berupa poster berisi foto seorang anak muda menggenggam senjata serbu Kalashnikov. Satu poster raksasa bahkan menampilkan foto hitam-putih pada 1960-an seorang anak Palestina memanggul senjata berhiaskan teks yang legendaris: ”Perlawanan adalah hak yang sah rakyat kami.”
Dalam kongres ini dibahas 41 halaman usulan untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Berbagai usulan untuk Piagam Fatah muncul. Sejumlah di antaranya mendukung piagam lama yang mengimbau penghancuran Israel dan mendukung perjuangan bersenjata untuk membebaskan Palestina. Sedangkan yang lain ingin merevisi piagam lama agar Presiden Abbas leluasa bersepakat dengan pemimpin Israel sekarang, yang menuntut Palestina mengakui Israel sebagai negara Yahudi.
Kongres yang berlangsung persis di halaman belakang Israel itu mewajibkan Fatah memperjelas platform pembicaraan damai dengan Israel dan mengukur penguatan otoritas Abbas. ”Meski perdamaian adalah pilihan kita, kita berhak melawan yang dilegitimasi hukum internasional,” ujar Abbas, yang juga Ketua Fatah, dalam pidato pembukaan.
Sikap Abbas itu didukung pemimpin senior Fatah, Azzam al-Ahmad. Menurut Azzam, rakyat Palestina punya hak menggunakan segala cara melawan dan mengakhiri pendudukan hingga berdiri negara Palestina. ”Piagam Fatah akan tetap, tak akan menjadi subyek diskusi,” katanya. Piagam Fatah disahkan di bawah kepemimpinan Yasser Arafat pada 1965, yang menyerukan perjuangan bersenjata hingga Zionis Israel enyah dan tanah Palestina dibebaskan.
Namun sejumlah pertanyaan sensitif muncul di kalangan aktivis Fatah, misalnya haruskah Fatah tetap punya organ militer, bagaimana Fatah menghasilkan uang, dan siapa yang harus membayarnya.
Kalangan elite Fatah berhasrat membuat petunjuk jelas posisi Fatah berhadapan dengan Israel. Misalnya, jika pembicaraan damai menghadapi jalan buntu, rakyat Palestina akan kembali ke cara lama, semacam perlawanan dan intifadah yang lain, atau pemberontakan. ”Akhir 2010 seharusnya menjadi batas,” ujar anggota parlemen Abu Rubb asal Jenin.
Keprihatinan yang sama diungkapkan pejabat Fatah. Mereka menghadapi proses perdamaian yang ditutup dan dibuka kembali, yang membuat Israel seenaknya mengesampingkan pembicaraan damai bertahun-tahun, sementara perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat akan membuat penyelenggaraan negara Palestina makin rumit. ”Satu waktu yang dibatasi atau tidak adalah pertanyaan kunci,” ujar Kaddoura Fares, bekas pejabat Fatah.
Sebagian besar delegasi sepertinya siap mendukung Abbas. ”Tak ada perbedaan besar dalam Fatah soal platform politik,” kata Jamal Hwail, 38 tahun, yang mendekam tujuh tahun dalam penjara Israel sebagai anggota Brigade Martir al-Aqsa. ”Mayoritas delegasi mendukung pilihan perdamaian dan negosiasi.”
Popularitas Fatah setelah kematian Yasser Arafat makin merosot. Fatah memang masih mampu mendukung Abbas dalam pemilihan presiden pada 2005 menggantikan Arafat. Tapi kekalahan Fatah dalam pemilihan parlemen memaksa banyak anggota Fatah terusir dari gedung parlemen dan digantikan anggota Hamas, yang kemudian berhak membentuk pemerintahan.
Pemerintahan persatuan Palestina memang terbentuk pada 2007 setelah terjadi pergumulan politik antara Abbas yang didukung negara Barat dan Israel dengan Hamas yang dicap sebagai organisasi teroris. Tapi pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri Ismail Haniyeh dari Hamas ini ambruk akibat tekanan Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Israel. Sebagai pemenang pemilu, Hamas ngotot membentuk pemerintahan di Jalur Gaza. Sejak itu Abbas kehilangan pamornya sebagai wakil rakyat Palestina. Kekuasaannya hanya diakui di Tepi Barat.
Bahkan di dalam Fatah pun terjadi perpecahan. Abbas ditentang oleh seorang pemimpin senior Fatah, Farouq Kaddoumi, yang menetap di Tunisia. Kaddoumi mengklaim sebagai pengganti Yasser Arafat yang sah selaku Ketua Fatah. Dalam wawancaranya dengan televisi Al-Jazeera pada pertengahan Juli lalu, Kaddoumi menuduh Abbas bekerja sama dengan pemimpin Israel untuk membunuh Arafat. Kaddoumi dan tokoh Fatah lainnya menyerukan boikot kongres Fatah.
Tapi sebagian besar delegasi bertekad mendukung Abbas. Abbas berharap dukungan resmi Fatah atas keputusannya akan menguatkan tangannya menghadapi kelompok Hamas dan rezim kanan di Israel di bawah perdana menteri garis keras, Benjamin Netanyahu. Untuk kepentingan itu rancangan Piagam Fatah itu dibiarkan dengan pilihan terbuka, yakni perjuangan bersenjata jika pembicaraan damai dengan Israel gagal, dan tak akan menyatakan kemerdekaan negara Palestina secara sepihak di Tepi Barat dan Jalur Gaza jika negosiasi politik tetap buntu.
Masalah yang lebih pelik juga muncul, yakni soal peran generasi tua Fatah yang dituduh nepotis dan korup oleh generasi yang lebih muda, dan dua lembaga pembuat keputusan—Komite Pusat Fatah dan Dewan Revolusioner Fatah—yang tak efektif memimpin sehingga memberi Israel banyak keuntungan. Mereka menuduh generasi lama Fatah gagal menyatukan rakyat Palestina setelah kematian Arafat pada 2004. ”Fatah telah kehilangan banyak,” ujar analis Palestina, Khalil Shaheen.
Seorang remaja, Attallah Awwad, 17 tahun, yang akan ikut pemilu pertama kali tahun depan, kecewa melihat hasil kepemimpinan Abbas. ”Kita mencoba perjuangan bersenjata, gagal. Kita mencoba negosiasi, gagal. Mungkin pemimpin baru punya solusi baru,” ujarnya.
Tapi siapa? ”Tak ada yang seperti Arafat,” katanya.
Raihul Fadjri (AFP, AP, BBC, UPI, CS Monitor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo