Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Malaysia sedang mencari US$3 juta (Rp42,7 miliar) dana dari Green Climate Fund (GCF) PBB untuk mengembangkan rencana nasional beradaptasi dengan perubahan iklim, kementerian lingkungan mengatakan pekan lalu, setelah banjir di Malaysia yang berdampak ke hampir 70.000 orang bulan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana yang diminta tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah yang telah dijanjikan negara untuk dibelanjakan pada upaya mitigasi banjir, meskipun para ahli mengatakan implementasi rencana tersebut kemungkinan akan memakan biaya lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 18 Desember, hujan deras telah menyebabkan banjir parah yang menewaskan sedikitnya 48 orang di delapan negara bagian Malaysia, mendorong seruan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesiapsiagaannya terhadap peristiwa cuaca ekstrem.
Menanggapi pertanyaan yang dikirim ke Kementerian Lingkungan dan Air pada 20 Desember tentang pendekatan Malaysia terhadap adaptasi iklim, Sekretaris Jenderal Zaini Ujang menjawab bahwa kementerian akan meminta dana GCF untuk membantu mengembangkan Rencana Adaptasi Nasional pada akhir tahun depan, seperti dilaporkan Reuters, 28 Desember 2021.
Rencana tersebut akan fokus pada bidang-bidang seperti air, pertanian, dan ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, kehutanan, dan infrastruktur, kata Zaini dalam tanggapan tertulis.
"Kementerian juga memiliki rencana jangka panjang untuk meminta dana iklim yang dapat membantu pelaksanaan program-program mengatasi dampak perubahan iklim," katanya.
Zaini tidak memberikan rincian spesifik tentang rencana adaptasi, atau berapa banyak yang dibutuhkan pemerintah untuk mengimplementasikannya.
Permohonan Dana GCF adalah pertama kalinya pemerintah Malaysia mencari anggaran untuk adaptasi iklim, yang merupakan kebijakan yang diterapkan suatu negara untuk menangani dampak perubahan iklim.
Dana perubahan iklim tersebut tidak seberapa dibandingkan dengan RM9,8 miliar (Rp33,3 triliun) untuk proyek-proyek mitigasi banjir seperti membangun penghalang air, daerah tangkapan air, dan memperdalam sungai yang menurut Zaini telah disisihkan oleh Malaysia.
"Adaptasi akan membutuhkan lebih banyak dana dibandingkan dengan mitigasi karena kita perlu merombak perencanaan kota kita, semua proyek infrastruktur yang mahal ini," kata Ili Nadiah Dzulfakar, salah satu pendiri kelompok aktivis iklim Klima Action Malaysia.
Rancangan rencana adaptasi harus memeriksa interaksi banjir atau kekeringan pada ketahanan pangan dan hasil panen, serta kebutuhan akan layanan kesehatan yang hemat energi dengan sistem komunikasi yang kuat, katanya.
Pada 2018, Yeo Bee Yin, menteri lingkungan hidup Malaysia saat itu, mengusulkan apa yang disebut Undang-Undang Perubahan Iklim bersama dengan strategi adaptasi, tetapi rencana formal tidak pernah diajukan ke parlemen dan prosesnya tersendat di tengah gejolak politik pada tahun 2020.
Malaysia biasanya mengalami banjir di pantai timurnya yang terkena angin muson timur laut antara Oktober dan Maret.
Pemerintah Malaysia dinilai tidak waspada dan sigap terhadap curah hujan deras dan banjir yang melanda daerah perkotaan berpenduduk padat di wilayah barat dan tengahnya, yang menurut beberapa ahli diperburuk oleh drainase yang buruk dan pembangunan yang berlebihan.
REUTERS