MEMENUHI janji yang diikrarkan selama kampanye ternyata tak mudah. Masalah klasik ini dihadapi politikus seantero dunia -- termasuk politikus Amerika Serikat. Dilema ini setidaknya kini sedang dihadapi Bill Clinton, yang bakal resmi masuk Gedung Putih 20 Januari depan. Indikasi bakal adanya ''penyesuaian-penyesuaian'' atas janji-janji Presiden (terpilih) Clinton semasa kampanye sudah tampak. Salah satu yang banyak disorot orang adalah kebijaksanaan politik luar negeri. Pada masa kampanye lalu, misalnya, kandidat Partai Demokrat ini berjanji akan bersikap keras terhadap Cina. Ia, antara lain, mengancam bakal mencabut status khusus perdagangan (most favoured nation atau MFN), jika Beijing tak memperbaiki masalah hak asasi manusia. Bahkan saat itu disebut-sebut Clinton langkah untuk mengisolasi Cina. Tapi, pertengahan Desember lalu, dalam seminar ekonomi yang dihadiri 300 ahli, Clinton bicara lain: MFN tak perlu dicabut seandainya Beijing melanjutkan pende- katan-pendekatan sesuai dengan kepentingan Amerika. Sulit memang, menjabarkan bagaimana langkah-langkah yang sesuai dengan kepentingan Amerika. Para pengamat melihat inilah awal sikap lebih hati-hati Clinton dalam kebijaksanaan luar negerinya. Singkat kata, langkah Clinton terhadap Cina tak akan beranjak jauh dari sikap Presiden George Bush. Dan bukan tak mungkin, dalam menghadapi negara-negara berkembang (yang kerap kena sentilan panas dalam kasus hak asasi manusia dan soal lingkungan hidup) Clinton juga akan mengekor Bush. Bagaimana pula kebijaksanaan politik luar negeri Clinton untuk kawasan Timur Tengah? Sesuai dengan tradisi Partai Demokrat, Clinton diduga bakal condong membela kepentingan Israel, seperti diisyaratkannya selama kampanye lalu. Jika janji itu tetap dipertahankannya, Clinton akan melewatkan kesempatan emas untuk meredakan krisis Timur Tengah yang sudah dirintis Bush. Tapi, seandainya Clinton meneruskan langkah Bush di Timur Tengah (lebih menekan Tel Aviv), risikonya juga berat. Ia akan berhadapan dengan warga Yahudi Amerika, yang memegang kendali ekonomi negeri itu. Padahal, prioritas Clinton adalah membenahi ekonomi dalam negeri Amerika. Soal membenahi ekonomi domestik inilah rupanya yang membuat puyeng kepala Clinton. Maka, kebijaksanaan ekonomi yang bakal diambilnya ditentukan setelah melihat kondisi ekonomi Amerika sampai pertengahan Januari depan. Seperti diketahui, ada dua kubu dalam tim ekonomi Clinton. Pertama, mereka yang mendukung perlunya pengeluaran (investasi) untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Kedua, mereka yang ingin memprioritaskan penurunan defisit anggaran. Bagi kubu pertama, stimulasi ekonomi jangka pendek antara lain bakal meningkatkan lapangan kerja, penghasilan pajak, dan menaikkan pertumbuhan yang bakal menghasilkan basis kuat bagi rencana merampingkan defisit. Banyak di antara pendukung paket rangsangan ekonomi ini menyebut perlunya pengeluaran US$ 20 sampai 60 milyar, yang dibayar dengan memperlebar defisit anggaran. Melihat penunjukkan Clinton atas sejumlah tokoh pendukung penurunan defisit, boleh jadi ini merupakan tanda bahwa pada akhirnya ia berpikir dua kali untuk melaksanakan paket rangsangan ekonomi seperti dijanjikannya dalam kampanye. Makin pulihnya perekonomian Amerika di akhir semester tahun ini (kian meningkatnya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi) membuat para pendukung perampingan defisit lebih gencar menyuarakan soal tidak perlunya stimulan untuk pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, bila tidak menjalankan paket rangsangan ekonomi, Clinton bakal rugi secara politis: banyak pemilih yang bakal kecewa dan akan menciptakan musuh baru pemerintah. Soalnya, selama kampanye, Clinton begitu banyak mengobral janji, dan akan konyol akibatnya bila tak jadi mencipratkan dana bagi investasi. Melihat dilema itu, diduga Clinton akan mengambil jalan tengah. Tetap menjalankan paket rangsangan ekonomi (tapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari yang dijanjikan selama kampanye) sembari menggenjot rencana pemotongan defisit anggaran. Kini disebut-sebut Clinton cenderung meloloskan paket rangsangan ekonomi sekitar US$ 20 milyar saja pada 1993, kecuali pertumbuhan ekonomi mendadak naik pesat dan menciptakan banyak lapangan kerja baru sebelum pertengahan Januari ini. Diperkirakan, bukan cuma itu ''penyesuaian'' yang akan dilakukan Clinton. Janji peningkatan pajak bagi perusahaan asing yang beroperasi di Amerika pun tampaknya bakal lain di kampanye lain pula dalam prakteknya. Pasalnya, langkah itu lebih banyak merugikan dan tak bakal menjaring dana sebanyak yang diproyeksikannya. Soalnya, pajak semacam ini pada akhirnya bakal menohok perusahaan multinasional Amerika di luar negeri, karena tindakan balasan pihak asing. Farida Senjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini