DENG Xiaoping tersenyum melambaikan tangan kepada anggota Partai Komunis Cina saat penutupan Kongres ke-14 Partai Oktober lalu. Para anggota Partai pulang ke daerah masing-masing dengan tekad mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 9%. Para pengamat Cina pun menilai hasil Kongres ke-14 Partai mencerminkan kemenangan Deng dan kaum reformis. Sekretaris Jenderal Partai Jiang Zemin, yang selama ini dilihat berdiri di garis batas garis keras dan reformis, dalam Kongres Oktober itu memuji-muji reformasi ekonomi Deng sebagai ''jalan baru yang berani'', yang merupakan kombinasi antara warisan leluhur dan terobosan baru. Hasil Kongres tentu tak bisa dilepaskan dari kunjungan Deng yang tiba-tiba ke kawasan khusus industri di Shenzhen Januari lalu. Kunjungan itu meresmikan status resmi Shenzhen: dari kawasan eksperimen menjadi kota percontohan. Maka, 5 kota ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus, 14 sebagai kota teknologi ekonomi, dan 27 lagi sebagai kota industri harus mengacu ke Shenzhen. Sampai di sini tampaknya reformasi ekonomi di Cina tak mengenal lagi jalan mundur. Politbiro Partai sudah diamankan oleh Kongres, yang tentunya otak di belakangnya adalah Deng Xiaoping atau pendukungnya. Sebagian besar anggota Politbiro adalah reformis yang pro-Deng. Bahkan Perdana Menteri Li Peng tak lagi disebut-sebut sebagai ''kiri'', setelah dalam pidatonya ia pun mengakui keberhasilan kawasan khusus industri. Selain Politbiro, Deng pun tampaknya berhasil menguasai militer. Ia promosikan Yang Baibing, tokoh garis keras ke Politbiro, dan dengan demikian Yang terpaksa meninggalkan kursinya di Komite Militer. Tapi tampaknya kemenangan Deng adalah kemenangan yang rapuh. Penulis masalah Cina, Roderick MacFarquhar, menulis di The New York Review edisi pertengahan Desember 1992, membandingkan kemenangan Deng dengan kemenangan Bill Clinton di Amerika. Clinton, tulis MacFarquhar, dijamin berkuasa penuh selama empat tahun. Sedangkan para reformis pendukung Deng tak punya jaminan berapa lama mereka berada di kursinya kini. Satu-satunya jaminan adalah Deng, yang sudah tak menjabat apa pun, tapi diakui oleh semua pihak sebagai ''kepala keluarga''. Rapuhnya karena usia Deng kini sudah 88 tahun. Meninggalnya sang ''kepala keluarga'' membuka segala kemungkinan, termasuk bangkitnya lagi yang disebut Deng dalam suatu pidatonya sebagai ''kaum kiri.'' Soalnya adalah mengubah sektor pemerintah ke sektor swasta bukan usaha yang mudah. Akhir Juni lalu, misalnya, koran pemerintah Cina melaporkan sekitar 1,4 juta buruh negara kehilangan pekerjaan akibat efisiensi di BUMN. Teorinya, mereka yang dikeluarkan itu akan diserap oleh sektor swasta, atau setidaknya bisa berwiraswasta. Tapi pertumbuhan tingkat investasi swasta tetap belum mampu menyerap angkatan kerja lama dan tambahan angkatan kerja baru dalam jangka waktu yang pendek. Ada dugaan, kemenangan Deng dan kaum reformis karena kelompok garis keras Cina bersikap mengalah dulu. Konon ini dilakukan agar tak muncul Peristiwa Tiananmen kedua. Mereka menganggap pergolakan Tiananmen mencoreng nama Cina. Tampaknya mereka juga yakin rakyat Cina untuk sementara ini banyak yang tergiur oleh janji liberalisasi ekonomi, karena itu tak akan memberi dukungan pada kebijaksanaan kembali ke panji-panji ideologi. Dan ada kenyataan bahwa lebih dari 4.000 BUMN dalam semester pertama tahun 1993 ini menderita kerugian US$ 4 milyar. Walhasil, disimpulkan bahwa garis keras kini hanya menunggu tiadanya sang ''kepala keluarga'' bernama Deng Xiaoping itu. Masalahnya, siapakah bakal berperan sebagai ''kepala keluarga'' berikutnya. Sejauh ini belum ada yang menduga. Yang jelas, tokoh itu akan mempengaruhi garis besar politik di Cina. Jika ia berasal dari kelompok pembaharu, gagasan reformasi ekonomi akan jalan terus. Bila sebaliknya, tokoh itu dari kubu garis keras, bisa jadi akan ada pergolakan di Cina. Soalnya, mereka yang telanjur merasakan enaknya reformasi ekonomi bakal menentangnya. Di sisi lain, korban reformasi akan mendukung kembalinya ideologi sebagai panglima. Di tengah suasana dunia seperti sekarang, ketika demokrasi dan perkembangan ekonomi menjadi kiblat di mana-mana, mungkinkah Cina berjalan mundur? Mungkin tidak. Yang barangkali terjadi adalah perebutan kekuasaan antarkelompok. Maka kata MacFarquhar, ''Kematian komunisme di Cina mungkin bukan karena sebuah gerakan besar, tapi karena keluhan.'' Maksudnya, siapa pun kini berkuasa di Cina akan berusaha menjauhi ''sosialisme lama'' karena terbukti tak memungkinkan Cina menjadi makmur dan berkembang. LPS dan BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini