Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM khas terukir di wajah Vladimir Vladimirovich Putin yang dingin. Lalu pandangannya menyapu hadirin di Ballroom Hotel Ritz-Carlton, Jakarta. Selama sekitar 10 menit berikutnya, Presi den Federasi Rusia ini memi lih berbicara dalam bahasa negerinya ke timbang dalam bahasa Inggris. ”Rusia adalah negara paling maju di dunia dalam bidang industri minyak dan gas,” kata nya. Lantas ia mengungkapkan vo lu me perdagangan Indonesia dan Rusia dalam lima tahun terakhir yang me ningkat tiga kali lipat. Tak lupa sebuah tawaran simpatik disodorkannya kepada tuan rumah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang merespons de ngan mengangguk-anggukkan kepala dengan wajah cerah. ”Bila Indonesia ingin membangun PLTN di Jawa, kami siap membantu,” ujar mantan petinggi KGB itu seperti disaksikan wartawan Tempo Arti Ekawati.
Kamis lalu memang menjadi hari yang istimewa bagi kedua negara. Meski kedatangan Putin tak bisa dilepaskan dari keuntungan lokasi Jakarta yang dekat dengan Sydney—tujuan utama sang Presiden untuk menghadiri forum APEC—ia tak datang dengan tangan kosong. Membawa serta 110 pebisnis terkemuka negeri itu, ia menandata ngani kerja sama investasi senilai US$ 4 miliar (lihat Gebrakan Miliarder Rusia dalam rubrik Ekonomi dan wawancara dengan Wakil Presiden Altimo, Kirill Babaev). Dan—ini yang penting—salah satu bagian dari kesepakatan itu adalah kredit ekspor senilai US$ 1 miliar untuk membeli peralatan militer.
”Diplomasi senjata” ini sesungguhnya bukan hal baru yang diterapkan politikus kelahiran St. Petersburg 54 tahun silam itu terhadap Indonesia. Ketika berkunjung ke Istana Kremlin pada 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani pembelian empat pesawat tempur Sukhoi tipe Su-27 dan Su-30 seharga US$ 120 juta. Dengan kredit ekspor yang lebih besar diharapkan bisa dilakukan regenerasi persenjataan Indonesia dengan penambahan 20 tank amfibi BMP-3F, 10 helikopter angkut Mi-17 U-5, dan helikopter serbu Mi-35P, dua paket rudal antikapal, dan dua unit kapal selam. Di luar skema itu, Indonesia juga tertarik untuk memperbanyak armada pesawat tempur dengan tambahan enam unit Sukhoi, masing-masing tiga unit Su-27 dan Su-30 senilai US$ 335.
Di belakang kalkulasi persenjataan itu terdapat sebuah perhitungan politik yang saling menguntungkan dua ne gara ini. Dari sisi Indonesia, inilah kesempatan menaikkan kemampuan tawar, sekaligus mengisi kevakuman akibat embargo persenjataan yang dilakukan Amerika Serikat dan Inggris dalam beberapa tahun terakhir. ”Dengan tawaran Rusia ini kita tak perlu lagi khawatir jika diembargo,” ujar Panglima TNI Djoko Suyanto.
Sedangkan dari sisi Rusia pasca-Uni Soviet, perkembangan ini bisa menambal rompal kekuatan mereka yang pernah begitu terasa di kawasan Asia Tenggara. Melihat kekuatan dua rivalnya, Amerika Serikat dan Cina, terus berkembang menembus batas-batas teritorial, tentu tak menyenangkan. Kini Putin punya kesempatan dan kapital.
Putin, sarjana ilmu hukum dari Universitas Leningrad, sedang mengusung visi Rusia Agung (The Great Russia). Sejak duduk di Kremlin pada tahun 2000, Putin menggenjot keras sektor perekono mian negerinya dengan target menggandakan GDP penduduk Rusia pada 2010, dan menjadikan rubel sebagai mata uang internasional yang berwibawa la yaknya dolar Amerika. Bagaimanapun, cucu Spiridon Putin, juru masak pribadi Vladimir Lenin dan Joseph Stalin, itu pernah mengalami masa-masa ketika negerinya menjadi negara adidaya pada masa Perang Dingin.
Diplomasi senjata ini tak terbatas hanya pada jual-beli peralatan. ”Nanti juga akan dikembangkan peluang bagi anggota TNI untuk mengikuti pendidik an dan latihan di Rusia guna meningkatkan kemampuan operasional, teknis, manajemen, dan pasukan-pasukan khusus,” tutur Djoko Suyanto. Kesepakatan ini juga membuat girang Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, karena pembelian langsung seperti ini bisa menghemat anggaran sampai 40 per sen. ”Sudah ada kesempatan bahwa pro ses pengadaan persenjataan dari Rusia akan disederhanakan prosesnya, dipercepat, dipermurah, dan tak lagi meng andalkan peran pialang,” ujarnya.
Jika kemesraan ini bisa terwujud de ngan cepat, ini seperti bulan madu ke dua hubungan Indonesia-Rusia. Soalnya, lebih dari 50 tahun keakraban serupa juga pernah terbuhul, khususnya antara Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Nikita Kruschev. Wartawan senior Alwi Shahab menulis dalam blog pribadinya, ketika Kruschev menginjakkan kakinya di Bandara Kemayoran, lautan manusia mengelu-elukannya di kiri-kanan jalan sampai ke Istana Merdeka yang berjarak hampir 10 kilometer. Sebaliknya, ketika Bung Karno berkunjung balik ke Moskow, ”… 150 orang barisan musik menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai penyambutanku di bandara,” tulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Berbeda dengan keakraban di era 1950-an yang kontan menyulut kegeraman Abang Sam dan para sekutunya, diplomasi senjata Indonesia-Rusia kali ini tampaknya bisa berlangsung jauh lebih mulus. ”Saya kira negara-negara Barat mengerti dan tak perlu khawatir karena sekarang era global. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,” ujar Suyanto.
Barangkali Panglima benar, karena jauh dari hiruk-pikuk pemberitaan tentang para pengusaha superkaya Rusia dan soal senjata, dalam rombongan Putin terselip juga Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Federasi Rusia Sergey V. Stephasin. Ketika Putin akhirnya bertolak ke Australia pada hari Jumat, Stephasin justru diminta Ketua BPK Indonesia Anwar Nasution untuk menjadi pembicara dalam kuliah umum tentang pro ses pemeriksaan eksternal di negerinya. ”Acara ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pemeriksa keuangan BPK untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas,” ujar An war. Ia melihat kedua negara memi liki kesamaan karena menerapkan sistem ekonomi campuran, yakni peranan per u sahaan negara sangat besar.
Dunia memang sudah berubah.
Akmal Nasery Basral, Raden Rachmadi, Sutarto, Fanny Febiana, Gunanto E.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo