Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURANG tepat keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk membuat pailit PT Dirgantara Indonesia. Perusahaan pembuat pesawat terbang itu beroperasi dengan baik dan memiliki prospek usaha yang cu kup bagus. Kontraknya saat ini mencapai US$ 250 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun. Organisasinya ramping, pegawainya tidak sebanyak seperti sebelum Dirgantara melakukan pemu tus an hubungan kerja atas 6.500 karyawan empat tahun lalu.
Yang tidak bisa diselesaikan Dirgantara sekarang adalah membayar pesangon mantan karyawannya. Manajemen Dirgantara menganggap persoalan itu sudah selesai. Sebaliknya, bekas karyawan menghitung perusahaan masih berutang pesangon senilai Rp 200 miliar. Karena dianggap tidak mampu membayar pesangon, juga tak melunasi utang kepada lebih dari dua kreditor, pengadilan memvonis pailit Dirgantara.
Tidak ada salahnya pemerintah turun tangan. Di tengah sulitnya lapangan kerja, masuk akal bila pemerintah menyelamatkan Dirgantara dengan mencegahnya dari pailit. Proses kasasi perlu jalan terus, tapi penyelesaian out of court settlement layak dipertimbangkan. Cara menyelesaikan pesangon perlu dicari dengan negosiasi yang damai, tentu jika pemerintah setuju membantu.
Langkah berikutnya tentu saja menyangkut eksistensi Dirgantara sendiri. Investasi pemerintah sudah begitu besar, sayang jika alat-alat modern berubah menjadi besi rongsokan. Lagi pula, biaya menutup Dirgantara sangat besar, terutama untuk membayar pesangon semua pekerja yang ada sekarang. Itu belum termasuk penalti akibat pembatalan kontrak yang jumlahnya bisa mencapai US$ 100 juta alias Rp 930 miliar.
Yang juga penting, menutup Dirgantara sama saja de ngan memperpanjang deretan pengangguran terdidik yang se karang sudah 400 ribu orang. Itu sebabnya akan terasa aneh jika pemerintah cuek saja. Kalau tak mau membayari pesangon, pemerintah bisa hanya perlu memberi dana talangan untuk kelak menagihnya ke Dirgantara sebagai piutang.
Mungkin langkah ini tak populer mengingat perusahaan yang didirikan oleh B.J. Habibie pada 1976 ini sudah kelewat banyak mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Misalnya, suntikan dana Rp 400 miliar yang diambil dari dana reboisasi hutan, yang semestinya dipakai menghijaukan hutan.
Bagaimanapun, tidaklah haram membantu Dirgantara lagi. Yang penting, pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan rezim Soeharto. Semua proses bantuan pada Dirgantara dilakukan secara transparan, termasuk meminta persetujuan DPR lebih dulu. Setelah Dirgantara selamat, pemerintah harus melakukan audit untuk mencari tahu akar masalah Dirgantara, termasuk kondisi finansialnya. Dari audit itu akan diketahui solusi yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup Dirgantara.
Setelah itu, sebaiknya pemerintah segera melepaskan Dirgantara menjadi perusahaan swasta. Sudah waktu nya pemerintah mengurangi risiko seperti yang dihadapi nya sekarang. Bisa jadi, sebagai swasta Dirgantara justru le bih lincah berkompetisi di pasar. Lagi pula, Dirgantara sudah memperlihatkan kebolehannya bersaing di pasar glo bal dengan mendapatkan kontrak-kontrak jangka panjang dari perusahaan berkelas dunia dan prestisius seperti Boeing dan Airbus.
Dengan postur lebih singset, tanpa digoyang terus-menerus oleh masalah internal, perusahaan ini agaknya mampu bertahan dan bahkan berkembang. Kondisi buruk Dirgantara sekarang, siapa tahu, menjadi momentum untuk memacunya terbang lebih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo