Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1><B>Cina</B></font><br />Balada Sang Pengacara Buta

Yayasan Ramon Magsaysay memberikan penghargaan kepada pengacara buta dari Cina. Tapi ia dan istrinya ditahan.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA memanjat dinding rumahnya sendiri, lalu berlari ke ladang. Polisi yang menyatroni rumah nya di Linyi, Provinsi Shandong, timur Cina, bisa dia kelabui. Dengan paspor dan visa di tangan, Yuan Weijin bergegas menumpang bus menuju Beijing. Tapi petugas Bandar Udara Internasional Beijing menahan perempuan 31 tahun itu dua pekan lalu. Mimpi Yuan terbang menuju Manila, Filipina, mewakili suaminya menerima penghargaan Ramon Magsaysay, pun kandas.

Chen Guangchen, suami Yuan, mestinya menerima penghargaan yang kerap disebut sebagai ”Nobel Asia” itu pada akhir Agustus lalu. Namun Chen dipenjarakan pemerintah Cina dengan tuduh an menggerakkan massa. Yuan, yang sedang mendapat tahanan rumah, pun nekat pergi mewakili sang suami.

”Mereka hampir mematahkan tanganku,” ujar Hu Jia menirukan ucapan Yuan. Hu Jia adalah aktivis HIV/AIDS yang mendapat telepon Yuan setelah diantar polisi ke rumah orang tuanya.

Petugas kantor Departemen Luar Negeri di Linyi mengatakan paspor Yuan telah dicabut beberapa hari sebelum keberangkatannya sehingga tak berlaku lagi. Mantan guru bahasa Inggris ini pun hanya bisa menggeram mendengar penjelasan itu. Kegeraman yang hanya me nuai hening.

Chen, seorang pengacara buta, menerima penghargaan Magsaysay untuk kategori emergent leadership. Pria 36 tahun ini dinilai gigih memperjuangkan hak-hak warga yang tak mampu bersuara lantang.

”Menyedihkan. Dia sebenarnya bisa memberikan inspirasi dengan menceritakan kisahnya,” ujar Presiden Yayasan Ramon Magsaysay, Carmencita Abella. ”Namun, meski dia tak di sini, kita bisa menyebarluaskan kebaikan yang telah dia lakukan.”

Perjuangan Chen dimulai pada 1996, ketika ia mendatangi kantor pajak untuk membebaskan orang tuanya dari kewajiban membayar pajak. Tak disangka, ia berhasil. Ini memberikan inspirasi bagi penyandang cacat dan petani Linyi, kampung halamannya. Mereka mulai mendatangi alumnus Universitas Nanjing itu untuk berkonsultasi.

Dua tahun kemudian, Chen yang buta sejak bayi itu mulai mengorganisasi pe tani Linyi memprotes pabrik kertas yang menyebabkan polusi sungai. Diabaikan, Chen mulai bersuara di kalangan diplomat Barat dan wartawan. Uluran bantuan turun.

Ia kemudian merambah ke isu hak orang yang memiliki keterbatasan fisik. Chen menggugat perusahaan transportasi di Beijing yang menolak aturan menggratiskan penumpang buta. Meski gagal, tindakannya menyebabkan kehebohan di seantero negeri.

Chen pun mulai terbiasa dengan interogasi. Pada saat ini pula media asing menulis kisahnya. Maret 2002, wajah Chen menghiasi sampul Newsweek. Tahun lalu, gilir an majalah Time memasukkannya ke daftar 100 orang ”pahlawan dan pionir” dunia.

Aktivitas Chen kian luas. Ia terjun membela para korban aborsi dan sterilisasi paksa. Dengan populasi sekitar 1,3 miliar, Cina berusaha keras menstabilkan pertumbuhan penduduk. Resminya, pemerintah menentang aborsi dan sterilisasi paksa. Tapi pemaksaan, bahkan dengan kekerasan, banyak ditemukan di daerah karena pejabat setempat harus memenuhi target populasi yang ditetapkan. Ia menemukan beberapa perempuan dipaksa aborsi meski hari kelahiran telah dekat.

Chen mengajukan gugatan terhadap pejabat daerah. Gugatan yang baru pertama kali dilakukan di Cina ini membuat Beijing mengirim tim investigasi. Pemerintah menemukan pelanggaran. Akibatnya, sebagian pejabat dipecat. ”Seseorang harus membela rakyat yang tak mampu bersuara. Dan menurut saya, orang itu adalah saya,” ucapnya kepada Time.

Pemerintah setempat rupanya geram. Sang pembela rakyat dikenai tahanan rumah. Namun ia berhasil menyelinap ke Beijing. Pada September 2005, ia ditangkap di Beijing dengan tuduh an membuka informasi intelijen ke negara asing. Enam bulan kemudian, ia kembali diadili dengan dakwaan menggerakkan massa dan mengganggu lalu lintas.

Chen dijatuhi hukuman empat tahun tiga bulan penjara. Sedangkan sang istri harus hidup di dalam penjara rumah nya, sebelum akhirnya nekat melom pati tembok, menyelusup ke bandara, dan tertangkap.

Purwani Diyah Prabandari (Reuters, Inquirer.net, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus