Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dosa Beras Buat Yingluck

Junta militer Thailand mendorong pemakzulan Yingluck lewat kasus pembelian beras. Tujuannya menyingkirkan klan Shinawatra.

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melalui akun Facebooknya yang terverifikasi, Yingluck Shinawatra menulis: "Demokrasi di Thailand sudah mati." Perdana menteri perempuan pertama Thailand ini pada Jumat dua pekan lalu memprotes keputusan pemakzulan dirinya oleh 190 dari 250 anggota Dewan Legislatif Nasional (NLA).

Pemakzulan itu berkaitan dengan kasus skema subsidi beras yang diterapkan semasa Yingluck memerintah. Waktu itu ia berniat membeli beras petani dengan harga dua kali lipat dibanding harga pasar. Kritikus menyebutkan program populis semacam ini adalah cara yang biasa digunakan Partai Pheu Thai, pengusung Yingluck, untuk meraup suara dari kalangan rakyat jelata. "Program ini memiliki agenda tersembunyi, menyebabkan korupsi dalam prosesnya," kata Vicha Mahakun, Komisioner Komisi Antikorupsi Nasional Thailand (NACC), seperti dikutip Bloomberg, Jumat dua pekan lalu. Karena menjanjikan program ini, Yingluck berhasil meraih 48 persen suara pada pemilihan umum 2011.

NACC menyebutkan Yingluck lalai mencegah kegagalan program itu sekaligus bertindak korup. Kenyataannya, pemerintah Yingluck tak sanggup menjual beras yang mereka beli dari petani. Sebanyak 17,7 juta ton membusuk di lumbung-lumbung. Belasan petani juga melakukan bunuh diri karena penundaan pembayaran membuat mereka bangkrut. Padahal, gara-gara subsidi ini, negara menghabiskan dana hingga 500 miliar baht atau lebih dari Rp 192 triliun. Jika tuduhan korupsi terbukti, perempuan 47 tahun itu terancam penjara 10 tahun.

Sebagai akibat pemakzulannya, Yingluck dilarang berpolitik selama lima tahun. Bungsu dari sembilan bersaudara Shinawatra ini menganggap pemakzulan dirinya aneh. Alasannya, dia sudah dikudeta dari posisi perdana menteri yang dimaksud NLA sejak Mei 2014. "Saya tak bisa disingkirkan dari posisi apa pun karena Mahkamah Konstitusi sudah menyingkirkan saya dari posisi perdana menteri," ujarnya di hadapan parlemen, seperti dilaporkan AsiaOne, Kamis dua pekan lalu. Dia juga mempertahankan skema beras pada masanya dan mengklaim itu sebagai bantuan bagi warga miskin pinggiran Thailand.

Pavin Chachavalpongpun, analis politik Thailand, mengatakan tuduhan kasus subsidi beras adalah skenario junta militer untuk menjerat klan Shinawatra, yang menguasai Thailand sejak 2001. "Militer melancarkan kudeta untuk menggulingkan Yingluck, lalu mengatur komite legislatif untuk memakzulkannya," ujar akademikus Universitas Kyoto tersebut seperti dilansir The Guardian.

Analisis ini bukan tanpa alasan. Semua anggota NLA memang dipilih junta. "NLA dirancang menjadi unit anti-Shinawatra. Tugas utama mereka adalah memakzulkan Yingluck," kata Pavin. Hal ini diperkuat fakta bahwa militer tak pernah menjelaskan bagaimana seseorang yang sudah tak lagi menduduki jabatannya dapat dimakzulkan. Apalagi, pada 2006, militer juga pernah mengkudeta kakak Yingluck, taipan perusahaan telekomunikasi Thaksin Shinawatra, yang kini kabur ke luar negeri.

Perdana Menteri Thailand saat ini, Prayuth Chan-ocha, membantah tudingan bahwa dia dalang dominasi suara di parlemen yang meminta pemakzulan Yingluck. "Saya tidak pernah mengirim sinyal apa pun. Tidak pernah. Tidak pernah ada perintah apa pun," ujarnya seperti dikutip Reuters. Tapi kecurigaan ini tak terhindarkan karena anggota parlemen dipilih langsung oleh militer.

Yingluck berkeras menyatakan diri tak bersalah dan menyebut pemakzulan itu bermotif politik. Dengan mengatasnamakan demokrasi, ia sempat meminta dukungan loyalis Shinawatra, yang dikenal sebagai kelompok kaus merah. Namun Prayuth sigap memperingatkan warga Thailand agar tak menggelar protes jalanan. Ia beralasan Undang-Undang Perang yang memungkinkan militer memaksakan peraturan kepada publik masih berlaku.

Atmi Pertiwi (Inquisitr, Asiaone, The Guardian, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus