Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ishak Hagan, Frederic Samassi, dan teman-temannya tengah duduk di tangga Katedral San Gerlando di Kota Agrigento, Pulau Sisilia, Italia, saat telepon seluler mereka berdering serentak. “Carola libera (Carola telah bebas),” begitu isi pesan pendek dalam bahasa Italia tersebut, Selasa malam, 2 Juli lalu.
Carola yang dimaksud adalah Carola -Rackete, kapten kapal Sea-Watch 3 yang membawa mereka berlabuh di Lampedusa, pulau mungil sebelah barat Malta di Laut Mediterania, empat hari sebelumnya. Mereka bersorak mendapat kabar itu. “Dia menyelamatkan hidup kami. Tanpa dia, kami semua akan mati,” kata Samassi, 24 tahun, pencari suaka asal Pantai Gading.
Carola Rackete ditangkap polisi karena tak menggubris larangan otoritas Italia dan ngotot menyandarkan kapal yang mengangkut para pencari suaka di dermaga Lampedusa saat tengah malam setelah terombang-ambing di laut selama hampir 17 hari. Kapal sepanjang 50 meter dan berbobot 645 tonase kotor itu juga menabrak kapal patroli perbatasan yang terparkir di sana. Akibat aksi nekatnya, Rackete dijerat pasal melawan pejabat publik dan perusakan kapal militer dengan ancaman 10 tahun bui.
Rackete berkukuh keputusannya berlabuh sudah tepat. Menurut perempuan 31 tahun asal Preetz, Jerman, ini, kondisi para pencari suaka di kapalnya tak lagi memungkinkan untuk bertahan lebih lama di tengah laut. “Saya membawa mereka ke tempat aman,” ucap Rackete, yang dibenarkan Hagan, Samassi, dan para pencari suaka lain.
Samassi salah satu dari 53 pencari suaka yang diselamatkan kapal Sea-Watch 3. Sebelum menjejakkan kakinya di daratan Italia, dia menghabiskan tiga tahun di Libya, sebagian besar di balik jeruji besi di pusat detensi imigran. Otoritas Libya menciduknya saat hendak melintasi negara di Afrika Utara itu menuju Eropa. Namun, berkat bantuan Rackete, hasratnya mengadu nasib di Benua Biru bisa terwujud.
Perjalanan Samassi berawal saat dia dan para pencari suaka lain keluar dari pusat detensi. Dengan menumpang perahu dayung, mereka meninggalkan pesisir Libya sambil membawa bekal seadanya. Baru dua hari mengarungi laut, persediaan air minum mereka habis. Beruntung mereka melihat kapal Sea-Watch 3 melintas. “Para kru memberi kami air, kami hampir mati kehausan,” tutur Hagan, pria 21 tahun asal Ghana.
Kru Sea-Watch 3, kapal berbendera Belanda milik Sea-Watch, organisasi pencari dan penyelamat imigran asal Jerman, tidak hanya mengangkut mereka. Samassi, Hagan, dan teman-temannya juga diberi makanan, pakaian, serta obat. “Mereka memperlakukan kami seperti saudara,” ujar Hagan.
Tapi Rackete, kapten kapal itu, diseret ke meja hijau Italia. Luca Marino, pengacara Rackete, menyatakan sang klien akan terus berjuang untuk membersihkan namanya. “Saya tidak yakin dia ingin tinggal di Italia, tapi dia akan berada di sini untuk membela diri,” kata Marino. “Tuduhan terhadapnya sangat serius.”
Selain menabrak kapal patroli, Rackete menghadapi tuntutan pidana yang jauh lebih berat, yaitu memfasilitasi imigrasi ilegal alias menyelundupkan manusia, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Rackete terpaksa bersembunyi setelah menerima ancaman, terutama dari para pendukung kebijakan Menteri Dalam Negeri Italia Matteo Salvini, yang anti-imigran.
Sejak berkuasa musim panas tahun lalu, pemerintah sayap kanan Perdana Menteri- Giuseppe Conte mengubah haluan kebijakan imigrasi Italia. Salvini, yang merangkap jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri,- mengeluarkan undang-undang untuk menutup pelabuhan bagi kapal penyelamat imigran. Mereka yang melanggar bisa dijatuhi denda setara dengan Rp 793 juta dan kapal mereka disita. “Migrasi yang terorganisasi ini dirancang untuk mengganti orang Italia dengan orang lain, pekerja Italia dengan pekerja lain,” ucapnya.
Arus pendatang memang membanjiri negeri itu. Terletak menghadap Mediterania, negeri berpenduduk 60 juta jiwa itu salah satu pintu masuk utama bagi para imigran dan pengungsi yang melarikan diri dari konflik serta kemiskinan di Timur Tengah dan Afrika ke Eropa. Lebih dari 600 ribu orang tiba di Negeri Pizza selama 2014-2017. Mereka bertaruh nyawa menempuh perjalanan berbahaya untuk mencapai negeri itu. Ribuan orang telah tewas atau hilang saat mencoba menyeberangi Mediterania. Kebanyakan karena tenggelam di laut.
Tapi Salvini tidak peduli. Dia ogah negaranya menjadi tempat transit ataupun tujuan para pendatang. Maka politikus 46 tahun yang memimpin Partai Liga ini memerangi kapal-kapal penyelamat imigran. Salvini mengklaim kebijakannya sukses mengerem arus pendatang. Jumlah imigran di Italia turun dari 182 ribu tahun lalu menjadi 107 ribu tahun ini. “Permintaan suaka terpangkas separuhnya menjadi 30 ribu,” tutur Salvini, yang menjuluki kapal-kapal penyelamat imigran sebagai “kapal bajak laut”.
Dampak kebijakan anti-pendatang ini tak hanya dirasakan Kapten Rackete. Koleganya, Pia Klemp, juga terancam bui selama 20 tahun karena dituduh membantu migrasi ilegal. Perempuan 35 tahun asal Bonn, Jerman, itu telah menyelamatkan lebih dari seribu imigran dari lepas pantai Libya. Tapi pemerintah Italia menuduhnya berkomplot dengan penyelundup Libya untuk memasukkan para imigran.
Klemp tak gentar. Perempuan dengan tubuh penuh tato ini hanya merasa frustrasi karena harus merogok kocek hingga ratusan ribu euro dari tabungan dan donasi hanya untuk menjalani persidangan yang bisa berlangsung bertahun-tahun. Padahal duit sebanyak itu dapat dipakai untuk menolong para imigran. “Ini hal terburuk. Misi penyelamatan laut telah dikriminalisasi,” ucapnya.
Klemp adalah aktivis, ahli biologi, dan kapten kapal. Sebelum aktif di Sea-Watch, lulusan Universität Bonn ini bergabung dengan lembaga nirlaba Sea Shepherd Conservation Society sejak 2011. Dia jatuh cinta pada laut setelah bekerja sebagai instruktur selam di perairan yang kaya terumbu karang. “Selepas ikut beberapa proyek konservasi di Jerman, Thailand, dan Indonesia, saya ikut kapal-kapal Sea Shepherd,” ujarnya. Klemp juga mendirikan Aquascope,- organisasi yang memerangi penangkapan ikan ilegal.
Selama enam tahun bekerja, Klemp meniti karier dari kelasi, koki, hingga menjadi kapten kapal. Menurut Sea Shepherd, hanya 1 persen kapal di seluruh dunia yang dikomandoi kapten dari kaum Hawa.
Saat krisis pengungsi melanda Eropa pada 2015, Klemp, yang telah cakap menakhodai kapal, mulai resah. Dia ingin menolong pencari suaka yang berjibaku di samudra demi menjejak Eropa. Sejak itulah perempuan dengan hidung bertindik ini terjun ke dalam misi penyelamatan di Laut Tengah.
Klemp membantu Sea-Watch dan organisasi kemanusiaan asal Jerman, Jugend -Rettet, selama dua tahun sejak 2016. Dia pernah memimpin kapal Iuventa milik Jugend Rettet dan Sea-Watch 3, yang belakangan dinakhodai Carola Rackete. Klemp menolong ribuan orang yang terkatung-katung di lautan setelah perahu mereka karam di sekitar lepas pantai Libya dan Italia. “Itu tugas utama kapten kapal,” tuturnya.
Aksi heroik Klemp terhenti setelah pemerintah Italia menyita Iuventa saat berlabuh di Lampedusa pada Agustus 2017. Ketika itu, sentimen anti-imigran telah menguat. Setahun kemudian, saat rezim sayap kanan berkuasa di Italia, Klemp makin terdesak. Polisi kemudian menyeretnya ke meja hijau.
Tapi Klemp menyatakan siap melawan balik Italia. Jika divonis bersalah, dia bakal menggugatnya ke Mahkamah Hak Asasi Manusia Uni Eropa di Strasbourg, Prancis. Klemp beralasan menolong imigran yang nyaris tenggelam bukanlah kejahatan. “Kami hanya mengikuti aturan internasional, terutama hukum laut, yang prioritas utamanya menyelamatkan orang yang kesusahan,” kata Klemp.
MAHARDIKA SATRIA HADI (DER SPIEGEL, THE LOCAL, DEUTSCHE WELLE, SEA-WATCH)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo