Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bangkit Lagi Cokelat Ransiki

Koperasi Eiber Suth menghidupkan kembali 200 hektare kebun kakao yang sempat terbengkalai di Manokwari Selatan. Mulai dilirik pabrik cokelat dunia.

13 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petani memilah biji kakao di perkebunan Ransiki./ IDH/ Beawiharta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan burung cenderawasih Vogelkop asal Papua Barat terbang ke Los Angeles, California, Amerika Serikat, awal Juni lalu. Bukan Vogelkop yang sebenarnya, melainkan gambar burung endemis bermata biru dengan kepala hitam dan sayap terkembang bulat seperti tokoh Angry Birds itu yang tertera dalam kemasan cokelat produksi Pipiltin Cocoa. Ratusan cokelat ini dibagikan saat perjamuan makan malam dalam acara penghargaan Konservasi Internasional, Sabtu, 8 Juni lalu.

“Ada 400 batang cokelat Ransiki yang dibagikan ke dalam goody bag saat acara itu,” kata pendiri dan pemilik Pipiltin Cocoa, Tissa Aunilla, saat ditemui, Kamis, 27 Juni lalu. Itulah pertama kali Pipiltin memperkenalkan cokelat berbahan dasar kakao Ransiki asal Manokwari Selatan, Papua Barat, kepada tokoh dunia. Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan menerima penghargaan sebagai Pahlawan Konservasi Global dalam acara itu.

Dominggus dianggap berperan menjaga lingkungan dan pembangunan berkelanjutan melalui program konservasi di Papua Barat. Ia berkomitmen melindungi 70 persen daratan Papua Barat untuk pelestarian ekosistem. Pemerintah Papua Barat juga memiliki peraturan daerah khusus tentang pembangunan berkelanjutan. Belakangan, Pemerintah Kabupaten Manokwari Selatan menganggarkan Rp 10 miliar untuk merehabilitasi 1.600 hektare kebun cokelat di Ransiki secara bertahap.

Perjalanan kakao Ransiki hingga menjadi cokelat yang dipamerkan di Negeri Abang Sam terbilang cukup kilat. Pipiltin memproduksi 400 batang cokelat berukuran 85 gram tak sampai satu bulan. Tissa mengirim juru kamera ke Ransiki. Dalam video itu tergambar bagaimana kebun kakao Ransiki dekat dengan hutan Pegunungan Arfak di Papua Barat. Dari situlah tercetus ide menyertakan gambar burung cenderawasih Vogelkop dan beberapa tanaman endemis Papua Barat sebagai ikon di kemasan cokelat.

Seperti produk-produk Pipiltin sebelumnya, setiap cokelat single origin memiliki kisah produksi berbeda. Tissa tertarik pada kakao Ransiki dalam tempo yang cukup cepat. Januari lalu, tim Yayasan Inisiatif Dagang Hijau membawa sampel kakao Ransiki untuk Pipiltin. Saat itu, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau sedang mencari pembeli atau investor untuk beberapa komoditas pangan Papua Barat dan Jayapura, termasuk kakao.

Direktur Utama Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Fitrian Ardiansyah juga mengundang ahli cokelat dari Prancis, Alexandre Bellion, untuk mengamati produksi kakao Ransiki. Menurut Bellion, kakao Ransiki bisa diolah menjadi cokelat bercita rasa tinggi dan tak kalah dibanding kakao daerah lain.

Gayung bersambut. Pipiltin siap memproses kakao tersebut menjadi cokelat dengan harga jual tinggi. Pipiltin juga memberikan pendampingan jarak jauh agar petani dapat meningkatkan nilai jual kakao. “Kami memang mencari mitra yang juga berfokus pada kualitas produksi dan kelestarian lingkungan,” kata Fitrian, Rabu, 20 Juni lalu.

Untuk pengembangan cokelat Ransiki, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau tak hanya menghubungkan kelompok petani dengan para pembelinya. Yayasan juga menjamin setiap kegiatan produksi ditopang lembaga keuangan dengan bunga rendah dan minim risiko. Saat ini pembiayaan kelompok tani yang tergabung dalam Koperasi Eiber Suth Cokelat Ransiki itu masih berasal dari bantuan pemerintah.

Di Jakarta, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau memfasilitasi pertemuan Pipiltin dengan Gubernur Dominggus Mandacan dan perwakilan petani kakao Ransiki untuk meningkatkan produksi. Pipiltin meminta petani memproduksi cokelat fermentasi tingkat A, yang harga jualnya lebih tinggi dibanding kakao kering. Dengan begitu, petani bisa mendapat keuntungan maksimal.

Harga kakao kering berkisar Rp 20-30 ribu per kilogram, sedangkan kakao hasil fermentasi bisa dijual Rp 45-55 ribu per kilogram. Fermentasi dilakukan paling cepat selama lima hari. Dengan fermentasi yang pas, kata Tissa, keunikan cita rasa cokelat Ransiki akan muncul. Proses ini yang akan menghasilkan cokelat single origin tanpa campuran vanila.

Pendiri dan pemilik Pipiltin Cocoa, Tissa Aunilla, di Pipiltin Cocoa, Jakarta, 27 Juni 2019./ Tempo/Tony Hartawan

FLANDY Botto alias Obe teringat saat kakao Ransiki pernah menjadi komoditas primadona puluhan tahun silam. Obe mantan karyawan PT Cokelat Ransiki, satu-satunya perusahaan penghasil kakao di Manokwari. Perseroan yang berdiri pada 1979 itu berjaya hingga 1990. “Saat itu produksi per bulan rata-rata lebih dari 100 ton,” ucap Obe melalui sambungan telepon, Rabu, 26 Juni lalu.

Perusahaan perlahan limbung sejak 1994 hingga akhirnya bangkrut dan tutup pada 2006. Ratusan karyawan, yang mayoritas warga Ransiki, kehilangan pekerjaan, termasuk Obe. Kebun kakao Ransiki berada di lahan hak guna usaha dengan luas 4.903 hektare di dekat Pegunungan Arfak. Dari total lahan itu, area yang pernah ditanami hanya 1.668 hektare. Sisanya masih berupa hutan. Meski tak dirawat, pohon kakao di sana tetap berbuah sepanjang tahun.

Tak tahan melihat kebun terbengkalai, empat eks karyawan Cokelat Ransiki sepakat mendirikan Koperasi Eiber Suth untuk mengelola pohon-pohon tersebut. Dengan nama “Eiber Suth”, yang berarti “bangkit kembali”, mereka berharap kakao Ransiki bisa berkembang lagi. “Intinya, menciptakan lapangan kerja lagi,” kata Obe.

Dulu, produksi kakao Cokelat Ransiki banyak diminati produsen cokelat dunia. Salah satu produsen cokelat raksasa, Mars, pernah membeli bahan baku cokelat dari Ransiki. PT Cargill Indonesia juga berlangganan biji kakao kering Ransiki untuk diolah menjadi bahan makanan.

Cokelat Ransiki memang memiliki cita rasa yang khas. Menurut Tissa Aunilla, cokelat Ransiki terasa seperti krim -(creamy) dan tidak pahit serta beraroma kacang (nutty) dan wangi hujan (earthy). Ciri ini berbeda dengan cokelat Tabanan, Bali, yang lebih beraroma buah dengan kadar asam tinggi, atau cokelat Flores yang wangi cengkih. “Cokelat Ransiki ini masih bisa dikembangkan lagi jadi rasa baru,” ujar Tissa.

Dalam dua tahun terakhir, Koperasi Eiber Suth masih berkonsentrasi merehabilitasi 200 hektare kebun kakao yang telah lama mati. Namun Eiber Suth juga ingin mengembangkan kekhasan cokelat Ransiki yang tak dimiliki cokelat daerah lain. Sebab, selama ini petani terbiasa hanya menjual biji kakao kering tanpa tahu cara mengolahnya menjadi cokelat. Apalagi selama bertahun-tahun pohon kakao Ransiki tetap dapat tumbuh subur tanpa diberi pupuk kimia. “Pohonnya tumbuh subur karena dekat hutan,” tutur Tissa.

Perlahan, pengusaha cokelat dunia mulai melirik cokelat Ransiki setelah dipamerkan dalam perjamuan makan malam di Los Angeles. Tissa bercerita, kawan-kawannya pengusaha cokelat dari Inggris sempat bertanya kepadanya tentang cita rasa cokelat Ransiki. “Saya bilang banyak cerita yang menarik dari cokelat ini, bukan hanya soal cokelatnya,” kata Tissa.

Yayasan Inisiatif Dagang Hijau juga terus bergerilya membawa cokelat Ransiki kepada investor global. Perusahaan cokelat asal Prancis, Valrhona, pun mulai membidik kakao Ransiki sebagai bahan baku cokelat premium. Mei lalu, perwakilan Valrhona bertemu dengan tim Koperasi Eiber Suth untuk menjajaki kerja sama pembelian kakao secara bertahap. Yayasan Inisiatif Dagang Hijau memfasilitasi- penjajakan tersebut agar menghasilkan kerja sama jangka panjang. “Mereka akan buka pabrik di Bali dan cari potensi pasok-an. Kelas mereka besar,” ucap Program Officer -Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Melati Anggara.

Yayasan Inisiatif Dagang Hijau tak mau asal-asalan menggandeng investor untuk mengembangkan cokelat Ransiki. Menurut Melati, timnya akan menggaet perusahaan yang tak hanya mengeruk produksi kakao Ransiki, “Tapi, juga mau berinvestasi untuk rehabilitasi kebun, membantu petani dalam produksi dan manajemen bisnis kakao.”

Jika cokelat Ransiki bangkit lagi, Fitrian- Ardiansyah yakin ekonomi warga Ransiki akan makin tumbuh. Masyarakat juga bisa lebih berkontribusi untuk kelestarian Pegunungan Arfak. “Kalau sejahtera, mereka tidak akan merambah hutan,” ujar Fitrian. Pendapatan daerah pun bisa turut terdongkrak.

PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus