PM Lee Kuan Yew khawatir. Gara-gara program keluarga berencana, yang mencanangkan "cukup dua anak saja", Singapura bisa-bisa gagal mempertahankan jumlah penduduk 2,5 juta. Menurut statistik, tahun lalu Singapura hanya memperoleh tambahan 42 ribu bayi, padahal yang diperlukan 56 ribu. Tragisnya, pada periode yang sama, negeri pulau itu mencatat 24 ribu pengguguran. Menghadapi paceklik bayi ini, pemerintah banting setir. Slogan "dua anak" yang sudah dua puluhan tahun dikerek, ditinggalkan. Kini pasangan suami-istri dianjurkan mempunyai lebih banyak anak. Untuk itu mereka diberi iming-iming. Kemudahan di bidang perumahan, pajak dan pengobatan, plus hak untuk cuti lebih panjang, adalah sebagian dari perangsang yang ditawarkan pada para wanita pekerja. Ada kemungkinan, undang-undang imigrasi juga akan diperlunak agar tenaga ahli asing mau menetap dan menikah dengan cewek Singapura. "Tujuan akhir kita adalah agar semua bagian masyarakat kita bisa melahirkan generasi berikutnya," ujar Menteri Penerangan dan Komunikasi Yeo Ning Hong. Ada kekhawatiran, bila jumlah penduduk Singapura terus merosot, jumlah pria tidak akan cukup sehingga wanita bisa jadi akan harus ikut wajib militer. Sebuah komite kini telah dibentuk untuk mengkaji berbagai kemungkinan buat mengatasi paceklik bayi. Ternyata, tak banyak yang tergoda oleh tawaran pemerintah. Malah banyak pasangan yang gusar terhadap perubahan kebijaksanaan ini, terutama mereka yang dulu ingin punya banyak anak tapi dilarang pemerintah. "Sekarang umur saya sudah melewati batas usia subur. Penawaran itu jelas tidak ada gunanya," kata seorang karyawati berusia 40 tahun. Seorang direktris berkomentar. "Dulu mereka bilang cukup dua, sekarang dianjurkan bikin tiga atau lebih. Apa dikira bikin bayi itu mudah ?" Banyak pasangan muda yang mengatakan, mereka telanjur merasa cocok dengan pola keluarga kecil, sehingga sulit untuk mengubah pola berpikir -- meski ada iming-iming buat yang mempunyai banyak anak. Masalah kependudukan memang sangat diperhatikan pemerintah Singapura. Tiga tahun silam, PM Lee juga melancarkan apa yang dikenal sebagai rekayasa sosial dalam bidang kependudukan. Waktu itu pemerintah menganjurkan agar para wanita berpendidikan tinggi menikah dan punya anak. Lee rupanya khawatir karena rendahnya jumlah bayi yang dilahirkan ibu berpendidikan tinggi (rata-rata 1,65 anak dibanding 3,5 dari ibu berpendidikan rendah). Jika gejala ini berlanjut, 20 tahun mendatang Singapura bisa jadi akan dikelola orang-orang berkaliber sedang. Untuk itu pemerintah membentuk biro jodoh agar mereka bisa mendapat pasangan yang tepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini