Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dukacita di Gerbang Surga

Lima belas tahun telah berlalu sejak pembantaian Tiananmen. Tragedi itu melahirkan perjuangan panjang bagi ibu-ibu di negeri Cina yang ingin menyingkap tabir rahasia di balik pembantaian terhadap putra-putrinya.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNGA mawar tak selalu menyimbolkan romantisme di Cina—lebih-lebih saban tanggal empat Juni. Formasi empat kuntum mawar merah dan enam mawar putih yang dirangkai dalam satu buket justru menjadi pengingat yang getir bagi keluarga korban pembantaian di Tiananmen 15 tahun silam. Ding Zilin dan Jiang Peikun adalah sepasang orang tua yang terus menyimpan dukacita dari tragedi pembantaian tersebut. Di Lapangan Tiananmen (arti harfiahnya, "gerbang kedamaian surgawi") pasangan ilmuwan tersebut kehilangan Jiang Jeilian. Putra mereka itu tewas ditembak militer pada malam sebelumnya. Jeilian adalah pelajar SMA berusia 17 tahun ketika tewas dalam peristiwa berdarah tersebut.

Hari itu, 4 Juni 1989—dua bulan setelah gerakan prodemokrasi memenuhi lapangan tempat diproklamasikannya kemerdekaan Republik Rakyat Cina oleh Mao Zedong pada 1 Oktober 1949—Ding masih belum menyadari bahwa kematian putranya adalah awal dari perjuangan panjangnya untuk menjernihkan sejarah Cina modern.

Tak pernah jelas berapa jumlah korban jiwa, dan berapa orang yang terluka. Sampai September 1989, ketika ia tak sengaja bertemu dengan Zhang Xiangling, ibu korban Tiananmen lainnya, Wang Nan. Kedua ibu ini lalu memperluas kontak dengan berbagai cara untuk bisa berhubungan dengan ibu-ibu lain yang kehilangan anak.

Pada Mei 1991, ketika diwawancarai ABC News, Ding secara terbuka menyangkal pidato Perdana Menteri Li Peng yang menyatakan tak diumumkannya nama-nama korban sebagai bentuk penghormatan terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ding bahkan meminta Presiden Jiang Zemin mengumumkan nama dan jumlah korban tewas yang sebenarnya. Sebagai akibat wawancara ini, Ding—profesor filsafat di Universitas Rakyat Cina—dipecat dari kampusnya dan dikeluarkan dari Partai Komunis Cina.

Dalam peringatan empat tahun peristiwa Tiananmen, Ding yang dijadwalkan berbicara dalam konferensi hak asasi manusia di PBB dicekal oleh pemerintah Cina. Namun ia masih bisa mengirimkan testimoni tertulis yang memuat lebih dari 30 nama korban tewas. Pada 1994, daftar itu bertambah panjang: tercatat ada 94 korban tewas dan 49 orang terluka.

Pada Mei 1995, Ding membuat dua gebrakan sekaligus. Bersama suaminya Jiang Peikun, Direktur Pusat Penelitian Kajian Amerika, perempuan asal Provinsi Jiangshu ini membuat surat terbuka kepada Jiang Zemin yang ditandatangani 45 ilmuwan. Isinya, permintaan untuk menciptakan situasi politik yang lebih toleran dan terbuka. Akibatnya fatal: Peikun justru dipecat dari jabatannya. Lembaganya dilarang menerima aplikasi baru dari para mahasiswa yang ingin melakukan riset.

Surat terbuka lainnya, yang ditandatangani 27 keluarga korban, dikirim Ding ke anggota Kongres. "Kami mendesak diadakannya penilaian kembali terhadap peristiwa 4 Juni dan perlakuan yang adil bagi keluarga korban." Demikian bunyi salah satu poin di surat itu. Bentuk ketidakadilan itu adalah makin ketatnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas mereka, rekening yang dikontrol setiap saat, sehingga tak bisa menerima donasi keuangan dari mana pun, termasuk asosiasi pelajar Cina di luar negeri. Belum lagi telepon rumah Ding yang disadap 24 jam penuh.

Dalam peringatan 10 tahun, Ding membentuk Kampanye Para Ibu Korban Tiananmen dan merevisi daftar menjadi 125 korban tewas dan 65 korban luka. Setiap tahun hampir selalu muncul temuan baru. Data terakhir ada 175 korban tewas, dengan korban termuda berusia 9 tahun, dan korban tertua 56 tahun.

Atas segala perjuangannya, Ding dicalonkan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2003. Hadiah ini akhirnya jatuh ke tangan Shirin Ebadi dari Iran. Tapi, dengan atau tanpa Nobel, hidup Ding selama 15 tahun terakhir ini pastilah sudah seharum mawar, khususnya bagi para ibu yang telah kehilangan putra-putrinya karena dihajar peluru tentara Cina, di Tiananmen, gerbang kedamaian surgawi.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus