Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pilihan bagi Sang Monarki

Arab Saudi menjadi tersentuh tangan terorisme. Ada dua pilihan: menguatkan peran politik dan mendepak pasukan Amerika.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jazirah ini tak akan lagi wajar dan biasa. Peristiwa berdarah Sabtu dua pekan silam mengubah segalanya, meruntuhkan simbol Arab Saudi sebagai jazirah teraman di kawasannya. Syahdan, Sabtu 29 Mei itu sebuah truk berhenti di kompleks Khobar, kawasan pusat industri perminyakan yang mayoritas menjadi tempat kediaman ekspatriat dari perusahaan minyak. Sekumpulan lelaki bertopeng kemudian menyerang kantor pusat APICORP (Arab Petroleum Investments Corporation). Enam orang tewas di tempat, termasuk anak asal Mesir berusia 10 tahun yang ayahnya sedang bekerja di gedung itu.

Serangan itu berlangsung di tiga tempat dalam waktu hampir bersamaan. Di Oasis, sebuah tempat peristirahatan akhir minggu yang mewah, para penyerang mengurung 50 sandera hingga dibebaskan dengan paksa oleh pasukan khusus Kerajaan Saudi. Hari itu 50 orang disandera dan 22 di antaranya mati sia-sia ditembus peluru teroris. Yang sangat memalukan adalah peristiwa kaburnya tiga teroris yang berhasil menyelinap di tengah permukiman penduduk setelah menembaki para sandera.

Setelah peristiwa berdarah ini, Arab Saudi tak lagi merasa sentosa di tengah para tetangganya yang sudah lama tersentuh tangan terorisme. Harus diingat, Khobar adalah salah satu pusat industri minyak di Arab Saudi. Negeri ini memproduksi 5 juta barel minyak sehari dan memasok 38 persen minyak dunia alias produsen terbesar. Tetapi, yang paling penting diingat adalah jazirah ini untuk ratusan tahun lamanya telah menjadi simbol stabilitas politik Timur Tengah karena kuatnya dukungan Amerika Serikat. Namun, setelah Khobar ditembus teroris dua pekan silam, harga minyak melonjak ke US$ 41 per barel, tertinggi sejak Perang Arab-Israel tahun 1967.

Para teroris—diduga sebagai kelompok Hizbullah—saat menyandera sekitar 50 pekerja asing, kepada negosiator sandera, mengatakan alasan mereka menyerang Khobar. Mereka tidak rela minyak Saudi disedot Amerika dan tidak setuju dengan sikap Monarki Arab yang tunduk kepada AS. Meski akhirnya drama penyanderaan itu dapat diakhiri pasukan khusus, 22 orang tewas, hampir semua pekerja asing, dan cuma satu petugas keamanan lokal.

Goyahnya keamanan Arab Saudi mulai muncul sejak serangan teroris pertama tahun lalu di Kota Riyadh. Dunia mulai cemas karena AS ternyata tak bisa menjamin keamanan monarki yang didirikan Ibnu Saud itu. Padahal, sejak era kepresidenan AS Jimmy Carter, AS telah menjanjikan keamanan dan stabilitas politik bagi Arab Saudi karena pentingnya komoditas minyak bagi dunia. Bahkan, ketika Arab Saudi bergabung dengan OPEC untuk ikut mengontrol harga minyak dunia, AS masih bisa memakainya untuk menekan harga minyak serendah mungkin.

Eratnya hubungan Arab Saudi dengan AS, yang tercipta melalui perusahaan minyak macam Exxon, Texaco, atau Aramco, menyebabkan posisi kerajaan kaya minyak itu mulai "menjauh" dari beberapa peristiwa penting di Timur Tengah. Apalagi sikap dukungan AS terhadap Israel, yang menjadi musuh bersama Arab, membuat Arab Saudi dalam posisi sulit. Dalam Perang Arab-Israel selama enam hari di tahun 1967 dan Yom Kippur, misalnya, peran Saudi tak terdengar.

Peristiwa terbaru yang mengasingkan Saudi dari komitmennya terhadap persaudaraan muslim adalah desakan AS agar monarki ini menghentikan semua bantuan keuangannya kepada lembaga-lembaga Islam di seluruh dunia setelah tragedi 11 September 2001 silam. Alasannya, semua organisasi agama sedang diselidiki keterkaitannya dengan jaringan terorisme internasional.

Sikap AS semakin menyulitkan Saudi karena kerajaan ini juga menjadi pendukung keuangan PLO dan Yasser Arafat sebelum Perang Teluk I dan masih menjadi sumber dana bagi Hamas di Palestina. Tak kurang dari Usamah bin Ladin—kini menjadi musuh nomor 1 AS dan negara-negara Barat—sering menyatakan bahwa dana operasi yang mereka peroleh itu dikucurkan oleh para petinggi Kerajaan Saudi. Penghentian bantuan itu akan mengucilkan Saudi dari gerakan Islam di berbagai belahan dunia.

Untuk membawa Saudi kembali sebagai pemimpin Timur Tengah, dalam pertemuan Liga Arab tahun 2002 Pangeran Abdullah melontarkan isu perbaikan hubungan dengan Israel sebagai langkah menuju stabilitas politik di kawasan itu. "Normalisasi dengan Israel adalah (langkah) yang pertama," katanya. Ia juga menyampaikan kepada Wakil Presiden Amerika Dick Cheney, sebagai wakil Arab, untuk menyampaikan penolakan membantu Amerika menyerang Irak.

Namun, penempatan pasukan AS di perbatasan dengan Kuwait dan Irak sejak Perang Teluk menjadikan Saudi sasaran kritik baru. Dalam sebuah wawancara khusus dengan majalah Nida'ul Islam tahun 1996, Bin Ladin menuduh keluarga kerajaan telah dirasuki korupsi dan menyerah kepada tekanan-tekanan perusahaan Amerika yang beroperasi di sana.

Menurut Bin Ladin, bercokolnya tentara Amerika melahirkan keinginan Al-Qaidah untuk meningkatkan serangan terhadap negeri yang dulu ia anggap tanah suci yang tak mungkin disentuhnya. "Orang asing di tanah suci orang Islam akan mencemari kesucian tanah itu, karena itu harus disingkirkan," kata Bin Ladin, "Dan keluarga kerajaan yang melindungi termasuk yang harus ditentang." Protes terhadap pangkalan Amerika juga diutarakan oleh para imam masjid ketika salat Jumat, berikut sejumlah petisi kepada Raja Fahd agar melakukan pembaruan di bidang politik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi, serta bagi hasil minyak bumi.

Betapapun kerasnya desakan agar pasukan Amerika ditarik keluar dari Saudi, sulit dipenuhi keduanya. Perang Iran-Irak, serangan Irak ke Kuwait, dan infiltrasi pasukan Irak ke kota perbatasan Saudi pada Perang Teluk sangat menakutkan monarki itu. Tetapi serangan teroris di dalam negeri membuat Saudi menimbang lagi perlunya mendepak Amerika.

Amerika jelas tak ingin hengkang dari kawasan suci itu dan hanya meneropong dari pangkalan militer mereka di Pulau Diego Garcia di Lautan Hindia. Berharap Saudi sebagai polisi kawasan? Meskipun militer Saudi tetap bergerak meningkatkan modernisasi angkatan perang dan menaikkan belanja militernya, AS belum bisa berharap kerajaan itu menjadi pengawas yang efektif di Timur Tengah. Menurut para analis Timur Tengah, AS menganggap monarki ini belum demokratis, masih lemah secara militer dan politik, sehingga tak mungkin berharap mereka bisa mengatur lalu-lintas keamanan di kawasan itu. Tentu harus diingat, inilah cara polisi dunia melahirkan dalih.

I G.G. Maha Adi (IHT, Nida'ul Islam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus