Detak sepatu para bell boy terengah mendorong gunungan koper. Pelayan kafe yang berseliweran menating kopi dengan langkah berdesis di atas lantai ubin yang berkilau di lobi Hotel National. Dan enam pria bertampang makmur itu tiba-tiba menyeruak ke depan meja penerima tamu. Mereka mencatatkan nama. Menyerahkan paspor. Kartu kredit. Lalu menerima kunci kamar.
Tuan-tuan asing ini tak usah repot mampir ke kasa penukaran uang. Mereka hanya perlu memastikan ada tumpukan dolar atau poundsterling yang cukup di dompet guna membayar kopi, membeli cendera mata, menyewa Mercedes yang sudah disulap menjadi taksi, atau menyantap steak seharga US$ 35 di Restoran La Torre, lantai 33 Gedung Focsa yang mencakar langit. Di San Francisco? London? Bukan. Di kawasan Bedado, Kota Havana, ibu kota Republik Kuba.
Di negeri ini, lembar dolar tuan-tuan asing itu diterima dengan sukacita oleh para pegawai setempat, yang menghitung gaji bulanan dalam beberapa lembar puluhan peso. Padahal mereka hanya perlu membayar sepeso untuk air yang berlimpah ruah atau listrik yang dinyalakan sepanjang bulan. Di Havana maupun kota mana pun di 14 provinsi yang tersebar di seluruh negeri, siapa pun boleh gratis ke dokter, tak perlu repot memikirkan uang sumbangan bila ingin mengirim anak ke sekolah. Mereka menitipkan kupon jatah makanan di kedai-kedai pemerintah pada pagi hari. Lalu pada petang hari sehabis bekerja, bungkusan sembako itu bisa diambil dalam perjalanan pulang.
Di negeri itu, diajarkan kepada setiap anak sekolah bahwa pendidikan gratis, dokter perdeo, dan sewa listrik serta air yang supermurah adalah buah dari ideologi sosialisme dan komunisme—falsafah yang menjadi landasan Kuba. Tapi jangan lupa, ada yang bahkan lebih populer dari sosialisme itu sendiri: Fidel Castro, 76 tahun. Dijuluki Senor Comandante, pemimpin Kuba ini bukan saja memancarkan daya pikatnya melalui orasi berjam-jam di bawah terik matahari Havana. Daya pikatnya datang dari payung perlindungan yang dia tebarkan ke setiap inci Kuba dalam rupa-rupa bentuk, mulai dari melarang penduduk Kuba menginap di hotel, membeli mobil di atas tahun 1960, serta melarang kepemilikan pribadi atas properti negara seperti tanah.
Intinya, Castro ingin melindungi mereka dari musuh sosialisme yang paling klasik: kapitalisme. Dan negara yang paling getol menularkan ideologi ini, menurut Castro, adalah Amerika, si musuh lama yang tak lain adalah tetangganya sendiri di seberang teluk. Namun Castro punya cara elegan untuk menghadapi sang musuh. Intisari dari elegansi Castro ini bahkan bisa direkam dari mulut anak jalanan di Kota Havana. "Siapa bilang kami memusuhi Amerika? Yang kami musuhi adalah pemerintahnya, para pembuat kebijakannya, dan ideologi mereka," kata seorang tukang parkir di kawasan La Rampa, yang dengan gembira menerima sebenggol dolar untuk pekerjaan memarkirkan mobil. Senor Commandante kini memang tak punya banyak pilihan kecuali bersikap lebih manis kepada penduduk negeri besar di sebelah utara Kuba itu.
Perekonomian Kuba menunjukkan Amerika adalah salah satu penyumbang potensial dari dua juta wisatawan yang membanjiri negara itu. Tahun 2000 pendapatan dari sektor ini mencapai US$ 1.948 juta, naik 80 persen per tahun sejak 1990.
Eksotisme Kuba yang menjadi daya pikat para turis ini bukan ada dalam dansa rumba, salsa, atau cerutu. Wanita-wanitanya adalah salah satu yang paling jelita di atas jagat. Daniel van Stee, turis Belanda yang sedang berkunjung ke Varadero sembari mengedipkan matanya menunjuk pada seorang muchacha berkulit cokelat di sampingnya, tatkala TEMPO bertanya mengapa ia bolak-balik ke Kuba dalam lima tahun terakhir. Pariwisata, di samping produk bioteknologi farmasi, memang dua tulang punggung ekonomi yang memacu masuknya devisa ke negera berpenduduk 11 juta jiwa itu.
Masuknya devisa, tegaknya hotel berbintang—dari Miramar Novotel hingga National Hotel—adalah bukti bahwa kalaupun setiap warga Kuba menjerit bahwa yang mereka percayai adalah revolusi dan sosialisme, deru kapitalisme yang telah menumbangkan raksasa-raksasa sosialis semacam Rusia dan Cina telah berdengung keras di Havana serta kota-kota lain. Betapapun ketatnya Castro dan para komandannya menegakkan landasan dan falsafah sosialisme komunisme selama lebih dari empat dekade terakhir setelah menumbangkan Presiden Fulgencio Batista pada 1959. "Trauma kapitalisme telah kami rasakan di zaman Batista," ujar Profesor Miguel Alfonso, seorang ahli hukum internasional di Havana.
Ketika itu Castro bersama Che Guavara dan Camillo Cienfuegos membentuk kelompok perlawanan yang menyikat Batista yang korup hingga rata dengan tanah. Castro naik menjadi Perdana Menteri Kuba pada 1959, setelah Batista kabur. Pada tahun yang sama, Che Guavara—warga negara Argentina yang menjadi pahlawan Kuba—disumpah menjadi Presiden Bank Nasional Kuba. Pemerintahan Castro lalu bergegas menghapus seluruh jejak Batista dan antek-anteknya. Para penentang dipenjarakan. Yang masih bandel dicabut nyawanya.
Tahun-tahun pertama revolusi diwarnai dengan gelombang migrasi ke luar negeri. Sekitar 700 ribu warga Kuba melarikan diri, paling banyak ke Amerika Serikat. Seluruh sektor peternakan, pertanian, perkebunan tebu, pertanian tembakau, bank, dinasionalisasi. Perusahaan-perusahaan asing termasuk properti warga AS senilai US$ 1 miliar (dengan nilai sekarang sekitar Rp 10 triliun) dilibas menjadi milik "negara" tanpa kompensasi. Perubahan dalam negeri ini membias ke luar. Hubungan Amerika-Kuba mulai dingin dan kian membeku setelah peristiwa Teluk Babi. Pihak Kuba menuding AS melatih 1.400 warga Kuba—melalui Dinas Rahasia Amerika, CIA—untuk membunuh Castro.
April 1962, Amerika Serikat, di bawah Presiden John F. Kennedy ketika itu, menerapkan blokade terhadap Kuba. Tekanan ini, yang bertujuan agar Castro lebih menyesuaikan kebijakannya dengan prinsip-prinsip demokrasi Amerika, justru dibalas Mister Castro dengan jurus jitu untuk membikin pusing kepala Amerika, yakni mendekatkan Kuba ke rival utama AS di masa Perang Dingin: Rusia. Castro juga menetapkan bahwa seluruh kehidupan bermasyarakat dan bernegara ada dalam kontrol pemerintah.
Jaring-jaring tangan birokrat menjulur rapi ke dalam unit kehidupan paling kecil di setiap kampung (lihat laporan TEMPO dari Havana, 5 Juli 2000). Sebuah komite pengawas kampung yang disebut Comite de Defensa de la Revolution (CDR) akan mencatat dan mengatur mulai dari kerja bakti di kampung hingga orang-orang yang "kontrarevolusi". Di masa lalu, seorang warga Havana yang tak mau disebut namanya bertutur, "Pengawasan jauh lebih keras. Bahkan kiriman uang dari kerabat kita di Miami bisa menimbulkan iri dan dengki, terus besoknya nama kita sudah dicatat petugas CDR sebagai kontrarevolusioner, yang bisa membikin hidup jadi susah."
Tapi kontrol yang ketat ini membikin hidup juga mudah di sisi lain. Kuba, harus diakui, sebagai salah satu negara dengan keamanan paling terjamin. "Saya belum pernah merasa senyaman di Kuba bila harus begadang di diskotek dan pulang saat subuh," ujar Rosa Fernandez, yang ditemui di Bandara Jose Marti. Ia membandingkan pengalamannya dengan tempat kelahirannya di Kota Meksiko sana. "Berani pulang pagi dengan ribuan peso di kantong? Para penjambret dengan senang menyeret Anda ke sudut dan mengubek-ubek saku dan tubuh Anda dalam beberapa menit," ujar mahasiswi ini, yang tengah berlibur bersama pacarnya di Havana.
Turisme dan aliran dolar yang disumbangkan para pemegang paspor asing adalah tulang punggung Kuba (lihat tabel). Di kawasan Old Havana, dekat Pasar Mekalong, mesin-mesin pencampur semen berdengung pagi dan petang. Para pekerja membangun di balik bedeng-bedeng yang bertuliskan nama-nama perusahaan dari Inggris dan Italia. Kedatangan para juragan dolar ini adalah fenomena yang muncul di Kuba selepas runtuhnya raksasa sosialis, Rusia, yang menjadi pelindung Kuba selama puluhan tahun. Negeri ini seperti lumpuh tatkala abang tua dari Rusia menyetop US$ 4 miliar sokongan setiap tahun. Dolar yang masuk secara gelap-gelapan sejak 1992 bisa mengalir kian bebas dari tahun ke tahun.
Dolar merangsek hingga warung-warung kecil di kampung. Masih ingat Elian Gonzales? Anak kecil yang beberapa tahun lalu menjadi ajang rebutan Amerika dan Kuba? Di kampung halaman Elian, di Cardenaz, Provinsi Matanzas (dua setengah jam dari Havana), dua kaleng minuman, kentang, dan ayam goreng boleh ditebus dengan US$ 15. Tukang parkir di kampung itu pun girang betul tatkala diberi uang satu dolar, upahnya menjaga mobil selama dua jam lebih.
Jadi, apa yang terjadi dengan peso Kuba yang dibanggakan Fidel Castro? "Kami bukan bangsa yang naif. Walau terkungkung dari dunia luar karena blokade Amerika, kami tahu krisis ekonomi yang melibat Kuba ini hanya bisa dibantu dengan investasi dari luar," ujar Xiomara Gomez, seorang analis ekonomi politik.
Gomez mengakui, masuknya modal asing dan aliran dolar dari luar bukan tanpa akibat. Gomez mencontohkan bagaimana prostitusi berkembang di jalanan Havana. "Itu salah satu harga yang harus kami bayar," ujarnya. Lo, memangnya apa hubungan prostitusi dengan penamanan modal asing? Tentu bukan hubungan langsung. Tapi, mari kita jalan-jalan sebentar ke La Rampa, daerah pusat kota tempat hiburan tak pernah berhenti hingga subuh. Noni-noni setempat dari segala warna kulit dan jenis kecantikan tumpah ruah di La Rampa sebentar setelah matahari tenggelam. Atau juga di tempat dansa di Makumba yang paling terkenal di Havana.
Para pelancong, para pekerja asing yang bergaji ribuan dolar sebulan, bisa dengan mudah menggaet seorang nona muda, si muchacha Cubana, di tepi jalanan, di kafe-kafe, atau kedai es krim hanya dengan US$ 30 semalam. Anna Roberta Rodriguez (bukan nama sebenarnya), 18 tahun, mengaku kepada TEMPO, ia berpikir untuk berhenti sekolah setelah SMA saja dan akan terus berkencan dengan para pelaut atau diplomat asing saja. "Uangnya jauh lebih mudah ketimbang harus jadi dokter atau insinyur." Tapi "jalan pintas mencari uang" bukan satu-satunya fenomena yang berjangkit di kalangan remaja dan anak-anak muda Kuba.
Kesulitan ekonomi dan pertaruhan untuk keluar dari kesulitan itu membuat sebagian besar lulusan universitas memilih bekerja sebagai penjaga pintu hotel, sopir diplomat, tukang cuci di keluarga asing, atau resepsionis di kantor kedutaan. Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan adalah salah satu sektor yang paling bersinar di bawah rezim Fidel Castro. Ribuan insinyur, dokter, sarjana ekonomi, meluncur dari universitas-universitas terbaik di seantero negeri setiap tahun. Sekolah Tinggi Seni Kuba, Sekolah Tinggi Kedokteran Havana, Universitas Politeknik Jose Antonio Echeverria, sekadar menyebut tiga nama dari sekian sekolah tinggi dan universitas yang bertebaran di antero negeri. Ribuan dokter—meminjam istilah Dokter Sandra Fernandez, 33 tahun, yang diwawancarai TEMPO di kawasan Regla—"diekspor" setiap tahun ke negara-negara Amerika Latin untuk menebar ilmu dan amal.
Sandra mengaku, ia hidup dengan meng-andalkan gaji suaminya, seorang penjaga pintu hotel. Sandra menikah dengan Miguel Cruz Fernandez, 32 tahun, insinyur penerbangan yang lulus dengan ijazah gilang-gemilang. Namun ia menyerah setelah lima tahun bekerja di badan pemerintah. "Saat Josef anak kami lahir, saya memutuskan untuk menyimpan buku-buku teknik penerbangan saya di gudang dan bekerja sebagai penjaga pintu hotel, yang bisa memberi saya penghasilan US$ 130 sebulan, terbanyak dari tips para tamu," katanya. Dan di Havana, bukan soal sulit menemukan seorang insinyur teknik yang mahir bahasa Spanyol, Jerman, dan Inggris yang memilih bekerja sebagai sopir para diplomat ketimbang jadi pegawai pemerintah.
Harus diakui, Castro sudah mencuci bersih buta huruf dari negaranya berkat program pendidikan gratis. Dan kesehatan adalah sektor lain yang dapat dikembangkan dengan baik oleh Castro serta para punggawanya. Dengan tiket sukses di dua sektor ini, Pak Tua Castro berhasil—paling tidak itulah yang terlihat sepintas lalu—memikat hati anak negerinya. "Saya tahu banyak orang luar mengira kami ini terbutakan oleh propaganda dan mencintai Castro karena ketakutan. Tapi, I'm telling you, mengapa el Comandante bisa bertahan sekian lama. Dia cuma satu dari kami—bukan pemimpin yang tak terjangkau," ujar Conzita Gonzales, 58 tahun, seorang ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pelayan sebuah hotel.
Adapun Profesor Miguel Alfonso, yang banyak menghabiskan usia di luar negeri dan tetap bertahan sebagai orang Kuba, memberikan argumen lain: "Saya yakin sekali, walau seluruh penganut sosialisme runtuh, kami akan terus bertahan dengan sistem ini. Lagipula, bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa kapitalisme akan lebih membawa kemaslahatan bagi rakyat kami?"
Alfonso, 66 tahun, yang mengajar di Sekolah Tinggi Hubungan Internasional Havana, juga dikenal sebagai penasihat Delegasi Hak Asasi Kuba di PBB.
Profesor yang menikah dengan seorang reporter asal Amerika ini mengakui, "Sistem ini bukan menawarkan surga. Tapi saya ingin bertaruh dengan siapa pun yang berani mengatakan bahwa kapitalisme akan lebih membawa kebaikan di negeri kami. Anda tahu, saya ini komunis sejati dan inilah ideologi yang saya percayai," ujar lelaki yang selalu berkucir itu. Duduk dalam lobi Hotel Novotel Miramar yang nyaman, dengan cangkir kopi yang tersaji dalam keramik porselen serta menyantap karimala goreng bersaus mentega, rasanya jomplang benar ideologi yang digambarkan Alfonso dan kenyataan yang tengah dia hadapi. Seakan bisa membaca pikiran lawan bicaranya, Alfonso menyergah, "Jangan Anda kira saya tidak menyadari daya tarik kapitalisme," ujarnya seraya menuding cangkir porselen itu.
Dan argumen Alfonso adalah sebuah perdebatan umum yang melanda semua negara sosialis yang telah runtuh, yakni sosialisme sebetulnya sistem yang bagus. Kesulitannya, dia digoda suatu sistem lain yang jauh lebih menarik yang menjanjikan kemakmuran dan kebebasan yang hadir dalam masyarakat kapitalis—poin ini ibarat debat klasik sepanjang zaman John Stuart Mill hingga Amartya Zen. Alfonso, yang sudah berkunjung puluhan kali ke Eropa Barat dan Amerika, menantang untuk bertanya kepada anak-anak muda: "Apakah mereka akan langsung hengkang ke Amerika jika tersedia tiket dan visa hari ini?"
Pertanyaan itu mungkin lebih tepat diajukan ke Castro. Dan Castro pernah menjawabnya dalam beberapa wawancara: "Orang-orang itu pergi karena alasan ekonomi semata, bukan problem politik." Indikator ekonomi (lihat tabel) dari badan statistik setempat sebetulnya menunjukkan perbaikan ekonomi sejak krisis besar yang melanda Kuba pada 1992-1994. Tapi Felipe (dia menolak dituliskan nama keluarganya) menolak mempercayai data yang ditunjukkan TEMPO kepadanya. Kalau ekonomi membaik, orang-orang tidak akan lari ke luar Kuba. "Dan Anda harus ingat. Saya juga kenal beberapa keluarga yang pergi karena merasa tidak bisa menghirup udara bebas di negeri ini," ujarnya dengan terbata-bata.
Hal yang sama disebutkan Armando, seorang sarjana sastra yang menjadi petani. Ia ingin ke luar dari Kuba untuk menikmati hidup lebih bebas, namun ia buru-buru menggeleng ketika ditanyakan ke mana ia ingin pergi. "Saya ingin sekali pergi ke sebuah tempat di mana saya bisa beternak dan bertani, menjual susu dan hasil pertanian tanpa harus ketakutan bahwa para polisi dan aparat pemerintah muncul di depan rumah saya setiap saat, merampas seluruh hasil kerja saya selama tiga tahun, tanpa penjelasan apa pun." Rupanya peristiwa yang dia alami setahun silam itu masih amat membekas dalam dirinya.
Ayah dua orang putri itu menitipkan pesan. "Anda ini kan wartawan asing. Jika Anda kebetulan menemui Fidel (Castro), katakan kepadanya hal ini: bahwa ia hanya perlu memberi sedikit keleluasaan kepada setiap petani Kuba untuk menggarap lahannya di atas lahan milik sendiri. Dan anak-anak muda akan menanam kaki mereka di negeri ini tanpa pernah berpikir untuk menyeberang ke Miami, walau kami amat menderita di bawah blokade Amerika." Entahlah. Keterpencilan Kuba dari dunia luar membuat Senor Castro sesungguhnya memetik "keuntungan" dari blokade tersebut. Warga Kuba kuat bertahan dalam ketiadaan, kreatif menemukan terobosan--penemuan vaksin di sana termasuk yang paling maju di dunia—terutama ini dia: semua rakyat bersatu-padu melawan musuh bersama Amerika.
Pekan lalu Presiden Kuba itu beradu gelas anggur dengan sutradara Amerika pemenang Oscar, Oliver Stone, yang tengah berkunjung ke Havana untuk meriset pembuatan filmnya. Barangkali Cuban American di Miami pun menitipkan pertanyaan lain kepada Castro—sebuah pertanyaan yang juga mengajuk hati dunia selama 40 tahun terakhir: "Mengapa Senor Comandante yang memiliki ribuan anak muda yang gilang-gemilang tak kunjung menemukan seorang pun dari mereka yang bisa menggantikannya selama 40 lebih tahun terakhir?"
Jika pertanyaan ini sudah tidak terjawab selama 40 tahun, sulit mengharapkan ada yang bisa menjawabnya selain Fidel Castro. Dia bahkan punya kepercayaan diri yang terlalu besar dengan memastikan kepada 11 juta penduduknya bahwa paham sosialisme yang kini telah runtuh dan ditinggalkan dari Rusia, Eropa Timur, hingga Cina, tak akan pernah bisa mati di Kuba. "Socialism or death. Socialism or death. Fatherland or death," Castro menjerit sembari mengacungkan tangannya ke udara dalam pidatonya di Havana pada suatu siang yang terik, April 1996. "Dan kita akan menang," ujarnya di akhir pidato. Dan rakyat Kuba terperangah. Dan Nobelis Gabriel Garcia Marquez merasa perlu membubuhkan kata-katanya dalam Fidel, My Early Years: "Orang ini idealis paling besar dari zaman ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini