Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jika Berumah di Bantaran

Bangunan di bantaran sungai adalah salah satu penyebab banjir. Kini, konsep pembangunan di areal bantaran yang ramah lingkungan mulai digulirkan.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANJIR di Jakarta dan daerah lain mulai surut. Yang tinggal adalah air tergenang dan tumpukan sampah berbau menyengat serta kenangan pahit tentang keangkuhan sungai yang sempat melahap kota sebesar Jakarta. Yang tersisa kini adalah ribuan pengungsi serta rumah porak-poranda di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Rumah-rumah sederhana inilah yang dituding menjadi salah satu biang keladi banjir. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Dr. Soenarno, penyebab banjir di Jakarta antara lain adalah kapasitas sungai tidak mampu menampung debit air yang melewatinya. Penyebab penurunan kapasitas sungai ini adalah melimpahnya bangunan permukiman di bantaran sungai. Padahal baik peraturan pemerintah maupun peraturan daerah mengharamkan kehadiran bangunan di sepanjang bantaran sungai. Tapi, faktanya, ada sekitar 30 ribu kepala keluarga yang bermukim di sini. Kini rumah mereka sudah hancur diterjang banjir. Untuk bermukim kembali di sana, korban banjir ini terbentur aturan dan persoalan biaya. Untungnya, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah mengetahui situasi ini. Soenarno dan jajaran di bawahnya juga sadar, langkah strategis untuk mencegah banjir di masa mendatang adalah dengan memukimkan warga pinggiran sungai. Sebab, jika tidak, perumahan tidak layak dan ilegal akan menjamur kembali dan jadi bom waktu banjir di kemudian hari. Maka, disusunlah proyek untuk memukimkan kembali korban banjir bagi kaum pinggir kali. Proyek ini memiliki tiga opsi. Pertama, perbaikan perumahan di sepanjang sugai dengan membuat rumah susun sewa. Kedua, membangun rumah susun sistem twin block di luar areal bantaran sungai untuk kemudian disewakan. Ketiga, membangun rumah susun sewa di atas sungai. Adapun wilayah yang direncanakan untuk proyek adalah Bidaracina, Cawang, dan Pengadegan. Program ini, menurut Soenarno, bukan tanpa halangan. Rintangan pertama tentu datang dari peraturan yang melarang adanya bangunan di tepi sungai. "Mungkin undang-undangnya yang harus diubah terlebih dahulu," kata Soenarno. Kendala lainnya adalah persoalan biaya serta teknis bangunan yang akan dibuat. Departemen Permukiman sendiri memperkirakan proyek ini akan memakan biaya lebih dari Rp 1,6 triliun, belum termasuk pembebasan tanah. Rencananya, rumah-rumah susun akan dibangun di pinggir sungai sejauh minimum 25 meter dari tepi sungai. Di sepanjang tepian sungai akan dibuat tanggul serta areal terbuka hijau yang bebas dari tegakan bangunan. Sketsa lain yang sudah dibuat departemen ini adalah rumah vertikal yang dibuat di atas sungai. Pondasinya melayang di atas sungai, dengan kaki pancang melebar di kiri-kanan sungai. Persis seperti membuat jembatan. Hanya, di atas jembatan itu didirikan rumah. Soenarno sendiri memperkirakan, jika proyek ini dilakukan sekarang, dalam lima tahun ke depan akan terbentuk permukiman yang layak dan ramah lingkungan di sepanjang Kali Ciliwung. Paralel dengan Ide yang akan dijalankan Departemen Permukiman, seorang arsitek jebolan Institut Teknologi Bandung, Hindro T. Sumardjan, mengusulkan permukiman di tepian kali yang antibanjir. Ide ini sebenarnya bukan untuk menga- tasi banjir secara permanen, melainkan lebih berupa solusi pragmatis atas persoalan sosial warga pinggiran sungai di perkotaan. Ia mengusulkan membuat permukiman sederhana yang tidak menghambat kapasitas aliran sungai. Konsep ini menurut Hindro sudah sukses dilakukan di Thailand. Di sana, semua bangunan yang ada menghadap ke sungai, dan sungai adalah jalur transportasi utama mereka. Bangunan rumah alternatif versi Hindro adalah rumah panggung dari kayu. Bedanya, tiang pancang rumah ini diatur sehingga tidak tegak lurus dengan aliran air. Tiang yang dirancang Hindro justru miring ke tanah di tepi sungai. Dengan cara ini, aliran air tidak terhambat tapi kekuatan bangunan tetap sama dengan yang menggunakan tiang tegak lurus. Kedua konsep bangunan di pinggir sungai ini, menurut pakar tata kota Prof. Eko Budiharjo, perlu dicoba. Tapi Budiharjo mengingatkan agar pembangunan tersebut diiringi dengan upaya pencegahan pendangkalan sungai serta pengelolaan pembuangan limbah. "Sepanjang dua hal ini bisa diatasi, pembangunan di bantaran sungai tidak jadi masalah," kata Rektor Universitas Diponegoro ini. Budiharjo juga mengingatkan bahwa, ketika alternatif ini dilakukan, aspek hukum dan aturan harus ditegakkan. Sebab, ketika kelak rumah susun ataupun rumah panggung sudah terbentuk, jangan sampai lahan terbuka hijau yang sengaja dibuat menjadi permukiman ilegal baru. Jika tidak, situasinya akan tetap sama seperti sekarang: banjir dan banjir lagi. Agus Hidayat, Levianer Silalahi, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus