PEMBUNUHAN hampir tak pernah berhenti di El Salvador. Terutama
sejak Jose Napoleon Duarte memegang tampuk pemerintahan--Oktober
1979. Lembaga Hak Asasi Manusia (HRC) di El Salvador
memperkirakan tak kurang dari 30.000 penduduk terbunuh selama
tiga tahun terakhir. "Tiada hari tanpa korban," kata Uskup Agung
Rivera Damas --pengganti Oscar Arnulfo Romero yang tewas
ditembak waktu memimpin misa, Maret 1980.
Menurut HRC, alat keamanan giat membantai dengan alasan
menegakkan wibawa pemerintah. Tapi sebagian besar di antara
mereka yang terbunuh adalah rakyat yang tak bersalah.
Presiden Duarte, yang didukung oleh junta militer, mendapat
tentangan dari kelompok Marxis dan grup ekstrim kanan. Ketiga
kekuatan itu berkonfrontasi. Kelompok junta militer menginginkan
pembaruan ekonomi lewat landreform dan perubahan sistem
perbankan. Kalangan Marxis ingin mendirikan pemerintahan
komunis. Kelompok sayap kanan mau memulihkan oligarki antara
tuan tanah bersama sekutunya dari militer.
Tentara tak segan-segan menindas di daerah pedalaman. Akibatnya
banyak petani yang lari ke kota atau memilih bergabung dengan
kelompok bawah tanah -- kiri maupun kanan. Teror menjadi sesuatu
yang bukan asing lagi bagirakyat El Salvador.
Teror tak hanya berlangsung di desa, tapi juga di kota.
Pelakunya adalah ketiga kelompok yang saling berebut pengaruh
itu. Pekan lalu kelompok gerilya, entah sayap kiri atau kanan,
dikabarkan mulai mengalihkan sasaran ke dalam kota. Sebelumnya
mereka melawan penguasa di desa-desa saja. Tak kurang dari 55
bis mereka bakar di San Salvador dan di dua kota lainnya.
Kekacauan yang berlarut-larut di El Salvador akhirnya melibatkan
negara super power: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mengapa AS
campur tangan? "Jika El Salvador dikuasai oleh kelompok
minoritas yang bengis, semua negara di Amerika Tengah akan
ketakutan," kata Asisten Menlu AS Thomas Enders. Kelompok yang
ditakuti AS itu adalah pengikut Marxis--sekitar 4.000 orang.
Kelompok Marxis, yang mulai mendapat dukungan kalangan petani,
disokong oleh Uni Soviet, Kuba, dan beberapa negara sekutunya.
Bantuan senjata, juga uang, mereka salurkan melalui Nicaragua.
Tujuannya: menjadikan El Salvador merah.
AS tentu saja membantu rezim Duarte, bahkan mengirimkan
penasihat militer. Sumber Kedutaan Besar A di El Salvador
mengatakan ada 50 penasihat militer AS bertugas di sana--atau
lima orang di bawah jumlah yang diperbolehkan Kongres. Sebagian
besar dari mereka adalah perwira infanteri dan pilot helikopter.
Koalisi Duarte dengan Kristen Demokrat sebetulnya bukan rezim
hijau. Istilah pemimpin sayap kanan Roberto D'Aubuisson seperti
buah semangka: hijau di luar dan merah di dalam. Rezim Duarte
memang cenderung ke sosialis.
Kemungkinan Marxis berkuasa di El Salvador telah mengundang
debat di Kongres. Kaum Marxis dianggap akan berlaku kejam. Tapi
anggota Kongres Gerry Studds, wakil Demokrat dari Massachusetts,
menyebut junta militer yang berkuasa sekarang toh juga berlaku
kejam terhadap rakyat. Buktinya, katanya, banyak petani yang
mencari perlindungan ke kota atau bergabung dengan gerilya--kiri
maupun kanan.
El Salvador sejak dulu memang selalu lluh dan panas. Diktatur
sipil dan militer silih berganti. Semuanya, menurut Studds,
merupakan rezim penindas. Negara terkecil di Amerika Tengah
(21.041 km2 atau separuh Jawa Barat) itu seakan harus menanggung
terus-menerus.
Sejarah panjang El Salvador ternyata tidak cuma mengenal
kekacauan. Periode 1885 sampai dengan 1931 selain merupakan masa
emas kopi El Salvador di dunia, juga kurun teraturnya pergantian
presiden. Tapi kenyataannya tetap saja: negeri ini belum matang
dalam demokrasi, dan kekuasaan selalu berada di tangan kaum
kaya.
Tahun 1931 merupakan awal zaman militer unjuk kekuatan di El
Salvador. Diktatur militer pertama adalah Jenderal Hernandez
Martinez -- berkuasa sampai 1944. Ia berhasil membangun El
Salvador, tapi menindas pengkritik. S-jak itu kekerasan dan
penggulingan kekuasaan menjadi ciri politik El Salvador--kini
punya 4,5 juta penduduk.
Dukungan pemerintahan Ronald Rcagan terhadap Duarte, baik secara
ekonomi maupun militer, tidak selalu disukai rakyat AS. Di
Bloomington, misalnya, terlihat demonstran yang menyambut
Presiden Reagan dengan spanduk: Tidakkah Anda menarik pelajaran
dari Vietnam? Hentikan campur tangan di El Salvador.
RRC juga memperingatkan AS, seperti Xinhua menulis: AS
melibatkan diri dalam "Vietnam lain" di El Salvador. Sedang
Peking Review, edisi minggu lalu, mengecam campur tangan AS
maupun Uni Soviet di sana sebagai tidak beradab .
Penyelesaian krisis El Salvador, menurut Senator Christopher
Dodd, wakil Demokrat dari Connecticut, seharusnya lewat
negosiasi di antara pihak-pihak bersengketa dan terlibat. Ia
mendesak agar gencatan sen)ata segera diumumkan. Pemerintahan
Reagan cenderung mendorong rezim Duarte- menyiapkan jalan keluar
lewat pemilihan umum.
Menurut rencana, pemilu dilaksanakan 28 Maret, tapi hasilnya
diduga tak akan mengubah keadaan El Salvador. Menurut
pengumpulan pendapat umum, Duarte dan Kristen Demokrat akan
mengantungi 27% pemilih --jumlah tertinggi. Sisanya terpecah di
kelompok Konsiliasi Nasional, Aksi Pembaharuan, dan lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini