PAGI itu Dadang Rukmana Mulya kaget melihat VW Safari berplat
merah parkir di depan rumahnya. Seorang petugas kecamatan turun
menjemputnya, mengajak ke kecamatan. Ia tak tahu apa maksud
pemanggilan itu. Di kecamatan tampak para anggota tripida dan
beberapa orang yang mengaku sebagai pemuka masyarakat.
Di kantor itu barulah Pak Camat memberitahu bahwa saya harus
melakukan serah-terima jabatan di Kabupaten Cianjur," kata
Dadang, 30 tahun, kepala desa Ciloto, Kecamatan Pacet, Jawa
Barat. "Tapi karena saya tidak diberitahu alasannya, saya lebih
suka pulang."
Peristiwa di awal Desember lalu itu adalah rangkaian beberapa
usaha untuk mencopot kepala desa terpilih itu. Dadang yang saat
itu memang sudah diberhentikan sementara, tidak tinggal diam.
Apalagi para pemuka masyarakat lainna tetap mendukungnya.
Beberapa hari kemudian sejumlah pendukungnya, dipimpin Ruseno
Ruslan, seorang petani dan peternak, menemui bupati dan pimpinan
DPRD Cianjur, tapi pengaduan mereka tidak ditanggapi. Mereka
lantas menghadap gubernur dan pimpinan DPRD Tingkat I Ja-Bar,
tapi hasilnya sama saja. Merasa tak diperhatikan, pertengahan
Februari mereka ke Jakarta.
Kepada Ketua FPP, Nuddin Lubis, mereka menilai pemberhentian
kepala desa Ciloto itu "tidak wajar dan tanpa landasan
pertimbangan hukum yang mantap." Ruseno rupanya juga menjelaskan
mengapa delegasi yang dipimpinnya menemui FPP.
"Semula kami bermaksud ke FKP. Tapi karena pimpinannya tidak ada
kami berusaha menemui pimpinan F-PDI. Ini juga gagal karena
mereka lagi sidang komisi," kata Ruseno. Akhirnya mereka
diterima FPP. " Itu tidak berarti kami dekat dengan FPP. Kami
menganggap semua anggota DPR adalah wakil seluruh rakyat,"
tambahnya.
Belakangan ada tuduhan kelomlok pendukung Dadang ini lebih
dekat dengan PDB Bahkan Bupati Adjat Sudradjat menyebut Dadang
sebagai sekretaris GPM, organisasi pemuda bekas onderbouw PNI
almarhum. "Bahkan untuk memperoleh kembali jabatannya, Dadang
berusaha menghubungi Isnaeni dan Guntur," kata Bupati. Mh.
Isnaeni, bekas Wakil Ketua DPR-RI dan kini Dubedi Rumania itu
memang tokoh PNI.
Tuduhan tersebut dibantah oleh Dadang. "Saya tak kenal dengan
kedua tokoh tersebut," kata Dadang yang pernah beberapa bulan
kuliah di IAIN Pacet itu. Ia juga membantah memberi Rp 400.000,
hektar tanah dan sebuah rumah kepada Ruseno untuk membela
kepentingannya.
Ruseno sendiri, tiga hari setelah pulang dari Senayan, Jakarta,
menemukan surat kaleng di kandang sapinya, beberapa ratus meter
dari rumahnya di Kampung Jamprak, Desa Ciloto. Isinya: ancaman
akan mengganggu Istrinya, merusak peternakannya, menganiaya
keluarga dan membunuhnya bila ia meneruskan mencampuri urusan
desa.
Akan halnya Dadang yang terpilih sebagai kepala desa pada 15
Januari 1979 baru dilantik sembilan bulan kemudian. Tapi
beberapa bulan kemudian muncul resolusi sekelompok penduduk
dipimpin lmam Sudja'i, 60 tahun, agar Dadang dicopot. Alasannya
antara lain, "karena Dadang kurang bisa bergaul dengan para
pemuka masyarakat."
Resolusi yang dilancarkan sampai dua kali itu semula tidak
ditanggapi oleh bupati. "Sebab saya anggap Dadang, lulusan SMA
itu merupakan contoh peremajaan," ujar bupati. Tapi pada
resolusi ketiga, bupati menerimanya. "Kalau tidak, saya khawatir
dituduh bersekongkol dengan Dadang."
Meski begitu bupati masih memberi kesempatan Dadang untuk
membela diri. Tapi Dadang tak bisa berbuat apaapa. "Bagaimana
saya membela diri kalau alasan pemberhentian itu tak pernah
diberitahukan kepada saya," katanya. Belakangan ia tahu salah
satu alasannya ialah: pemilihan terhadap dirinya dianggap tidak
sah karena terdapat 32 OT (orang terlibat alias eks G30S/PKI)
yang ikut memilih.
Berdasarkan Laporan
Dadang jadi heran. "Yang menetapkan daftar para pemilih bukan
saya melainkan Panitia Pemilihan Kepala Desa. Lagi pula belum
tentu OT-OT itu memilih saya," kilahnya. Amsir, 57 tahun, salah
seorang tokoh masyarakar yang mendukung Dadang menimpali, "Kalau
OT tak boleh memilih, mestinya pemilihan itu diulang, bukan
dengan memecat kepala desa terpilih."!
Kemudian bupati mengirim tim pemeriksa terdiri dari anggota
Komisi A DPRD disertai para petugas Itwilda (Inspektorat Wilayah
Daerah) Cianjur. Mereka meninjau Ciloto sehari dan menyimpulkan
adanya penyelewengan. "Tapi mereka tak bisa menunjukkan
buktinya," kata seorang tokoh masyarakat di Cianjur.
Berdasarkan laporan tim itulah, bupati menskors Dadang, kemudian
minta agar gubernur memberhentikannya. Akhirnya SK Gubernur pun
turun pada 28 Desember 1981, diperkuat SK Bupati 6 Januari 1982.
Maka secara definitif, Dadang diberhentikan.
"Tapi sampai 6 Januari itu saya belum melakukan serah terima
jabatan," kata Dadang. Maka tak bisa lain bagi Bupati Adjat
selain mengangkat seorang karyawan kecamatan, Dadang Rachmat,
menggantikan Dadang Rukmana Mulya sebagai pejabat kepala desa
Ciloto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini