UPACARA kehormatan berikut permadani merah menyambut kunjungan
24 jam Presiden Mesir, Husni Mubarak, di Oman. Berdiri gagah
dalam pakaian kebesaran, Sultan Qabus bin Said nampak menunggu
di lapangan terbang Seeb yang saat itu bersimbah terik matahari.
Tak salah lagi, kunjungan singkat pekan silam itu mengandung
arti penting bagi kedua negara.
Oman, emirat terbesar kedua di jazirah Arab, telah dipilih
sebagai tempat hinggap pertama bagi Mubarak sesudah Presiden
Mesir itu melanglang ke Roma, Paris, Bonn, London dan
Washington. Pilihan ini bukan tanpa perhitungan. Mubarak
menyadari, Oman, anggota Liga Arab yang paling netral, tepat
sekali untuk diajak bicara lebih dulu oleh Mesir, khususnya
tentang situasi Timur Tengah. Bahkan Menlu Mesir Kamal Hassan
Ali menyatakan, "Kunjungan tersebut juga memberi kesempatan
untuk mempelajari situasi dunia Arab."
Sejak Kairo menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel
tahun 1979, Mesir bukan saja dicoret dari keanggotaan Liga Arab
tapi juga dikucilkan oleh tetangganya sesama Arab. Hanya Oman,
bersama Sudan dan Somalia yang tidak memutuskan hubungan
diplomatik dengan Kairo. Maka bisa dimaklumi jika Mubarak
memerlukan datang ke Oman. Dan langkah ini agaknya tidak
sia-sia. Menteri Penerangan Oman Abdel-Aziz El Rawas mengatakan
pada pers: "Oman tidak mengabaikan usaha menghidupkan kembali
solidaritas Arab. Pemulihan kembali hubungan Mesir dan dunia
Arab adalah tuntutan utama Arab, karena Mesir adalah otak dunia
Arab. "
Keterangan ini mungkin agak berlebihan, tapi memberi petunjuk
bahwa Oman, negara kaya berpenduduk hanya 1 juta, berusaha
memainkan peran tertentu di kalangan Arab. Sultan Qabus diluga
memberikan gambaran pada Mubarak mengenai perkembangan di
kalangan Dewan Kerjasama Teluk, satu kelompok negara Arab
moderat di bawah pimpinan Arab Saudi. Sementara itu tersiar
spekulasi bahwa satu pertemuan sudah disiapkan di Muskat,
ibukota Oman, antara Mubarak dan seorang tokoh penting Saudi.
Bahkan kalangan diplomatik AS kuat menduga, Saudi akan mendukung
kembalinya Mesir ke lingkungan Liga Arab tanpa harus mencabut
perjanjiannya dengan Israel.
Sebelum sampai pada tahap yang lebih serius, Mubarak nampak
cekatan melakukan apa saja yang dianggapnya perlu dilakukan.
Contohnya, dalam pembicaraan dengan Presiden Rorlald Reagan di
Washington, ia sempat mendesak kepala negara AS itu agar
meningkatkan bantuan senjata pada Oman. auh sebelum ini, Sultan
Qabus sendiri sudah meyakinkan baik AS ataupun Inggris agar
melimpahkan bantuan lebih besar supaya Oman bisa berperan
sebagai "polisi yang baik" di Selat Hormuz.
Keadaan di sekitar Teluk Persia memang tidak begitu
menggembirakan akhir-akhir ini. Ada pembicaraan hal penyatuan
Yaman Utara dan Selatan yang komunis, sementara gejolak perang
Irak-Iran meningkat lagi untuk kesekian kali. Belum terhitung
kerusuhan yang berkelanjutan di Libanon dan kudeta yang berhasil
digagalkan di Suriah. Kehadiran Mesir dalam kecamuk seperti ini
dipandang dapat menciptakan keseimbangan yang lebih baik.
Dalam pada itu menjelang pengembalian Sinai ke pangkuan Mesir
April nanti, Mubarak pun bersiap-siap. Pada akhir kunjungan
Menlu Prancis Claude Cheysson ke Kairo awal Februari, Mesir
mengumumkan pembelian 20 pesawat tempur Mirage yang seluruhnya
bernilai US$1 juta. Satu lagi usaha Mubarak untuk tidak
sepenuhnya tergantung dalam hal senjata pada AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini