Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Evolusi Al-Qaidah 3.0

ISIS berhasil merebut Fallujah dan Ramadi. Para pejuang dari Suriah menjadi ujung tombak.

3 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 72 keluarga dari kaum Sunni Fallujah bersantai sambil berbincang di sebuah aula mewah di Karbala, pinggiran selatan Irak, Rabu petang pekan lalu. Puluhan anak-anak riang bermain di ayunan bercat merah beberapa meter dari aula itu. Keluarga Sunni ini terpaksa mengungsi di tempat itu setelah Al-Qaidah, milisi Islam garis keras, menguasai Fallujah dan Ramadi, Provinsi Anbar, awal bulan ini. "Mereka membuat saya ketakutan dan mengungsi meski di tempat 'orang lain'," kata pengungsi wanita berusia 57 tahun yang enggan disebut namanya, seperti dikutip Washington Post, Rabu pekan lalu. Dia bersama orang-orang sekampungnya menempati aula yang biasanya digunakan warga Syiah Irak saat berziarah di Karbala, kota suci kaum Syiah.

Perempuan setengah baya itu tak membawa uang dan hanya mengenakan baju sepotong saat mengungsi. Dia bersama keluarga Sunni lainnya bergantung pada bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan warga Syiah yang tinggal tak jauh dari lokasi pengungsian. Menurut PBB, warga Sunni Fallujah yang mengungsi berjumlah 14 ribu keluarga. "Ini bukti bahwa sebenarnya tak ada permusuhan sektarian di Irak," kata Muhammed Mudafa Shaban, pengelola tempat ziarah.

Warga Sunni itu bertekad tak kembali ke Fallujah. Mereka bosan terhadap konflik berkepanjangan antara etnis Syiah dan Sunni yang melibatkan kelompok Al-Qaidah Irak (AQI). Pertumpahan darah terburuk terjadi pada 2006 dan 2007 dengan korban lebih dari 10 ribu orang. Saat itu tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang masih memegang kendali di Irak, mampu menyingkirkan Al-Qaidah dari Irak. Tahun lalu PBB menyebutkan 7.818 warga sipil dan 1.050 tentara tewas.

Kota Fallujah dan Ramadi di Provinsi Anbar merupakan benteng Al-Qaidah di Irak. Serangan pasukan Amerika Serikat dan NATO sebenarnya telah menyingkirkan Al-Qaidah dari Irak pada 2006—meski Amerika harus merelakan lebih dari 1.300 tentara tewas. Beberapa petingginya ditahan di penjara Irak, sebagian lagi kabur ke Suriah, tetangga dekat. Namun kepergian pasukan Amerika dan NATO pada Desember 2011 membuka peluang bagi Al-Qaidah untuk menguasai dua wilayah itu. Pengawasan tentara mulai lemah. Amerika hanya menempatkan 250 tentara untuk menjaga sejumlah konsulat jenderalnya dan beberapa pangkalan yang kini dialihkan ke pemerintah Irak.

Al-Qaidah di Irak bisa dibilang mulai bangkit. Kelompok yang didirikan Abu Musab al-Zarqawi, Arab keturunan Yordania, itu mulai menyiapkan strategi. Mereka yang lari ke Suriah setelah dipukul mundur tentara Amerika bergabung dengan milisi lokal, Jabbar al-Nusra, membentuk Negara Islam Irak dan Suriah di bawah Abu Bakr al-Baghdadi, veteran militan Irak. Target utamanya mendirikan negara Islam di Suriah utara dan Irak barat. "Mereka memanfaatkan situasi untuk memperkuat milisi," kata Aaron Zelin, pakar tentang jihad dari ­Washington Institute, seperti dikutip Slate.com.

Mereka mulai merekrut 6.000-7.000 milisi hingga tahun lalu. ISIS juga memanfaatkan ekstremis Barat, misalnya dari Inggris, yang ingin berjihad di Suriah untuk memperkuat pasukan di Irak. Sebuah video yang diunggah di YouTube menunjukkan puluhan ekstremis Inggris memikul senjata di Suriah dan meminta penonton meninggalkan kehidupan gangster untuk bergabung berjihad. Intelijen Inggris menduga 300 muslim Inggris telah ikut berjihad. Kota Raqqah di utara Suriah dijadikan pintu masuk ke Irak. Mereka menyelundupkan persenjataan dan milisi.

Muhammad Hassan, 19 tahun, siswa sekolah menengah atas di Inggris yang ikut berjihad, mengungkapkan sebagian besar jihadis telah diajak ke Irak. "Mereka ada yang di Aleppo dan ada yang pergi ke Irak," demikian dia menulis di status Facebook-nya.

Raffaello Pantucci, pengamat dari Royal United Services Institute, mengatakan wajar jika jihadis Inggris juga berangkat ke Irak setelah berjuang di Suriah. "Bagi ISIS, perbatasan tidak ada artinya. Mereka tidak melihat negara sebagai target, tapi serangan itu untuk melawan kelompok yang berbeda aliran," katanya seperti dikutip Sunday Times.

ISIS juga memanfaatkan situasi politik yang memanas. Kepemimpinan Syiah di bawah kendali Perdana Menteri Nouri al-Maliki mulai menyisihkan Islam Sunni dalam setiap pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pemerintah. Beberapa pejabat di pemerintahan disingkirkan. Maliki mengirim tentara untuk menangkap wakil presiden dari Sunni, Tariq al-Hashemi, yang dituduh terlibat kasus penyiksaan pada Desember 2011. Berselang setahun tentara menangkap Raffi al-Essawi, mantan menteri keuangan dan politikus terkemuka Sunni. Anggota parlemen Sunni lainnya, Ahmed al-Awlani, juga ditangkap dengan tuduhan menembak mati tentara Irak.

Pengamat Timur Tengah dari Washington Institue, Michael Knights, mengatakan penyingkiran Sunni dari pemerintahan merupakan penggembosan menjelang pemilu pada April nanti. Maliki menggunakan undang-undang yang melarang paham Ba'ath dalam politik. "Aturan itu menjadi alat untuk menjatuhkan lawannya," katanya.

Penangkapan Al-Awlani memicu milisi turun ke jalan, menenteng senjata. Mereka berpakaian hitam dan mengajak kaum Sunni melawan penguasa Syiah. Al-Baghdadi mulai memprovokasi suku-suku Sunni agar bergabung dengan ISIS. Dia menyebar pamflet berisi seruan sudah saatnya menjatuhkan Syiah di Irak. "Hai, orang-orang Sunni di Irak, bergabunglah untuk angkat senjata melawan Syiah. Ini adalah kesempatan baik yang tak boleh dilewatkan. Jika tidak, kamu akan mati," kata Al-Baghdadi, yang mulai menebar bendera hitam, bendera kebangsaan ISIS. Di Fallujah, beberapa suku Sunni mendukung, tapi di Ramadi banyak yang menentang.

Kelompok pemberontak ini memiliki senjata lengkap, seperti senapan mesin, pelontar granat, peluncur rudal, dan truk bersenjatakan senapan mesin. Mereka memiliki dana yang memadai untuk memperbanyak senjata. Al-Qaidah mengumpulkan duit dengan memalak pengusaha, menculik, memberikan jasa pengamanan, dan menyelundupkan barang. Aksi ini dilakukan di Mosul, Irak utara, yang tingkat pengamanannya lemah. Dari usaha pemalakan perusahaan, bisa diperoleh US$ 8 juta atau sekitar Rp 97 miliar per bulan.

Menghadapi kedigdayaan Al-Qaidah itu, tentara Irak kembang-kempis melawan dengan persenjataan peninggalan Amerika. Maliki telah mengajukan permohonan pembelian pesawat tempur F-16 dan helikopter Apache, tapi belum disetujui Kongres Amerika. Amerika hanya mengirim 75 rudal Hellfire dan beberapa ribu senapan M-16 beserta amunisi dalam beberapa pekan ini. Pemerintah Irak juga memesan pesawat tempur dari Rusia. "Pesawat tempur bisa mengubah permainan, tapi sepertinya pemerintah memilih berhati-hati," kata seorang pejabat militer Amerika kepada Foreign Policy.

Harian Al-Monitor menyebutkan Al-Baghdadi berhasil melancarkan evolusi Al-Qaidah 3.0. Media itu menyebutkan Baghdadi mampu mendesentralisasi kelompok ini. Mereka mampu berdiri sendiri tanpa kendali dan ketergantungan pada Azwan al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaidah. Keberhasilan Al-Qaidah di Irak juga tertolong oleh efek Arab Spring yang meluas. Efek ini menjadikan publik lebih kritis terhadap pemimpin negaranya.

Maliki mengakui kekacauan di Irak merupakan imbas dari konflik Suriah dan Arab Spring. Dia menyebutkan revolusi Arab telah mengguncang kediktatoran, tapi tak mampu mengisi kekosongan kekuasaan dengan cara yang benar. "Al-Qaidah memanfaatkan kesempatan ini untuk menguasai wilayah Arab. Kami berharap dunia internasional membantu sebelum menjadi bencana besar," katanya seperti dikutip Al-Jazeera.

Eko Ari Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus