Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILIPINA
Pengampunan bagi Pemberontak
Pemerintah Filipina menjamin akan mengampuni anggota kelompok Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang menghadapi dakwaan memberontak kepada pemerintah. Pengampunan itu merupakan salah satu syarat kesepakatan damai yang disetujui pemerintah Filipina dan MILF di Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu dua pekan lalu.
Pengampunan itu hanya buat para pejuang MILF, tidak untuk kelompok-kelompok sempalannya yang menolak pakta perdamaian. "Kami akan segera membicarakan langkah berikutnya. Kami jadwalkan antara Februari dan Maret," kata kepala juru runding pemerintah Filipina, Miriam Coronel-Ferrer, seperti dilansir Philippine Daily Inquirer, Senin pekan lalu.
Kepala juru runding MILF, Mohagher Iqbal, mengatakan perjanjian akan ditandatangani dalam waktu dekat untuk menciptakan perdamaian di Mindanao, Filipina Selatan. "Dengan kerja sama dan tekad semua pihak, insya Allah tak akan ada halangan," ujarnya.
Perundingan kedua belah pihak dimulai pada 1996 dengan sasaran mengakhiri pemberontakan di Mindanao. Konflik yang terjadi sejak 1970-an itu telah menewaskan sedikitnya 150 ribu orang. Setelah kesepakatan akhir diteken, kedua pihak akan menyusun undang-undang dasar Bangsamoro dan mengajukannya ke Kongres untuk disetujui. Undang-undang itu akan mengatur wilayah otonomi Bangsamoro.
Sejumlah kelompok militan di Filipina Selatan menolak kesepakatan damai itu, seperti kelompok pecahan MILF, Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro (BIFF), dan kelompok Abu Sayyaf, yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Mereka berkukuh membentuk negara Islam. Karena itu, pekan lalu pasukan pemerintah menyerang basis BIFF di Mindanao Selatan. Serangan itu menewaskan 37 orang.
Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), yang meneken perjanjian damai dengan pemerintah pada 1996, menolak kesepakatan terpisah dengan MILF. Tapi faksi MNLF pimpinan Wakil Wali Kota Cotabato Muslimin Sema menyatakan tak keberatan pada perjanjian itu asalkan pemerintah melaksanakan seluruh isi perjanjian dengan MNLF sebelum memenuhi isi perjanjian dengan MILF.
PRANCIS
Rakyat Marah kepada Hollande
Presiden Prancis Francois Hollande menjadi sasaran kemarahan rakyatnya. Belasan ribu orang tumplek di jalan Kota Paris pada Ahad dua pekan lalu memprotes pelbagai kebijakan Hollande yang dituding menyebabkan perekonomian negara itu memburuk. Mereka menyusuri jalanan dari Place de la Bastille menuju Les Invalides sambil membawa pelbagai spanduk, di antaranya bertulisan "Presiden, Anda Mundur" dan "Warga Prancis Marah!".
Seperti dilansir Deutsche Welle, rakyat marah karena angka pengangguran tinggi, kebijakan pajak mencekik, dan kurangnya kebebasan pribadi. Ada pula yang menuntut Prancis keluar dari Uni Eropa. Kehidupan pribadi Hollande tak luput jadi bahan olok-olok. Hollande berpisah dari kekasihnya, Valerie Trierweiler, setelah berpacaran tujuh tahun menyusul perselingkuhannya dengan aktris Julie Gayet. Demonstran menganggap Presiden lebih sibuk dengan urusan pribadinya ketimbang mengurusi masalah negara.
Massa terlibat bentrokan dengan polisi, yang melontarkan gas air mata. Tindakan itu dibalas dengan lemparan batu, tong sampah, dan batang-batang besi oleh demonstran. Sejumlah 250 orang ditangkap dan 19 polisi cedera dalam bentrokan itu. Menteri Dalam Negeri Prancis Manuel Valls mengecam bentrokan itu, yang menurut dia sengaja dilakukan untuk menciptakan kerusuhan.
UKRAINA
Di Ambang Perang Saudara
unjuk rasa di Ukraina tak surut meski Perdana Menteri Mykola Azarov dan semua anggota kabinet mundur, Selasa pekan lalu. Demonstran belum meninggalkan jalanan dan gedung-gedung pemerintah yang mereka duduki setelah parlemen membatalkan undang-undang anti-unjuk rasa.
Para pengunjuk rasa meminta Presiden Viktor Yanukovych mundur. Yanukovych dianggap membawa kekacauan ekonomi karena menolak pakta kerja sama ekonomi dengan Uni Eropa dan sebagai gantinya menerima bantuan Rusia. "Rakyat meminta seluruh bagian dari kekuasaan saat ini mundur dari jabatannya. Ini bukan cuma tentang Azarov," kata seorang demonstran di Kiev, Inga Vyshnevska, kepada BBC.
Dalam debat di parlemen, Rabu pekan lalu, Presiden Ukraina periode 1991-1994, Leonid Kravchuk, meminta semua pihak bertindak dengan penuh tanggung jawab. "Seluruh dunia tahu, Ukraina tahu negara ini di ambang perang saudara. Ini sebuah revolusi. Kita perlu menghapus konfrontasi dan menyepakati rencana mengakhiri konflik," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo