SIAPA sebenarnya yang menyelamatkan Sarajevo, setidaknya untuk sementara ini? Bagi milisi Serbia, itu bukan NATO. Mereka akan bilang: pasukan Rusia. Lihatlah, tak sedikit pun kekhawatiran terlukis di wajah milisi Serbia. Di malam yang dingin, menjelang berakhirnya batas waktu ultimatum NATO, Sabtu pekan lalu, mereka malah bermain ski di lereng Pegunungan Trebevic, yang mengitari Kota Sarajevo. Sementara itu, pasukan yang lain tampak membuat api unggun serta memanggang daging rusa dan kambing hutan. "Hitung-hitung membantu pesawat NATO agar bomnya tak melenceng," ujar seorang milisi Serbia, yang disambut gelak tawa teman-temannya. Mereka tampak yakin, serangan udara tak akan dilancarkan oleh 16 anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Ahad itu -- dan memang NATO tidak jadi menjatuhkan bom-bomnya. Keyakinan itu muncul karena campur tangan Rusia, persisnya Presiden Boris Yeltsin. Di saat-saat terakhir menjelang berakhirnya batas waktu ultimatum NATO, Yeltsin mengajukan tawaran menarik yang sulit ditolak pihak Serbia. Yakni agar Serbia memenuhi ultimatum NATO: segera mundur pasukannya dari "zone eksklusif" sejauh 20 kilometer. Dan sebagai imbalannya, Rusia bersedia mengirimkan 800 tentara Rusia sebagai tentara PBB ke Sarajevo. Seperti diketahui, Rusia termasuk yang cenderung berpihak pada Serbia. Ingat saja Zhirinovsky, anggota parlemen Rusia, yang beberapa waktu lalu mengunjungi Beograd, ibu kota Serbia. Menjelang ultimatum NATO, Zhirinovsky berkoar akan mengirimkan pasukan sukarela ke Bosnia untuk bertempur di sisi Serbia bila pesawat-pesawat NATO jadi mengebom. Meski itu belum tentu dilaksanakan, suara seperti itu tentulah memberikan dukungan moril bagi milisi Serbia. Dan jangan lupa, di Dewan Keamanan PBB, dalam hal krisis Bosnia, biasanya Rusia tak memberikan suara bila ada keputusan yang merugikan pihak Serbia. Maka, tatkala 400 tentara Rusia tiba di Kota Pale, markas besar Serbia, semua warga kota mengelu-elukannya. Mereka membawa botol minuman brendi, roti, dan makanan lainnya. Pemimpin Serbia di Bosnia, Radovan Karadzic, tampak berada di tengah warga Serbia itu. Ia menyalami serdadu-serdadu Rusia berbaret biru itu, baret PBB, yang mengacungkan tiga jari, tanda kemenangan tradisional Serbia. Anak-anak pun berebut naik ke konvoi 67 kendaraan militer dan truk. "Kami merasa aman karena mereka adalah saudara kami," ujar seorang bocah wanita Serbia berusia 15 tahun sambil menangis haru. Karena kepercayaan kepada Rusia itulah milisi Serbia bersedia mematuhi ultimatum NATO. "Langkah Presiden Boris Yeltsin merupakan langkah yang brilian," ujar Vitaly Churkin, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, yang terlibat dalam perundingan masalah Bosnia dengan NATO. Di lain pihak, ucapan Churkin itu, tulis Newsweek, setidaknya merupakan tamparan bagi Barat. Bayangkan, tatkala sejumlah negara Barat mengambil risiko meletusnya Perang Dunia III dengan menyetujui serangan udara NATO ke milisi Serbia, tiba- tiba saja Yeltsin sanggup menemukan jalan keluar yang jitu. "Tanpa meletuskan sebutir peluru pun, tanpa satu pun korban yang jatuh, dan tanpa menghabiskan satu rubel pun, Rusia memenangkan peperangan di dunia," kata Vyacheslav Kostikov, sekretaris pers Yeltsin, memuji pemimpinnya. Bagi Yeltsin, ultimatum NATO itu sebenarnya merupakan penyelamat bagi karier politiknya di dalam negeri. Bagaimanapun, ia harus mendukung sikap nasionalis Rusia yang mendukung Serbia, sebagai sesama bangsa Slavia. Sebab, kalau tidak, parlemen Rusia, yang kini makin dikuasai kelompok garis keras -- apalagi dengan kehadiran Vladimir Zhirinovsky, tokoh nasionalis tulen yang menggetarkan Barat dan Eropa itu -- dapat saja melakukan mosi tak percaya, yang akan berakibat fatal bagi Yeltsin. Sebelum itu terjadi, Yeltsin melakukan hal yang membuat rakyat Rusia bersimpati kembali kepada presidennya -- sesuatu yang tak pernah terjadi sejak Yeltsin menyelamatkan Gedung Parlemen dari kudeta kelompok radikal, tahun 1991 lalu. Dan Yeltsin tak berhenti di situ. Ia menugasi Menteri Luar Negeri Rusia, Andrei Kozyrev, keliling Eropa Timur untuk menjelaskan peranan Rusia dalam masalah Bosnia-Herzegovina. Selasa pekan lalu, Kozyrev hadir dalam pertemuan di Bonn, Jerman, bersama para diplomat senior Eropa dan AS. Keesokan harinya, Yeltsin mengundang empat negara Eropa serta AS untuk mengadakan sebuah pertemuan Rusia-Barat (di luar PBB dan NATO), membicarakan upaya menghentikan pertumpahan di bekas Yugoslavia. Sayangnya, upaya Yeltsin itu -- yang lebih dimaksudkan agar ia dapat berperan kembali di panggung politik dunia -- tak mendapat respons cukup besar. Hanya Prancis dan Inggris yang menyambut hangat gagasan Rusia itu, sedangkan Jerman dan AS tampak ogah- ogahan. Italia menolak dengan alasan gagasan Yeltsin itu bakal membuat Eropa terkucil dan menambah jarak antara Eropa dan PBB. Lagi pula, formula Yeltsin diduga tak jauh berbeda dengan usul perdamaian NATO dan PBB, yakni membagi tiga wilayah etnis (TEMPO, 26 Februari 1994). Jadi, akan percuma saja. Melihat kecenderungan itu, impian Yeltsin untuk kembali berperan di panggung internasional masih sulit diwujudkan. Tapi, diakui atau tidak, Rusia berperan besar dalam mencegah bom-bom NATO meluncur menghancurkan artileri Serbia. Dan ini mesti dicatat. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini