Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Philadelphia, demonstrasi sudah berlangsung bahkan sebelum Presiden Donald Trump memberlakukan larangan sementara bagi imigran dari tujuh negara Islam untuk masuk Amerika Serikat. Ribuan orang berkumpul sejak pagi di depan Balai Kota pada Kamis dua pekan lalu, hari saat Trump dijadwalkan berpidato dalam pertemuan tahunan anggota Kongres dari Partai Republik di Loews Philadelphia Hotel. Dalam gerimis dan suhu 15 derajat Celsius, peserta aksi lalu berjalan sejauh dua blok, membawa spanduk dan poster.
Mereka terhenti satu blok dari tempat tujuan, hotel bintang empat di pusat kota itu. Dua truk sampah dan ratusan petugas keamanan membentengi jalan. Tak patah semangat, pada saat acara makan siang berlangsung, para pemrotes riuh meneriakkan bermacam yel. "Hei, hei, ho, ho, Donald Trump harus enyah" dan "Cinta bukan benci, itu yang bikin Amerika besar" terdengar berirama. Mereka tak menghendaki Trump.
Kehadiran Trump di Philadelphia, yang dikenal sebagai kota Demokrat, merupakan kunjungan pertamanya keluar Washington, DC, sejak resmi berkantor di Gedung Putih. Sehari sebelumnya, presiden dari Partai Republik itu meneken keputusan akan menghapus dana dari pusat jika kota yang selama ini menjadi suaka kaum imigran tak mau membagi data imigran ilegalnya. Philadelphia, satu di antara 400-an kota dan wilayah administratif yang disebut county itu, bertekad melawan.
Dalam jumpa pers yang dihadiri kontributor Tempo Indah Nuritasari, Wali Kota Jim Kenney menyatakan tak takut kehilangan dana. Dia juga membantah tuduhan Trump bahwa jumlah kasus pembunuhan meningkat pesat di Philadelphia. "Pernyataan itu penghinaan bagi kepolisian Philadelphia, yang telah bekerja keras menjaga keamanan kota ini," ujarnya. Menurut dia, tingkat pembunuhan di Philadelphia berada di titik terendah selama 40 tahun terakhir, pertanda hubungan polisi dan komunitas telah berjalan sangat baik.
Kecuali Miami, yang memilih mematuhi keputusan Trump, kota-kota suaka lainnya juga membalela. Kota New York mengisyaratkan siap menempuh jalur hukum. San Francisco malah telah merealisasinya: pemerintah kota ini membawa persoalan tersebut ke pengadilan. Gugatan diajukan pada Selasa pekan lalu, dengan tudingan pemerintah Trump melanggar ketentuan mengenai hak negara bagian dalam konstitusi Amerika.
"Keputusan Presiden bukan hanya tidak sesuai dengan konstitusi, tapi juga bukan Amerika," kata pengacara pemerintah San Francisco, Dennis Herrera. "Karena itulah kita harus bersatu dan menentangnya. Kita adalah negara kaum imigran dan negara hukum."
Gugatan San Francisco menyatakan kebijakan Trump melanggar Amendemen ke-10. Ketentuan dalam amendemen ini berisi aturan mengenai keseimbangan kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. "Kekuasaan eksekutif tak bisa memerintah negara bagian dan pejabat lokal untuk menegakkan hukum federal," demikian gugatan itu.
Keputusan mengenai dana federal itu rupanya baru satu hal. Dua hari kemudian, Trump menandatangani keputusan lain: tentang penghentian semua program pengungsi selama 120 hari; larangan masuk permanen bagi semua pengungsi Suriah; dan pembatalan izin masuk selama 90 hari bagi warga dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Keputusan ini dibuat tanpa berkonsultasi dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri dan badan-badan lain yang terkait.
l l l
Jenderal John F. Kelly, Menteri Keamanan Dalam Negeri, sedang ikut rapat melalui sambungan telepon pada Jumat siang dua pekan lalu. Dalam penerbangan ke Washington dari Miami itu, untuk pertama kalinya dia mendapatkan penjelasan lengkap dari Gedung Putih tentang pergeseran kebijakan pemerintah. Dia memang perlu panduan dari kantor Presiden, yang tak meminta pendapat hukum departemennya sejak Trump menjabat dan menjalankan beberapa keputusan.
Saat briefing berlangsung, seorang pejabat yang menjadi peserta menengok layar televisi di kantornya. "Presiden sedang menandatangani keputusan eksekutif yang masih kita bahas ini," katanya, seperti dikutip The New York Times.
Keputusan itu segera menimbulkan kebingungan dan kekacauan. Pelaksanaannya yang tanpa petunjuk lengkap dan jelas-briefing baru dilakukan pada Sabtu dinihari-menyebabkan petugas imigrasi dan perbatasan tak siap. Tapi ratusan orang (banyak yang berstatus mahasiswa) langsung terkena akibatnya: mereka dihentikan dan ditahan di sejumlah bandar udara di Amerika begitu mendarat atau jadi tak bisa berangkat dari bandara di berbagai negara.
Muhamad Alhaj Moustafa termasuk di antara mereka. Dokter asal Suriah yang sedang magang di satu rumah sakit di Washington, DC, ini terpaksa berpisah dengan istrinya. Mereka berada di Amerika dengan visa pertukaran budaya. Ketika Trump baru saja menandatangani keputusannya, istri Moustafa sedang dalam perjalanan kembali ke Amerika dari Qatar. Tiba di Bandara Dulles pada Sabtu pagi, "Dia dipulangkan ke Suriah tujuh jam kemudian," kata Moustafa kepada CNN.
Wartawan CNN Mohammed Tawfeeq, yang sudah berstatus penduduk tetap sejak 2013, tak luput pula dari perlakuan yang hampir sama. Pada Ahad dua pekan lalu, sepulang dari bertugas meliput di kampung halamannya, Irak, dia mendarat di Bandara Hartsfield/Jackson, Atlanta, pukul 19.20. Para petugas imigrasi mengatakan dia bisa ditolak masuk. Sepanjang malam mereka menginterogasi dia, bertanya untuk urusan apa dia pergi ke Irak, lalu meminta dia menunggu karena mereka akan mengecek sebuah surat elektronik untuk memastikan apakah dia boleh masuk atau tidak.
Ketika tiba di bandara itu sebenarnya sudah ada kejelasan bahwa pemegang green card, penduduk tetap seperti Tawfeeq, tak lagi terhitung dalam kelompok yang dicegah masuk Amerika. Hal ini diumumkan sejam sebelumnya melalui pernyataan Menteri Keamanan Dalam Negeri.
Merasa didiskriminasi, keesokan harinya Tawfeeq mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Negara Bagian Georgia. Dalam materi gugatan disebutkan keputusan Trump telah digunakan oleh para pejabat "untuk menjadikan penduduk yang baru pulang seperti Tuan Tawfeeq sebagai subyek perlakuan tak pantas... dan penangguhan serta interogasi yang lama di bandara kedatangan".
l l l
Gugatan Tawfeeq hanya satu di antara belasan langkah hukum serupa yang kini sedang bergulir atau telah diputuskan pengadilan. Gugatan pertama diajukan para pengacara dari American Civil Liberties Union (ACLU) ketika pada Sabtu dua pekan lalu puluhan orang mulai tertahan di berbagai bandara di Amerika. Hakim Ann M. Donnelly dari Pengadilan Distrik Federal di Brooklyn melarang pelaksanaan sebagian ketentuan dalam keputusan Trump, yakni deportasi, karena hal itu bisa menimbulkan "kerugian yang tak bisa diperbaiki".
Ratusan orang yang menunggu di luar gedung pengadilan berseru kegirangan mengetahui putusan yang ditetapkan menjelang pukul 21.00 waktu setempat itu. Menurut para pengacara ACLU, putusan hakim Donnelly bisa berlaku bagi 100-200 orang yang ditahan di bandara-bandara kedatangan.
Menghadapi berbagai front langkah hukum itu, juga gelombang demonstrasi di berbagai kota dan bahkan pembangkangan di lingkungan Departemen Luar Negeri, Gedung Putih bergeming. Trump justru memecat penjabat Jaksa Agung Sally Yates, yang mempertanyakan dan menolak menjalankan keputusannya, pada Senin pekan lalu.
Dalam sebuah pernyataan, Trump menyangkal keputusannya adalah larangan permanen bagi kaum muslim. Langkah itu, kata dia, untuk menangkal terorisme dan kepentingan keamanan. Menurut dia, visa akan dikeluarkan lagi segera setelah "kebijakan yang paling aman" diberlakukan.
Banyak kalangan yang sanksi "kebijakan paling aman" itu benar-benar terwujud jika maksudnya adalah membatalkan diskriminasi yang berlaku saat ini. Menurut The New York Times, Stephen Bannon-asisten presiden-diyakini bakal bertekad mewujudkan janji kampanye Trump untuk "total dan sepenuhnya melarang muslim masuk Amerika Serikat". Bekas eksekutif Breitbat News-situs berita dan opini ultra-kanan-inilah yang berinisiatif menyusun draf keputusan tentang imigran itu sejak masa peralihan pemerintahan.
Di tengah "badai" yang diperkirakan bakal panjang, kota-kota suaka sejauh ini tak ragu pada pendiriannya. Philadelphia, yang berada di Negara Bagian Pennsylvania, bahkan didukung oleh pemerintah negara bagian. "Pennsylvania berdasarkan sejarahnya memang selalu ramah terhadap imigran," kata Tiffany Chang Lawson, Direktur Eksekutif Komisi Penasihat Gubernur Urusan Warga Amerika Keturunan Asia-Pasifik, dalam acara Town Hall dengan orang Indonesia pada Sabtu dua pekan lalu.
Purwanto Setiadi (BBC | CNN | The Guardian | The Los Angeles Times | Mother Jones | NPR | The New York Times| Vox) | Indah Nuritasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo