Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah Tragis Loyalis Suu Kyi

Tokoh muslim Myanmar dan penasihat Aung San Suu Kyi tewas ditembak sepulang dari Indonesia. Diyakini sebagai aksi pembunuhan politik.

6 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ribuan pelayat menjejali Permakaman Umum Yay Way di Kota Yangon, Myanmar, pada Senin pekan lalu. Belasan orang dari mereka bergantian mengusung sebuah keranda berselimutkan kain hijau yang memuat tulisan aksara Arab pada tiap sisinya. Di dalam keranda itu bersemayam jenazah Ko Ni, yang dibawa ke liang lahad sekitar pukul 16.00. "Saya datang berziarah bukan karena dia muslim," kata seorang pelayat, Ashraf Ali.

Ashraf, 46 tahun, yang juga dikenal sebagai Maung Maung Tin, mengatakan ia melayat Ko Ni sebagai penghormatan kepada tokoh pembela kerukunan umat beragama di Myanmar itu. "Dia berupaya mempersatukan orang-orang dari semua agama," ucap Ashraf, seperti dikutip Frontier Myanmar. Para pengacara, sederet politikus dari partai penguasa, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta biksu-biksu Buddha melayat Ko Ni.

Ko Ni tewas seketika. Tubuh pria 63 tahun itu roboh saat tembakan jarak dekat menembus kepalanya. Sebuah foto yang beredar di media sosial menunjukkan seorang pria, berkaus merah muda dan bercelana pendek, belakangan diketahui bernama Kyi Lin, berdiri di belakang Ko Ni dan membidikkan sepucuk pistol. Ko Ni pada Ahad pekan lalu itu tengah menunggu taksi sambil menggendong cucunya di luar Bandar Udara Internasional Yangon.

Putri Ko Ni, Yin Nwe Khine, terperenyak menyaksikan penembakan brutal ayahnya. Yin sore itu mengajak putranya menjemput sang kakek di bandara. "Banyak orang membenci kami karena berbeda agama. Bisa jadi itu alasannya (pembunuhan Ko Ni)," ujar Yin kepada DVB TV di luar rumah sakit tempat jenazah ayahnya disemayamkan.

l l l

Ko Ni pulang dari lawatan ke Jakarta dan Ambon. Sejak satu pekan sebelumnya, dia mengikuti rangkaian diskusi yang digagas Harvard Kennedy School dengan The Habibie Center dan lembaga nirlaba asal Myanmar, Proximity Designs. "Kami membahas transisi demokrasi, reformasi militer, dan konflik komunal di Indonesia," kata Benny Subianto, program consultant untuk Harvard Kennedy School Myanmar Program, saat dihubungi Rabu pekan lalu.

Ko Ni datang bersama 20 anggota delegasi pemerintah Myanmar. Menteri Penerangan Pe Myint memimpin rombongan yang juga berisi Wakil Menteri Urusan Perbatasan, Wakil Menteri Dalam Negeri, beberapa anggota parlemen, serta pemimpin Negara Bagian Rakhine itu. "Ada pula perwakilan komunitas Rohingya dan kaum Buddha dari Rakhine," kata Ibrahim Almuttaqi, Ketua Program Studi ASEAN dari The Habibie Center.

Selain sebagai tokoh muslim terkemuka, Ko Ni ikut sebagai penasihat hukum NLD-partai besutan tokoh prodemokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. "Dia ingin tahu proses demokratisasi di Indonesia, bagaimana militer melepaskan kontrol," ujar Ibrahim. Ko Ni, dia melanjutkan, juga banyak bertanya tentang hubungan antar-pemeluk agama di Tanah Air. "Menurut mereka, situasi Indonesia pada 1998 mirip dengan Myanmar sekarang."

Situasi yang Ko Ni maksud adalah menjamurnya konflik antar-kelompok masyarakat pasca-reformasi politik. Di Indonesia, selepas reformasi, "Terjadi konflik komunal di Ambon, Kalimantan, Maluku Utara, dan tempat-tempat lain," kata Benny. Menurut Ibrahim, delegasi Myanmar kali ini memilih konflik Ambon sebagai contoh kasus pembelajaran. "Karena ada elemen inter-religious, mirip dengan situasi di Rakhine antara pemeluk Islam dan Buddha," ujarnya.

Sejak 2011, Myanmar menjalani transisi politik dari junta militer, yang telah berkuasa selama lebih dari setengah abad, ke rezim sipil. Namun bentrokan komunal terus mewarnai negeri itu. Pada Juni 2012, misalnya, sedikitnya 200 orang tewas dan ratusan lain mengungsi akibat kekerasan antara penduduk etnis Rakhine beragama Buddha dan kelompok minoritas muslim Rohingya. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982, warga Rohingya dianggap sebagai pengungsi dari Bangladesh.

Di Rakhine, negara bagian di Myanmar barat, kekerasan kembali menimpa kaum Rohingya pada Oktober 2016. Saat itu, tentara Myanmar ditengarai mendalangi aksi perusakan dan pembakaran desa-desa Rohingya. Tindakan represif itu menewaskan lebih dari 100 orang dan menjadikan 30 ribu lainnya tunawisma. "Suu Kyi bahkan sampai sekarang belum bersuara. Ini mengkhawatirkan karena dia tokoh," kata Ibrahim.

Direktur Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi itu, mengatakan isu Rohingya tak bisa dilepaskan dari transisi demokrasi Myanmar. "Selalu saya tekankan agar persoalan Rohingya diselesaikan dengan baik dan adil," ujarnya. Secara konstitusional, katanya, "Masyarakat Rohingya harus diakui."

Ini pula yang menjadi perhatian Ko Ni, meski ia tidak secara khusus menyerukan perlindungan kaum Rohingya. "Tapi, karena Rohingya kelompok minoritas yang tertindas, dia menaruh perhatian," ujar Benny. Ko Ni juga lantang memperjuangkan hak-hak asasi kaum minoritas dan gencar melawan ujaran kebencian. "Di sana ada kelompok fundamentalis Buddha yang ingin memaksakan kehendaknya. Mereka didukung tentara."

l l l

Pembunuhan Ko Ni menyentak rakyat Myanmar. Sebagian warga masih sulit menerima bahwa Kyi Lin menembak Ko Ni demi sebuah mobil. Menurut penyelidikan polisi, seorang pria bernama Myint Swe menyuruh Kyi Lin menghabisi nyawa Ko Ni. "Jika tokoh partai berkuasa saja diperlakukan seperti itu, tak terbayangkan apa yang bisa terjadi pada warga biasa," kata Mohammad Shafi, 50 tahun, saat menghadiri pemakaman Ko Ni.

Sejak awal, penembakan Ko Ni diyakini bukan semata-mata aksi kriminal. "Motif di balik insiden ini untuk merusak stabilitas negara," begitu pernyataan Kantor Kepresidenan Myanmar. Thein Than Oo, pengacara terkemuka dan rekan Ko Ni, mengiyakan kesimpulan itu. "Pembunuhan politik dapat mengancam stabilitas di Myanmar," ujarnya.

Sebagai pengacara, Ko Ni telah menangani lebih dari 900 kasus pidana dan 1.400 kasus perdata. Sikap tegasnya yang pro-minoritas-di Myanmar berarti warga muslim-membuat Ko Ni kerap menjadi sasaran kritik. Pada Februari 2014, biksu-biksu radikal membubarkan ceramah Ko Ni di North Okkalapa. "Mereka menyatakan orang Islam dilarang berbicara terbuka karena ‘tidak nasional’," begitu laporan Frontier Myanmar.

Seperti Suu Kyi, Ko Ni dikenal sebagai aktivis prodemokrasi. Pria kelahiran Desa Inn di Katha, wilayah Sagaing, ini baru resmi bergabung dengan NLD pada 8 Oktober 2013. Namun bapak tiga anak ini telah lama menjadi penasihat kunci Suu Kyi. Baru setelah di NLD, Ko Ni diangkat sebagai anggota Komite Penasihat Hukum dan Komite Pusat Bantuan Hukum. Dia juga ditunjuk sebagai anggota Komite Pusat untuk Amendemen Konstitusi.

Ko Ni cukup lantang mengkritik Konstitusi 2008 bikinan junta militer. "Dia melihat banyak pasal yang tidak demokratis," kata Benny Subianto. Konstitusi itu antara lain mengatur jatah 25 persen kursi parlemen dan tiga kursi menteri untuk militer. Pasal 59-f bahkan dibikin khusus untuk mengganjal langkah Suu Kyi menjadi presiden, meski perempuan 71 tahun itu membawa NLD menang telak dalam pemilihan umum 2015.

Meski dihormati di NLD, Ko Ni tak segan mengkritik partai besutan Suu Kyi itu. Hal ini terutama berkaitan dengan kenyataan bahwa NLD tidak mengusung orang Islam sebagai calon legislator dalam pemilu 2015. "Dia sangat kecewa karena tidak bisa maju sebagai anggota Dewan," ucap Benny. Suu Kyi saat itu tak banyak berkutik, apalagi sentimen antimuslim memanas menyusul konflik komunal di Rakhine. "Suu Kyi sangat memperhatikan popularitas," kata Ibrahim Almuttaqi.

Tak patah semangat, Ko Ni berjuang dari luar parlemen dan kabinet. Dia, misalnya, membidani lahirnya aturan untuk membentuk posisi penasihat negara, jabatan presiden de facto yang kini diemban Suu Kyi. Ko Ni juga terus mendorong amendemen konstitusi guna memereteli cengkeraman junta militer, meski untuk itu dia harus bertaruh nyawa. "Ayah saya sering diancam. Tapi dia tidak mudah menyerah," kata Yin Nwe Khine.

Mahardika Satria Hadi (Irrawaddy | Myanmar Times | Reuters | The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus