Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rontok Laba Terpukul Daging India

Impor daging dari India merembes ke pasar daging lokal. Peternak dan pedagang sapi kelabakan.

6 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARAPAN Suparno berantakan. Akhir tahun lalu, peternak sapi di Boyolali ini bermimpi bakal meraup puluhan juta rupiah dari menjual hewan ternaknya. Kenyataannya, ia harus mengeluarkan biaya pemeliharaan tambahan untuk membeli pakan buat lima ekor sapi miliknya.

Peternak dari Desa Keyongan, Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah, ini mesti membelanjakan duit hingga Rp 5 juta per bulan. Bukan cuma urusan pakan, Ketua Asosiasi Peternak Sapi Indonesia Kabupaten Boyo­lali ini masih harus merogoh kocek tambah­an untuk biaya air dan listrik. ”Kalau dihitung-hitung memang menambah banyak biaya,” kata Suparno saat dihubungi pada Kamis pekan lalu. ”Padahal seharusnya sudah dipotong.”

Suparno mengatakan sapi-sapi miliknya bukannya tak mencapai bobot layak untuk dipotong. Yang menjadi soal adalah beberapa bulan belakangan ini rumah jagal tak antusias menyerap sapi rakyat. Alasannya, harga daging sapi lokal kalah bersaing dengan harga daging impor dari India. ”Teman-teman di usaha penyembelihan memilih mengurangi pemotongan sapi lokal,” ujarnya.

Masuknya impor daging kerbau dari India ini dimulai sejak September tahun lalu. Kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam aturan ini, pemerintah mengizinkan impor sapi bakalan dan daging berdasarkan zona (zone based) yang belum sepenuhnya terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK).

Selama ini pemerintah menganut rezim impor country based. Dengan skema ini, seluruh wilayah di negara asal impor harus benar-benar bebas dari penyakit mulut dan kuku. Ini berbeda dengan rezim zone based, yang mengizinkan impor dari wilayah tertentu yang bebas penyakit mulut dan kuku, meski di negara tersebut masih ada yang masih terjangkit PMK.

Kebijakan ini dari awal memang menuai reaksi. Tak mau sekadar memprotes soal harga, pada Oktober 2015, sejumlah pengusaha peternakan sapi menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Teguh Boediyana meminta Mahkamah menguji pasal 36 C ayat 1 dan 3, pasal 36D ayat 1, serta pasal 36E ayat 1, yang memuat sistem impor sapi bakalan dan daging berdasarkan zona. Selasa pekan ini, Mahkamah akan membacakan putusannya.

Gugatan ini berisi permintaan agar mekanisme impor kembali berdasarkan negara yang sepenuhnya bebas dari PMK. ­Alasannya, skema impor berdasarkan zona bakal berdampak buruk pada ­perekonomian dan pariwisata nasional. ”Utamanya adalah soal penyakit,” ucap Teguh, Selasa pekan lalu. ”Kalau kena PMK, target swasembada daging 2017 hanya impian.”

Teguh juga khawatir terhadap menurunnya minat beternak sapi. Saat ini, kata dia, hanya ada 5,5 juta peternak rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan asumsi setiap peternak memilik 2 ekor sapi, populasi sapi lokal saat ini hanya 10-11 juta ekor. Angka ini menurun dari sensus Badan ­Pusat Statistik pada 2011 sebanyak 14,5 juta ekor dan hasil sensus 2013 sekitar 12,5 juta ekor.

Penurunan minat ini lantaran pemerintah meminta harga ditekan. Dengan asumsi harga daging sapi segar Rp 80 ribu per kilogram, harga sapi hidup di peternak harus berada di kisaran Rp 38-40 ribu per kilogram. Padahal peternak harus mengeluarkan duit untuk modal membeli sapi hidup seharga Rp 43 ribu per kilogram dan ­menjualnya Rp 47 ribu per kilogram setelah melalui penggemukan selama tiga-empat bulan. ”Dengan kondisi sekarang, peternak mau untung dari mana?” ujar ­Teguh.

Dewan Peternakan Nasional juga mencatat kerugian peternak lokal yang melorot hingga 50 persen selama enam bulan terakhir. Anggota Presidium Dewan Peternakan Nasional, Edy Wijayanto, mengatakan peternak rakyat di Tapos, Jawa Barat, misalnya, terpaksa memangkas jumlah pemotongan sapi. Dari sebelumnya bisa memotong 50-60 ekor sehari, kini para peternak rakyat hanya bisa memotong rata-rata 30 ekor.

Edy tak menampik permintaan daging sapi lokal anjlok lantaran harganya tak kompetitif dengan daging India. Dengan harga beli Rp 46-48 ribu per kilogram, pemerintah—lewat Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik—mematok harga eceran tertinggi Rp 80 ribu per kilogram. ”Pedagang pasar juga mengoplos daging lokal dengan India,” kata Edy saat dihubungi pada Ahad dua pekan lalu.

Menurut Edy, selama ini peternak mengaku tak bermasalah dengan impor sapi asal negara-negara bebas penyakit seperti Australia, Selandia Baru, dan Brasil. Sebab, harga jual daging impor dari tiga negara tersebut masih lebih tinggi ketimbang daging lokal.

Seorang pengusaha daging yang ditemui Tempo mengatakan harga beli daging sapi bagian paha belakang (knuckle) dari Australia US$ 5,4 atau sekitar Rp 72 ribu per kilogram. Ditambah ongkos pengapalan, penerimaan negara bukan pajak, dan ongkos bongkar-muat di lapangan, harga di Indonesia mencapai Rp 78 ribu per kilogram. ”Belum nanti ke distributor, sub-distributor, hingga konsumen harganya akan semakin naik tergantung margin yang diambil,” ujar pengusaha tersebut, Rabu pekan lalu. Selama ini marginnya Rp 4.000-5.000 per kilogram di setiap mata rantai.

Tak hanya dari peternak, protes datang juga dari para pedagang sapi. Ketua Asosiasi Pedagang Sapi Indonesia Thomas Sembiring mengatakan kebijakan ini membuat importir tidak dapat bersaing. Sebab, izin impor daging sapi dari India hanya diberikan kepada Perum Bulog. ”Dikasih bebas saja biar bersaing. Toh, Bulog tak mampu berperan menstabilkan harga,” kata Thomas, dua pekan lalu.

Menurut Thomas, untuk menstabilkan harga daging sapi, izin impor daging semestinya bisa dilakukan oleh banyak importir. Dengan demikian, importir akan berlomba-lomba menawarkan barang dengan harga yang kompetitif.

Kementerian Pertanian memastikan impor daging berbasis zona, seperti dari India, tak menjatuhkan harga ternak atau daging lokal. Sebab, pemerintah mengawasi ketat peredaran daging impor tersebut. ”Sehingga tidak akan menimbulkan distorsi atau menjatuhkan harga ternak atau daging lokal,” kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita, Selasa pekan lalu.

Soal kemungkinan munculnya penyakit mulut dan kuku, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, sebelum kebijakan ini berlaku, Amran telah mengirim 1.128 ahli ke India. ”Ini kami cek semuanya. Tidak mungkin kami angkut kalau tidak yakin ini dalam keadaan steril,” ucapnya. Apalagi ia membatasi daging yang diimpor melalui Bulog hanya berupa daging beku, yang dianggap lebih kebal dari penularan penyakit.

Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik Djarot Kusumayakti memastikan penjualan daging impor asal India melibatkan banyak pihak. ”Kami jual ke retailer, wholesale, dan ada yang dijual langsung,” kata Djarot, Selasa pekan lalu. Bulog, sebagai operator, hanya menjalankan apa yang diperintahkan regulator. Ketika pemerintah menunjuk hanya Bulog yang mengimpor daging India, maka Bulog melakukannya.

Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Pasal 36 Undang-Undang Peternakan pekan ini, Djarot tak ambil pusing. Ia memastikan akan menghentikan impor daging asal India jika putusan Mahkamah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional. Sebab, jika Mahkamah memutuskan kebijakan impor kembali ke country based, dasar hukum impor daging dari India menjadi tidak ada. ”Kami tidak boleh melawan putusan.”

Ayu Prima Sandi | Putri Adityowati | Diko Oktara


Yang menjadi soal adalah beberapa bulan belakangan ini rumah jagal tak antusias menyerap sapi rakyat. Alasannya, harga daging sapi lokal kalah bersaing dengan harga daging impor dari India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus