SEBUAH suksesi telah terjadi di Afghanistan, tanpa spekulasi ataupun pertumpahan darah. Ketika peristiwa penting itu terjadi Ahad lalu, kehidupan di ibu kota Kabul berjalan seperti biasa. Radio pemerintah memberitakan bahwa Babrak Karmal, 57, sudah mengundurkan diri dari jabatan sekjen Partai Demokratik Rakyat, digantikan Mayjen Najibullah, 39, bekas pemimpin Khad, dinas polisi rahasia Afghan. Berkuasa sejak 1979, Karmal, yang sering dijuluki boneka Soviet itu, melepaskan jabatan pemimpin partai, tapi tetap berfungsi sebagai presiden Afghanistan, ketua Dewan Revolusioner, dan anggota Politbiro. Agaknya ini adalah kompromi sementara yang terpaksa ditempuh Moskow agar apa yang disebut sebagai proses pembaruan tidak terhambat. Sesudah memerintah enam tahun Karmal rupanya tidak terlalu bisa diandalkan, apalagi belakangan ia digunjingkan mengidap tbc atau, mungkin juga, leukemia. Penyingkiran Karmal dilancarkan secara terencana. Pada mulanya harian Pravda memuat serangkaian artikel tentang kampanye pembaruan di Afghan, sesuatu yang bisa ditafsirkan sebagai teguran keras ke alamat pemimpin Afghanistan itu. Ini diperkuat oleh Mikhail Gorbachev yang tidak bersedia menerima audiensi Karmal, Februari berselang. Manakala partai komunis Afghan merayakan ulang tahun ke-8, 27 April silam, nama Karmal sebagai sekjen sama sekali tidak disebut. Dengan ini lengkaplah vonis atas dirinya dan berita radio Kabul boleh dibilang hanya merupakan gong penutup saja. Tentu saja ketika ia tidak muncul di depan publik selama satu bulan terakhir banyak sekali beredar desas-desus tentang misteri Karmal. Tapi kenyataannya ini tidak dihubung-hubungkan dengan kemungkinan suksesi. Apalagi tatkala Karmal tiba-tiba kembali ke Kabul Kamis pekan lalu, ia disambut hangat oleh semua anggota Politbiro dan dubes Soviet di sana, sampai Karmal mengumumkannya sendiri awal pekan ini. Moskow mulai menjauh dari Karmal sejak Oktober silam, ketika tokoh Afghan ini mengundang orang-orang nonkomunis untuk duduk dalam pemerintahan. Sejak itu posisi Karma goyah, sebaliknya Najibullah diam-diam berhasil membina hubungan dengan Moskow. Sekonyong-konyong dia menjadi sekutu terpercaya Kremlin. Tokoh ini rupanya bisa sangat diandalkan untuk mengamankan kepentingan Soviet di Afghanistan. Apalagi di saat perundingan Jenewa berlangsung pekan ini, membicarakan masalah amat penting: penarikan mundur tentara Soviet dari Afghanistan. Berlangsung atas prakarsa PBB dengan perantara Diego Cordovez, perundingan yang melibatkan pemerintah Afghanistan dan Pakistan itu tidak pernah akan terlaksana tanpa konsesi dari Rusia. Dan konsesi itu cair, ketika Moskow mengajukan jadwal ancer-ancer penarikan tentara Soviet yang dibahas dalam sebuah diskusi tak langsung antara Afghan dan Pakistan. Harus diakui, ini sudah merupakan kemajuan walaupun hasilnya masih samar-samar. Apalagi karena pihak gerilyawan Mujahiddin tidak terwakili dalam perundingan, hingga pastilah aspirasi mereka tidak sepenuhnya tersalurkan. Pemimpin gerilyawan seperti Gulbuddin Hikmatyar dan Rabbani bahkan menolak perundingan Jenewa itu dan bertekad meneruskan perjuangan bersenjata. Mungkin sekali sikap ini berubah kelak, jika tentara Soviet benar-benar ditarik dari Afghanistan. Tapi untuk konsesi besar seperti ini, Moskow menuntut jaminan agar semua bantuan untuk kelompok perlawanan Afghan dihentikan. Ini berarti Soviet siap untuk "kehilangan muka secara terhormat" asalkan kontrol terhadap Kabul masih tetap diakui sebagai prioritas Kremlin. Dan orang seperti Mayjen Najibullah pasti cocok untuk tugas ini. Dalam pidato pertamanya Najib memang bicara tentang upaya mengakhiri pertumpahan darah di Afghan. Tapi caranya? Terserah Moskow tentu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini