LIMA buah roket buatan sendiri terbang melewati atap Istana Akasaka Minggu sore lalu. Ketika itu upacara penyambutan Presiden Prancis, Francois Mitterrand, hampir berakhir. Tidak jatuh korban. Tapi polisi dan pemerintah Jepang dipermalukan. Ternyata, 30 ribu polisi dengan perlengkapan mutakhir serta tujuh milyar yen biaya pengamanan Konperensi Tingkat Tinggi tujuh negara industri terkemuka cuma berhasil menjadikan Tokyo seakan berada dalam keadaan darurat perang. Sudah tentu bukan karena roket dan bom kaum ekstremis kiri itu yang menjadi sebab masuknya terorisme dalam agenda konperensi Tokyo. Jauh sebelum para delegasi mencapai Tokyo, dari Eropa sudah tersiar berita perlunya soal tersebut menjadi pembicaraan bersama. Secara bersama para pemimpin Eropa merasakan perlunya memperbaiki hubungan mereka dengan Amerika yang mendingin sejak pengeboman AS terhadap Libya dan reaksi dingin Eropa - kecuali Inggris - terhadap operasi tersebut. Dari Washington, Presiden Ronald Reagan tidak pernah menyembunyikan niatnya untuk mengerahkan segenap sekutunya untuk mengucilkan para teroris. Sejak pengeboman atas Libya, Presiden Qadhafi secara resmi dianggap mewakili semua kegiatan teror di dunia. Maka, tidaklah mengherankan jika dalam Deklarasi Tokyo, keputusan pertama KTT Tokyo ialah mengenai terorisme, dan Libya adalah satu-satunya negara yang disebut sebagai sumber teror. Maka, bersepakatlah ketujuh negara itu untuk mengucilkan Libya dengan tidak menjual senjata kepadanya, memperketat ruang gerak diplomatnya, menolak akreditasi diplomatnya yang pernah diusir dari suatu negara, serta mempermudah ekstradisi bagi mereka yang tertangkap. Amerika amat gembira atas deklarasi Tokyo yang sama sekali tidak menyebut serangan Amerika atas Libya. "Ini betul-betul hari yang cerah bagi demokrasi," kata George Shultz, Menteri Luar Negeri Amerika, yang juga berada di Tokyo. Masalah ekonomi yang melanda negara-negara Barat bukannya tidak dibicarakan di Tokyo. Tapi dari semula memang tidak ada pihak yang berharap akan dicapainya suatu terobosan. Dunia Ketiga cuma mendapat janji bantuan dari sebuah keputusan yang berasal dari saran Menteri Keuangan Amerika Serikat, James Baker. Dari Malaysia setengah putus asa, perdana menteri negeri itu, Datuk Sri Mahathir, mengakui bahwa "kita di Selatan tidak punya pengaruh apa pun pada konperensi yang menyangkut kehidupan kita." Beberapa hari sebelum pertemuan Tokyo dimulai, terjadi kecelakaan nuklir di Chernobyl, Uni Soviet. Sejauh ini Moskow hanya mengakui tewasnya dua orang dan dirawatnya 197 orang. Tapi di depan para wartawan, Shultz dengan bergurau berkata, "Saya ingin bertaruh sepuluh dolar bahwa yang korban lebih dari yang disebutkan." Tapi berapa pun yang mati, bencana itu membuka kesempatan untuk membicarakan masalah pengamanan pemakaian nuklir untuk kegiatan bukan militer. Para pemimpin yang berkumpul di Tokyo itu bersepakat untuk mendesak diadakannya suatu perjanjian internasional yang menjamin pengungkapan secara lengkap semua informasi yang menyangkut suatu kecelakaan nuklir. Jelas, yang jadi sasaran ialah Uni Soviet yang terus berusaha menutup-nutupi akibat kecelakaan di Chernobyl, ketika debu radioaktif bahkan sudah menyebar ke Eropa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini