Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Roda bisnis di Zona Kerja Sama Ekonomi dan Perdagangan Cina-Vietnam di pu--sat manufaktur Haiphong, Vietnam, selama ini berjalan lambat. Pengelola awalnya hengkang setelah terjadi serangkaian kerusuhan anti-Cina pada Mei 2014. Saat itu para pemrotes membakar kompleks dan pabrik serta menyerang pekerja Cina, menewaskan lebih dari 20 orang dan melukai 100 orang lebih.
Menurut South China Morning Post edisi 3 Juni lalu, suasana di zona itu berubah sejak pertengahan tahun lalu, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menaikkan tarif impor barang dari Cina. Kini 16 dari 21 perusahaan asal Cina direlokasi ke zona ini setelah Trump memulai perang tarif, yang kemudian dikenal sebagai “perang dagang”.
Amerika memulai perang ini dengan mengenakan tarif 30 persen untuk panel surya impor dan 20 persen untuk mesin cuci pada Januari 2018. Langkah itu di--ikuti pengenaan tarif 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium, ter--utama dari Cina, guna memangkas defisit perdagangannya. Defisit neraca per-dagangan Amerika sebesar US$ 566 miliar. Sebanyak US$ 375 miliar atau separuh lebih di antaranya perdagangan dengan Cina.
Langkah Washington ini ditanggapi Bei-jing dengan menaikkan tarif barang eks-pornya. Setelah itu, keduanya berbalas-ba-lasan dengan mengerek naik tarif ba--rang pada Juli dan September 2018. Se--telah “gencatan senjata” sejenak pada De--sember, perang berlanjut pada Mei 2019, saat Amerika kembali meningkatkan tarif dan ditanggapi Cina dengan cara serupa sebulan kemudian.
Pengenaan tarif otomatis mendongkrak harga barang ekspor Cina ke Amerika. Be-gitu juga sebaliknya. Sejumlah pengusaha lantas bersiasat dengan merelokasi perusahaannya keluar dari Cina agar bisa mengekspor barang ke Amerika tanpa ter-kena tarif tinggi. Menurut laporan ekonom Nomura, bank investasi Jepang, salah satu negara Asia yang mendapat banyak ke--untungan dari perang dagang itu adalah tetangga selatan Cina: Vietnam.
Kementerian Perencanaan dan In-ves-tasi Vietnam pada Selasa, 25 Juni lalu, meng-umumkan bahwa mereka menerima in-vestasi asing langsung senilai US$ 9,1 miliar pada semester pertama tahun ini, naik 8 persen dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar investasi digunakan untuk pembuatan, pemrosesan, dan proyek real estate.
Pekerja pabrik Yakeda di Yangon, Myanmar, 11 Juni 2019./ REUTERS/Ann Wang
Sumber utama investasi adalah Hong Kong, yakni sebesar US$ 5,3 miliar atau 28,7 persen dari total investasi, diikuti Korea Selatan dengan US$ 2,73 miliar atau 14,8 persen. Mengingat sebagian besar pangkalan manufaktur tradisional Hong Kong telah bermigrasi ke Guangdong, Cina, dalam beberapa dekade terakhir, diperkirakan investasi baru di Vietnam ini mewakili perpindahan pabrik-pabrik Hong Kong itu.
Salah satu perusahaan yang pindah ke Haiphong adalah TP-Link, produsen jaringan komputer Tiongkok yang ber-basis di Shenzhen. Mereka menyewa pa--brik di zona itu dan akan mulai menguji peralatannya pada Juli ini. Perusahaan penyedia perangkat jaringan Wi-Fi kon-sumen terbesar di dunia itu membeli 140 ribu meter persegi lahan tambahan di zona tersebut untuk memperluas produksinya.
Ketika TP-Link membeli tanah pada akhir 2018, harganya US$ 75-80 per me--ter persegi. Sekarang harganya telah naik menjadi US$ 90 per meter persegi. Me--nurut South China Morning Post, hal ini menunjukkan lonjakan besar minat per-usahaan manufaktur di Vietnam yang di--sebabkan oleh perang dagang dua raksasa ekonomi dunia.
“Pemerintah daerah Cina tentu tidak senang dengan makin banyaknya produ-sen yang pindah ke Vietnam, tapi Presiden Cina Xi Jinping secara jelas mengedepankan Insiatif Sabuk dan Jalan, yang tidak dapat diganggu pemerintah daerah,” kata Chen Xu, Wakil Manajer Umum Zona Kerja Sama Haiphong.
Insiatif Sabuk dan Jalan adalah stra-tegi pembangunan global Cina yang melibatkan pengembangan infrastruktur dan investasi di 152 negara dan organisasi internasional di Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika. “Pemerintah daerah tidak mendorong produsen melakukan re--lokasi, tapi mereka tidak berani meng-hentikannya,” tutur Chen.
Pekan lalu, Nikkei Asian Review mengutip sumber anonim yang mengungkapkan bah-wa Apple sedang mempertimbangkan rencana memindahkan hingga 30 persen produksi iPhone dari Cina. India dan Viet-nam merupakan kandidat teratas untuk membantu Apple.
Data Amerika Serikat untuk empat bulan pertama 2019 menunjukkan ada kenaikan impor dari Vietnam, Taiwan, dan Korea Selatan—masing-masing 38,4, 22,1 dan 17,1 persen—dibanding periode yang sama tahun lalu. Sedangkan impor Negeri Abang Sam dari Cina turun 12,8 persen.
Menurut data Komisi Perdagangan In-ternasional Amerika Serikat, yang dikutip Financial Times, impor telepon seluler Amerika dari Vietnam naik lebih dari dua kali lipat dalam empat bulan pertama 2019 dibanding periode yang sama tahun lalu, sementara impor komputer naik 79 persen. Alas kaki, tekstil, dan furnitur dari Vietnam pun mencatatkan peningkatan permintaan dari Amerika—barang-barang yang dulu biasanya didatangkan dari Cina.
Negara Asia selain Vietnam juga men-dapat limpahan pabrik yang pindah, yakni Myanmar. Shu Ke’an, pemilik Yakeda Tactical Gear Co, membuka pabrik di Ya--ngon, Myanmar, September tahun lalu. Pa-brik itu mengolah bahan mentah dari Cina menjadi ransel, tas, dan kantong un-tuk senapan dan pistol. Produknya diberi label “Buatan Myanmar” dan hampir se--muanya diekspor ke Amerika. Tapi Shu mempertahankan 220 pekerja di pa--briknya di Guangzhou, Cina, yang kini kebanyakan memasok kebutuhan klien di Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Saat importir Amerika beralih ke negara-negara Asia untuk mencari pasokan, Cina mengambil barang dari Amerika Utara dan Selatan untuk mendapat pasokan lebih murah. Pada 2018, impor kedelai Cina dari Amerika hanya 16,6 juta ton, setengah dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, Cina men-datangkan 4,39 juta ton kedelai dari Brasil, naik 126 persen dari tahun sebelumnya.
Perang dagang ini juga memperlambat pertumbuhan ekonomi Cina. Dari tingkat per-tumbuhan produk domestik bruto ta--hunan sebesar 12 persen pada 2010, ang-kanya sekarang sedikit lebih dari se-te-ngahnya. Tahun lalu, angkanya 6,6 persen.
Menurut Kenneth Rapoza di Forbes, 7 Juni lalu, setahun perang dagang belum berdampak banyak pada ekonomi Amerika. Pendapatan kuartal pertama tidak me-nun-jukkan bukti resesi pendapatan pe--rusahaan, meskipun ada peringatan bahwa harga barang yang diimpor dari Cina segera naik karena perubahan tarif itu.
Namun situasi berbeda bagi sektor per-tanian. Menurut Vox, pertanian yang meng-hasilkan jagung, kedelai, susu, dan daging sapi sudah menderita karena kurangnya permintaan global serta harga yang ren-dah, dan kini diperparah oleh perang da-gang. Donald Trump meluncurkan paket bantuan US$ 12 miliar bagi para petani.
Perang dagang ini, tulis New York Times, membuat investasi bisnis, kepercayaan, dan arus perdagangan di seluruh dunia men-jadi dingin dan memperburuk per-lambatan ekonomi global. Ekonom mem-peringatkan bahwa eskalasi lebih lanjut oleh Trump dapat memperlambat per-tumbuhan global.
Perang Dua Raksasa
ABDUL MANAN (SOUTH CHINA MORNING POST, REUTERS, DEUTSCHE WELLE, IBT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo