PRESIDEN Chiang Ching-kuo, 76, yang dikecam memimpin Taiwan dengan tangan besi, membungkam oposisi dengan keberhasilan membawa negeri itu ke peringkat negara industrialis terpandang. Tidak heran bila Taiwan, yang punya cadangan devisa sekitar US$ 37 milyar, tahun ini terpaksa mengapresiasi mata uang mereka sebesar sembilan persen terhadap dolar Amerika. Padahal, negara-negara Asia lainnya sibuk menghitung berapa besar mata uang mereka harus didevaluasikan. Lama-lama gaya kepemimpinan totaliter Chiang Ching-kuo, yang diwarisinya dari bapaknya, Chiang Kai-sek, mulai menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyatnya. Ketika tuntutan ekonomi sudah terpenuhi, maka mereka mulai berbicara soal politik. Berdirinya dua partai politik tandingan -- Partai Demokrasi Taiwan (TDP) di Los Angeles dan Partai Kemajuan Demokratik (DPP) di Taipei -- membuat kelompok-kelompok pembangkang makin gencar memperlihatkan ketidakpuasan mereka. Dikhawatirkan, kristalisasi ketidakpuasan itu pada saatnya dapat merupakan kekuatan yang membimbing Taiwan ke arah revolusi sosial, yang pada gilirannya menumbangkan Presiden Chiang. Padahal, cita-cita Partai Nasionalis (Kuomintang), penguasa tunggal sejak 1949, masih belum, bahkan tak akan pernah, tercapai untuk menjadi penguasa tunggal bangsa Cina. Tapi, Presiden Chiang pun tak kekurangan akal menarik simpati rakyatnya. Ia berjanji, tanpa menyebut waktu, akan mencabut UU Darurat serta memberikan kesempatan demokratisasi. Tentu saja, itu tidak akan dapat diharapkan terjadi dalam waktu dekat ini. Terhadap munculnya kekuatan tandingan TDP dan DPP, Presiden Chiang enggan menggolongkan mereka sebagai partai. "Mereka tak punya gagasan untuk bangsa kami," kata Chiang, pekan lalu. Ia tak lupa mengingatkan bahwa TDP dan DPP tidak mencantumkan asas antikomunis sebagai landasan mereka. Melegalisasikan partai politik tandingan bagi Chiang tentu saja sama dengan menaruh pisau di depan matanya. Manakala lengah, pisau tersebut lantas menghujam ke sasarannya. Chiang tampaknya tak ingin mengondisikan hal semacam itu. Karena itu, ia selalu siap membenamkan segala upaya oposan untuk menggalang kekuatan mereka. Buat Taiwan, yang berpenduduk 19 juta jiwa itu, demokratisasi politik menurut kaca mata Barat, untuk jangka tertentu, masih berupa impian belaka. Apalagi Chiang tak punya banyak pilihan. Ke luar, Amerika tidak lagi menjadi pelindungnya. Washington lebih banyak bermain mata dengan Beijing. Sementara itu, menerima uluran tangan Moskow juga mustahil baginya. Karena itu, sama saja dengan mengkhianati prinsip yang telah digariskan sejak sempalan-sempalan nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-sek menyeberang ke Taiwan. Para oposan ternyata siap menanggung segala akibat perbuatan mereka. "Kami benar-benar telah mendirikan partai tandingan," sahut Hsieh Chang-ting, salah seorang pendiri DPP. Dan, itu pertanda mereka siap menabuh genderang perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini