Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andi Rahmat bukan teroris. Pria 36 tahun itu aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat lingkungan hidup di Palu, Sulawesi Tenggara. Apa boleh buat, ia pun ikut merasakan getah politik Amerika memerangi terorisme, politik yang cenderung mencurigai hal-hal yang berbau Islam. Ketika mendarat di Bandar Udara Dules, Washington, DC, dua pekan lalu, Andi diperlakukan bak seorang penebar teror. Bersama penumpang lainnya ia diperiksa ekstraketat. Mula-mula ia harus melalui pintu berdetektor logam. Lalu kopernya dibongkar dan tubuhnya digeledah. Selanjutnya, seorang petugas memintanya menghidupkan komputer jinjing miliknya untuk memastikan alat itu bukan bom. Di meja yang lain ia dipaksa menegak air mineral yang ia simpan dalam ranselnya—karena air itu dicurigai bom cair. Setelah itu ia masih harus mencopot sepatunya untuk dikorek petugas dengan sebuah tongkat khusus. "Sol sepatu luar-dalam diperiksa dengan teliti," kata pria yang berkunjung ke Amerika untuk sebuah seminar itu.
Perlakuan terhadap Andi yang sudah di luar kebiasaan itu bisa menjadi kurang seru jika saja rancangan undang-undang pertahanan AS yang baru disetujui Kongres dan diterapkan. Dalam rancangan yang diberi nama No Safe Harbor Act itu bukan cuma orang yang dicurigai teroris yang akan ditindak keras. Bahkan mereka yang dicurigai mengetahui dan melindungi teroris juga akan kena sanksi. Termasuk dalam kategori pelindung teroris ini adalah mereka yang dianggap "gagal" membantu investigasi polisi AS atau aparat negara aliansi Amerika lainnya terhadap suatu kasus terorisme. Dengan kata lain, seseorang yang dituding menyembunyikan informasi tentang aksi dan pelaku teror akan dikirim ke bui. "Dengan undang-undang ini kami memberi Presiden Bush gigi yang lebih tajam dan lebih kuat," kata Lindsey Graham, senator Partai Republik yang mempersiapkan rancangan ini.
RUU ini digodok sejak September lalu—tak lama setelah tragedi 11 September terjadi. Pada akhir Januari rancangan ini dimasukkan ke Kongres. Partai Republik melalui duet senator Lindsey Graham dan Porter Goss memang berkeras agar undang-undang ini bisa gol. Soalnya, Partai Republik menilai aksi perang melawan terorisme yang digelar Presiden Bush—yang juga berasal dari Partai Republik—tidak bergigi. AS tak memiliki undang-undang yang punya kekuatan untuk mengintervensi publik Amerika, apalagi masyarakat internasional.
Masyarakat internasional? Begitulah. Dalam salah satu pasal RUU ini dikatakan, Presiden Amerika memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi politik, termasuk embargo ekonomi, kepada negara yang tak mendukung perang terhadap terorisme. Sebelumnya, embargo seperti itu baru bisa efektif jika disetujui PBB. Kecuali itu, pemerintah juga diberi hak untuk membekukan aset warga atau pemerintah negara asing yang berada di AS, jika orang atau pemerintah itu dicurigai terlibat terorisme.
Tapi negeri yang dijuluki sebagai kampiun demokrasi ini ternyata bisa begitu tak menghargai asas praduga tak bersalah ketika menentukan seseorang atau sebuah negara membantu teroris atau tidak. Keputusan untuk itu, kata RUU tersebut, sepenuhnya berada di tangan Presiden AS. Pembuktian melalui pengadilan tidak dibutuhkan.
Memang, dalam RUU ada juga pasal yang menyatakan tuduhan bersalah bisa saja dicabut setelah usul pencabutan itu disetujui Kongres. Tapi, apa pun alasannya, AS sudah merencanakan menerapkan kebijakan jatuhkan sanksi dulu, urusan kemudian. Karena itu, Partai Demokrat meradang. Bukan karena partai seteru Bush di parlemen itu tak setuju Partai Republik memberi senjata hukum kepada Bush, melainkan karena Demokrat menilai kebijakan Bush memerangi terorisme dianggap sudah kelewat batas.
Contoh yang kelewat batas itu, misalnya, Kamis pekan lalu Departemen Pertahanan meminta Kongres menyetujui bujet perang tak terbatas terhadap terorisme, yang nilainya—tak tanggung-tanggung—US$ 379 miliar atau sekitar Rp 3.790 triliun. Menurut Robert C. Byrd dari Partai Demokrat, jika bujet itu di-setujui, diperkirakan anggaran belanja AS akan defisit hingga US$ 350 miliar.
Selain itu, program memerangi terorisme tersebut juga dinilai tak jelas fokusnya. "Ini perang yang tak jelas. Jika kita berharap bisa menghabisi teroris di seluruh dunia, kita akan terus berperang sampai kiamat," kata Byrd.
Sikap Bush yang sangat keras hingga melupakan prinsip-prinsip demokrasi setelah menyatakan perang melawan terorisme, ternyata bukan sekadar untuk menaikkan citranya di dalam negeri. Ia mungkin berniat menegaskan lagi bahwa AS benar-benar polisi dunia. Atau, ini semua sekadar strategi menangkap—hidup atau mati—Usamah bin Ladin, yang dituduh AS sebagai biang kerok terorisme terhadap Amerika?
Arif Zulkifli (Washington Post, New York Times, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo