Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari lantai dua sebuah rumah berwarna putih di kawasan Reporto Nautica, Playa, laki-laki tua itu seolah selalu kembali ke masa silam. Melalui pintu yang terbuka lebar ke tepian Laut Karibia, Widodo Suwardjo—pemilik rumah itu—menatap jauh ke ujung horizon, pada suatu petang. Pikirannya terbang ribuan mil di atas deru ombak Karibia menuju Desa Nanggalan, Trowulan, Mojokerto—kampung halamannya. Puluhan tahun berdiam di Havana, pria ini bisa me-nemukan kepingan-kepingan kampung halamannya di atas dinding rumah yang kusam. Dalam satu pigura cokelat tua, doktor metalurgi lulusan Soviet ini memasang lukisan rumah bambu di sebuah kampung yang ber-tepikan sebatang sungai. "Gambar ini mengingatkan saya pada desa kelahiran saya Mojokerto sana," ujarnya kepada TEMPO.
Widodo Suwardjo, 62 tahun, adalah satu dari lima buangan politik Indonesia yang belum memperoleh kembali kewarganegaraannya sejak kejatuhan Orde Lama pada 1965. Mereka menetap di Kuba selama sekitar 30 tahun terakhir. Mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari pasang-surut sejarah Indonesia di Kuba—dua teman lama yang usia hubungannya kini menjelang empat dasawarsa. Kunjungan delegasi DPR RI ke Havana pekan lalu dan kunjungan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, yang akan berlangsung pada Maret ini, adalah bagian dari upaya kedua negara mempererat tali silaturahmi yang sempat retas setelah jatuhnya rezim Orde Lama.
Dalam sebuah jamuan makan malam di Wisma Duta beberapa pekan silam di Havana, yang diselenggarakan Duta Besar RI untuk Kuba, Haridadi Sudjono—saat menyambut kunjungan DPR RI—sekitar 38 warga Indonesia berkumpul. Ini suatu jumlah yang amat kecil dibandingkan dengan 20 ribu lebih warga Indonesia di Los Angeles—belum lagi kalau dihitung di seluruh Amerika Serikat. Kehadiran para tamu di Wisma Duta malam itu seperti merefleksikan "wajah Indonesia" yang khas Kuba: ada korps Kedutaan Besar RI alias warga Indonesia yang resmi, dan ada "kelompok buangan politik" alias warga Indonesia tanpa paspor. Identitas mereka dicabut bersamaan dengan jatuhnya Orde Lama di bawah Presiden Sukarno. "Kami menolak perintah Soeharto agar mengutuk Presiden Sukarno ketika itu. Gila apa? Sampai sekarang pun saya akan tetap menolak siapa pun yang memerintahkan hal itu," ujar Salim, diikuti anggukan kepala dari rekan-rekannya.
"Ada satu hal yang amat kami sesali dari keadaan ini, yaitu ilmu yang kami peroleh dengan susah payah justru harus disumbangkan kepada bangsa lain, dan bukan kepada orang-orang Indonesia," ujar Widodo dan Salim berganti-gantian. Mereka rata-rata memiliki kedudukan mapan. Widodo, misalnya, kini menjadi peneliti senior yang disegani di Pusat Metalurgi Kuba. "Aneh rasanya, saban ke luar negeri untuk bicara soal metalurgi, saya ini mewakili Kuba dan bukan Indonesia," ujarnya berterus terang.
Fenomena para pelarian politik Indonesia di Kuba membawa kita kembali ke zaman Duta Besar A.M. Hanafi (1963-1966) ketika hubungan Indonesia-Havana tengah mesra-mesranya. Suatu ketika, pada Januari 1966, Hanafi bahkan menyerahkan sepucuk surat tulisan tangan dari Bung Karno kepada Fidel Castro, yang disapa Bung Karno dengan "Sahabatku, Fidel". Hubungan kedua pemimpin ketika itu kian dipererat oleh kesamaan cita-cita memerangi "neo-kolonialisme" seperti yang dituliskan sang Presiden dalam surat tersebut.
Empat bulan setelah pertemuannya dengan Castro, Hanafi dicopot dari semua jabatannya menyusul pembersihan besar-besaran oleh Presiden Soeharto setelah kejatuhan Bung Karno dan pemberontakan G30S-PKI. Perubahan yang terjadi di Jakarta tidak diikuti oleh Havana. Dalam status buangan politik, pe-rayaan 17 Agustus yang diadakan mantan duta besar Hanafi di Hotel Riviera, Havana, masih dihadiri sejumlah pejabat tinggi Kuba. Antara lain Raul Roa, Menteri Luar Negeri Kuba ketika itu. Bahkan Che Guavara, pahlawan dan tokoh revolusi Kuba, memerlukan hadir ke perayaan tujuh belasan tersebut.
Harus diakui, "poros" Jakarta-Havana di masa itu jauh lebih mesra ketimbang saat Orde Baru berkuasa. Wakil Ketua Parlemen Kuba, Jaime Crombet Hernandez, saat menerima kunjungan delegasi DPR RI di Gedung Asamblea Nacional del Poder Populer di Havana, pada pekan pertama Februari lalu, mengenang pertemanan Sukarno-Fidel Castro tersebut. Bahkan, bila kita mau bersusah payah keluar-masuk kampung-kampung di Havana, ada saja kaum tua-tua yang masih mengingat masa-masa itu. "Astaga, Anda ini datang dari negerinya Tuan Sukarno?" ujar Jose Miguel da Gomez, 67 tahun, seorang tukang susu di Terminal Bus Nautica. Ia mengaku selalu mengoleksi berita tentang Castro-Sukarno di masa mudanya.
Hubungan bilateral Indonesia-Kuba berawal pada Agustus 1962, ditandai dengan dibukanya kedutaan besar di Jakarta dan Havana. Per-talian kedua negara terbilang hangat, terutama di bidang politik. Kuba mendukung Indonesia untuk mendapatkan Irian Barat (kini Papua) kembali ke pangkuan Indonesia. Namun, kejatuhan Sukarno kemudian mendinginkan pertalian dua sobat lama ini. Kedutaan Besar Kuba di Jakarta "tutup buku" pada 1970, disusul Kedutaan Besar RI setahun kemudian.
Pada 1989, tatkala dilangsungkan Konferensi Menteri Penerangan Negara-Negara Nonblok pada 1989 di Havana, Menteri Luar Negeri Kuba—di masa itu—Roberto Robaina mem-bukakan isi hatinya kepada mantan Menteri Penerangan RI, Harmoko, agar kedua negara sepatutnya menjalin kembali pertalian yang telah lama putus. Tiga tahun setelah pertemuan tersebut, menjelang penyelenggaraan KTT Nonblok X di Jakarta, Kuba membuka kembali kantor kedutaannya di Jakarta. Pada 1995, KBRI Havana dibuka kembali dengan seorang kuasa usaha tetap. Pada Oktober 1999, Presiden Megawati melantik Haridadi Sudjono—doktor ekonomi, diplomat karir, dan bekas dosen—menempati posisi Duta Besar RI di Kuba.
Dalam wawancara dengan TEMPO di kantornya, sebuah gedung bertingkat yang anggun di kawasan Miramar, Haridadi mengatakan, dalam bidang politik, hubungan kedua negara sudah mencapai tahap yang maksimal. "Dalam arti, pencapaian hubungan dari segi politik sudah kita lakukan dengan baik." Yang harus ditingkatkan adalah hubungan ekonomi. Tapi, Haridadi mengakui, dengan kondisi ekonomi Kuba yang sulit, tidak mudah meyakinkan para pengusaha Indonesia tentang peluang yang bisa dibuka di Kuba. Haridadi benar.
Kuba memiliki sejumlah "kendala tradisional" yang membuat pengusaha dari banyak negara—termasuk Indonesia—surut niat sebelum melangkah ke investasi: dari langkanya uang keras (hard currency), embargo Amerika, jarak yang jauh, hingga kebijakan perdagangan dan ekonomi Kuba yang masih diragukan oleh banyak pengusaha RI. Bukan berarti pasal dagang-berdagang ini tak ada sama sekali. Di pasar-pasar Havana, orang bisa menemukan produk-produk Indonesia, seperti sepatu, pakaian, barang pecah-belah, plastik, hingga barang-barang elektronik seperti kulkas, televisi, dan kipas angin. Namun, dagangan ini meluncur ke Havana dan ke kota-kota lain melalui pihak ketiga: Meksiko, Belize, dan Panama.
Catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia juga bukan kabar gembira bagi para pengusaha yang berniat mengadu untung di negeri yang kaya raya akan eksotisme ini: hubungan perdagangan, selain kecil, cenderung menunjukkan penurunan. Contohnya, ekspor RI ke Kuba, yang pada 1998-1999 senilai US$ 6,1 juta (setara Rp 61 miliar pada kurs Rp 10 ribu), turun menjadi hanya US$ 461 ribu. Rupanya, pada periode ini sama sekali tidak ada impor ataupun surplus perdagangan dari pihak Indonesia. Catatan dari Kementerian Perdagangan Luar Negeri Kuba jug menunjukkan realitas penurunan yang drastis: ekspor Kuba ke Indonesia sebesar US$ 16 juta pada 1997-1998 melorot hingga cuma US$ 500 ribu pada tahun berikutnya, dengan gula pasir sebagai komoditi tunggal.
Di luar bidang politik dan ekonomi, Indonesia sebetulnya masih dapat memetik ke-untungan dari negeri yang berpenduduk 11 juta jiwa ini: olahraga. Mengutip ucapan Duta Besar Haridadi, "Atlet-atlet Indonesia bisa menyerap keahlian dan pengalaman para atlet Kuba yang punya reputasi dunia." Bukan rahasia lagi, di negara-negara penganut sistem sosialisme yang mementingkan kesamaan kelas, prestasi di bidang olahraga adalah "tiket istimewa" untuk boleh menyimpang dari "aturan" ini. Castro pernah menghadiahkan sebuah mobil kepada salah satu atlet Kuba yang pernah meraih prestasi internasional.
Alhasil, dalam usia hubungan sepanjang 40 tahun, dengan hubungan politik yang bahkan kalah mesra dengan zaman Sukarno dan hubungan ekonomi yang masih buram prospeknya, olahraga bisa menjadi salah satu alternatif untuk meramaikan arus hubungan Kuba-Indonesia yang senyap. Dua pekan di Havana, TEMPO tak pernah menyaksikan barang satu pun warga Kuba yang mengurus visa ke Ke-dutaan Indonesia. Sebuah suasana yang amat berbeda dengan Kedutaan Meksiko, yang se-pelemparan batu di seberangnya: riuh-rendah oleh para pengantre visa sepanjang pekan.
Hermien Y. Kleden (Havana)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo