Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bak sebuah festival, kawasan The Meadow-tak jauh dari kampus George Square Universitas Edinburgh-penuh sukacita pada akhir pekan dua pekan lalu. Kelompok-kelompok musik beraksi. Banyak anak-anak menempelkan stiker "Yes" ("ya" untuk merdekanya Skotlandia) di wajah dan tubuh mereka.
Meja-meja beragam kelompok terlihat berjajar, lengkap dengan "jualan" masing-masing. Ada pendukung "No", banyak pula pendukung "Yes". Pendukung kedua pihak pun saling kunjung. Menariknya, tak ada baku hantam, tapi justru terbangun diskusi yang hidup di antara anak muda. "Kamu tidak perlu datang, jalan 100 mil ke London, untuk menyampaikan protesmu jika kamu tak suka pada kebijakan pemerintah. Dan belum tentu juga suara kamu didengarkan di London," kata Euan Hill, pendukung "Ya" yang mendatangi gerai "Tidak".
"Jika kamu tidak suka dan tidak setuju, bisa kamu datangi anggota parlemen, wakil rakyat di Holyrood (kantor parlemen Skotlandia)," ujar Hill, yang disambut tepuk tangan beberapa orang muda. "That's brilliant!"
Di sisi lain, aktivis Kelompok Perempuan untuk Kemerdekaan Skotlandia tak kalah berapi-api. Sambil "menjajakan" berbagai barang kampanye, seperti topi, buku, dan selebaran, mereka bersemangat memberikan penjelasan. Seperti Sho Da ketika ditanya tiga alasan kenapa memilih "Ya" dalam referendum pekan lalu. "Masak, hanya tiga alasan? Saya bisa memberikan ribuan alasan," katanya, menantang. "Pertama, meletakkan kembali Skotlandia di tangan mereka yang mumpuni. Kedua, alasan keadilan sosial lebih baik jika Skotlandia merdeka. Ketiga, peluang tak terbatas di negeri Skotlandia yang merdeka."
Di tempat lain, di bawah patung Duke of Wellington di tengah Kota Edinburgh, Elliot Gallager, yang mengenakan tanda "No", dengan cuek berjalan melewati meja-meja pendukung kemerdekaan. Namun, ketika dalam suasana dan lokasi lain, Gallager mendapat masalah akibat pilihannya. Kepada Tempo, pria 48 tahun ini mengisahkan bagaimana ia menerima perlakuan tak enak dari tetangga dan kawannya yang melihatnya seolah-olah orang buangan karena pilihan politiknya.
Semakin mendekati hari-H pemungutan suara pada Kamis pekan lalu, Skotlandia memang sangat "panas". Apalagi potensi pendukung "Ya" memang besar. Berdasarkan survei internal terakhir Partai Nasionalis Skotlandia (SNP), yang pro-kemerdekaan, 54 persen mendukung merdeka dan 46 persen memilih "Tidak". Saat diacungi dua jari tanda kemenangan, Alex Salmond, pemimpin SNP yang juga Perdana Menteri Skotlandia, merespons dengan santun. "Jangan sekarang, nanti beberapa hari lagi," katanya saat ditemui di depan Katedral St Giles di Edinburgh Old Town, beberapa hari sebelum referendum.
Dia layak bersikap demikian. Jajak pendapat oleh Opinium untuk The Observer menunjukkan, 53 persen "Tidak" dan 47 persen "Ya". Demikian juga jajak pendapat Panelbase untuk The Sunday Times, 51 persen "Tidak" dan 49 persen "Ya". Pertarungan memang ketat.
Meski kebanyakan hasil jajak pendapat menunjukkan "Tidak" masih unggul dari "Ya", London panik. Selisih suara dalam jajak pendapat tipis. Berbagai langkah pun dilakukan untuk membujuk rakyat Skotlandia agar tak memilih merdeka.
Tokoh politik penting di London seolah-olah berhamburan ke negeri asal aktor ngetop pemain James Bond, Sean Connery, itu. Misalnya mantan Perdana Menteri Inggris yang berasal dari Skotlandia, George Brown. Saat lebih dari 600 orang sedang khidmat lantaran baru saja mendengarkan penjelasan para panelis dalam acara "The People's Question Time" di Usher Hall di Edinburgh, tiba-tiba Brown dipanggil masuk oleh moderator George Galloway, yang terkenal dalam isu Palestina. Ia segera diberi panggung dalam acara orang-orang "Better Together"-pendukung "Tidak"-yang dihadiri Tempo.
Layaknya berjualan kecap nomor satu, dengan berapi-api, ia menjelaskan beragam "keberhasilan" Inggris Raya atau United Kingdom. Ia pun mengungkapkan keyakinannya bahwa tren dunia saat ini bukan independen atau merdeka, melainkan interdependen. Jadi, yang dibutuhkan adalah deklarasi interdependen, bukan independen. "Ini cara di masa lalu dan begitulah cara di masa depan, interdependen," katanya dengan bersemangat, diikuti tepuk tangan para peserta pertemuan.
Saat itu Brown bahkan sempat melontarkan kisah ketika Ghana menjadi negara merdeka pada akhir 1950-an. Wakil Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, hadir. Mencoba ramah dan gaul, Nixon menyapa beberapa orang Ghana dan menjabat tangan mereka. "Selamat... selamat.... Bagaimana rasanya merdeka, rasanya kebebasan?" Salah seorang yang disalami menjawab, "Wah, kami tidak tahu tuh, kami kan dari Alabama." Alabama adalah salah satu negara bagian di Amerika.
Selain Brown, pada saat yang hampir berimpitan, tiga pemimpin partai politik di London, yakni Perdana Menteri David Cameron dari Partai Konservatif; Ed Miliband, pemimpin Partai Buruh; dan Nick Clegg, pimpinan Liberal Demokrat, berdatangan ke Skotlandia, meski sendiri-sendiri. Ketiganya melupakan sejenak pertempuran politik mereka, bersatu suara agar orang Skotlandia tak memilih merdeka.
"Banyak yang memisahkan kita, tapi satu hal yang kita sama-sama sangat setuju: United Kingdom lebih baik bersama," kata mereka dalam pernyataan bersama, Selasa sebelumnya. "Pesan kami kepada rakyat Skotlandia sederhana: kami ingin kalian tetap bersama kami."
Mereka juga menyetujui "tawaran" Brown yang kemudian menjadi janji mereka bila Skotlandia tak memilih berpisah. Janji ini kemudian dikenal dengan sebutan "The Vow", antara lain memberikan beberapa kewenangan lebih kepada Skotlandia-di antaranya kekuasaan baru di parlemen Skotlandia dan kewenangan Skotlandia menggunakan dana bagi keperluan Pelayanan Kesehatan Nasional, salah satu isu besar dalam referendum pekan lalu.
Di Aberdeen, Senin pekan lalu, dengan suara seperti akan menangis, Cameron meminta rakyat Skotlandia tak meninggalkan United Kingdom. "Patah hati yang mendalam jika kami bangun pada Jumat pagi, ketika itulah saat berakhirnya negeri yang kita sayangi," katanya. Cameron menyatakan dia berbicara atas nama jutaan orang dari Inggris, Wales, Irlandia Utara, dan sebagian di Skotlandia.
Selain itu, Cameron meminta pengibaran bendera Skotlandia di Downing Street, kediaman resmi perdana menteri. Miliband malah menyeru agar bendera Skotlandia dikibarkan di seluruh wilayah Inggris.
Banyak pesohor Inggris juga bersuara. Dikoordinasi aktor Tom Holland dan penyiar Dan Snow, kampanye "Stay with Us (Tetaplah Bersama Kami)" digelar di Trafalgar Square, London.
Ratu Elizabeth II, yang selama ini diam, bahkan akhirnya berbicara. Ia menyatakan harapannya agar rakyat Skotlandia hati-hati dalam menentukan masa depannya.
Kepanikan tentu bukan tanpa alasan yang kuat. Banyak yang khawatir berbagai masalah akan muncul begitu Skotlandia merdeka. Tak hanya buat Skotlandia, tapi juga buat Inggris Raya, terutama dari sisi ekonomi.
Dari jajak pendapat yang dilakukan konsultan Korn Ferry, ditemukan 78 persen pemimpin perusahaan FTSE (Financial Times Stock Exchange) 100 yang menyatakan kemerdekaan akan merusak ekonomi. Hanya sepertiga dari 28 pemimpin perusahaan yang menyatakan mereka siap menerima "Ya".
Gubernur Bank of England Mark Carney mengingatkan soal masalah riil yang bisa timbul, bahwa penyatuan mata uang tak cocok dengan kedaulatan. Ia menolak klaim Salmond bahwa Skotlandia bisa menggunakan pound sterling meski menjadi negara merdeka. Ia mengungkapkan tiga hal yang penting agar penyatuan mata uang berhasil: gerakan modal yang bebas, penyatuan bank, serta kesepakatan fiskal bersama soal pajak dan pembelanjaan.
Hal lain datang dari perusahaan-perusahaan terkemuka Inggris, di antaranya Royal Bank of Scotland Group, BP, dan Kingfisher. Mereka menyatakan akan mengalihkan sebagian bisnis ke Inggris pada saat "perpisahan". Eksekutif perusahaan retail Kingfisher, Ian Cheshire, menjelaskan bahwa kemerdekaan akan berarti berlakunya harga-harga yang mahal dan investasi yang rendah.
"Referendum adalah risiko politik paling menekan yang dihadapi dunia bisnis," kata John Cridland, Direktur Jenderal Konfederasi Industri Inggris.
Sementara itu, kelompok Better Together terus mempromosikan "the best of the two world". Salah satu yang "dijual": Skotlandia akan punya kelebihan 1.400 pound sterling setiap orang guna dibelanjakan pada pelayanan publik dibanding jika Skotlandia memutuskan merdeka. Belum lagi iming-iming bertambahnya pekerjaan.
Alasan-alasan lain berkaitan dengan faktor politik dan keamanan, seperti soal perlindungan dengan kekuatan militer yang besar. Rakyat Skotlandia sudah tahu semuanya dan, pada Kamis pekan lalu, mereka membuat keputusan.
Purwani D. Prabandari (The Guardian, The Telegraph), Maria Pakpahan (Edinburgh, Skotlandia)
Memilih tetap bersatu
Jajak pendapat di Skotlandia selesai dihitung pada Jumat pekan lalu. Sebanyak 55 persen warga memilih tetap bersama Inggris Raya. Dengan demikian, Skotlandia akan tetap menjadi bagian dari negara kerajaan itu.
Jika Inggris Raya tanpa Skotlandia:
Produk domestik kotor per kapita termasuk pendapatan minyak dan gas (pound sterling)
Belanja publik per kapita 2012-2013 (pound sterling)
Nilai ekspor (2012):
Edward I (1239-1307):
Robert the Bruce (1274-1329):
Deklarasi Arbroath (1320):
Dinasti Steward (1371-1714):
Penyatuan parlemen (1707):
Partai Nasional Skotlandia (SNP):
Parlemen Skotlandia (1999):
Pemerintahan minoritas (Mei 2007):
Kesepakatan Edinburgh (Oktober 2012):
Referendum (18 September 2014):
Sumber: MSN/BBC/Graphicnews
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo