Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berangkat dari Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis pagi dua pekan lalu, Hatta Kainang serta tiga rekannya sudah berada di Ibu Kota. Mereka datang jauh-jauh dari kota yang berjarak 719 kilometer dari Makassar itu untuk menyerahkan sebuah petisi kepada Mahkamah Konstitusi. "Kami mewakili belasan tokoh dan kelompok masyarakat di Sulawesi Barat," kata Hatta, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.
Menurut Hatta, petisi tersebut berisi desakan kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera memutus perkara uji materi atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 ayat 1 dan pengujian Pasal 1 angka 4 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pemohon uji materi terhadap dua undang-udang itu meminta Mahkamah Konstitusi mencabut pasal yang mengatur pemilihan kepala daerah secara langsung. Alasannya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Berbeda dengan pemohon, petisi yang dibawa Hatta itu justru meminta Mahkamah menolak permintaan pemohon uji materi tersebut. "Jika diputus, otomatis menghentikan langkah Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengajukan RUU Pilkada," kata Hatta.
Beberapa pekan belakangan ini, wacana penghapusan aturan pemilihan kepala daerah secara langsung memang menjadi perdebatan sengit. Koalisi Merah Putih di DPR mendorong pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah yang isinya mengatur pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta bupati/wali kota dan wakilnya melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah alias pemilihan tak langsung.
Victor Santoso Tandiasa, salah satu pemohon, menuding lambatnya Mahkamah memutus uji materi yang ia ajukan karena Mahkamah memilih menunggu hasil akhir pembahasan RUU Pilkada di DPR. Mahkamah sudah menetapkan menggelar sidang lanjutan uji materi pada Kamis, 25 September 2014. Jadwal sidang itu bersamaan dengan Sidang Paripurna RUU Pilkada di DPR. "Mahkamah ingin menghindari pengambilan putusan sebelum pembahasan selesai di Dewan," kata Victor.
Menurut Victor, sejak mereka mengajukan uji materi dua undang-undang pada akhir Maret lalu, Mahkamah memang terkesan memperlambat proses pengambilan putusan. Sidang, kata dia, baru digelar tiga kali. Dalam sidang terakhir pada awal September lalu, perwakilan pemerintah dan DPR juga tak muncul. "Seharusnya, jika terjadi demikian, Mahkamah memberikan teguran," ujar Victor. Padahal dia berharap putusan Mahkamah diketuk lebih dulu ketimbang pengesahan RUU Pilkada.
Ditanya perihal lambatnya Mahkamah memutus perkara itu, hakim konstitusi Arief Hidayat menegaskan, tak ada batasan waktu Mahkamah dalam memutus sebuah perkara. Arief menolak memberi komentar ihwal tudingan Mahkamah seolah-olah menunggu hasil pembahasan RUU Pilkada. "Karena menyangkut perkara, tidak etis bila saya memberikan komentar," katanya.
Adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi yang menyampaikan permohonan uji materi UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah Pasal 56 ayat 1. Bunyi pasal itu: "Kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil." Adapun Pasal 1 angka 4 UU Nomor 15 Tahun 2011 berbunyi: "Pemilihan gubernur, bupati, wali kota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, wali kota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945."
Selain Victor, yang menjabat ketua umum di Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, empat orang yang mengajukan uji materi atas diri mereka sebagai pribadi adalah Kurniawan, Denny Rudini, Amanda Anggaraini Saputri, dan Hamid Aklis. "Kami memandang kedua aturan ini bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila," kata Victor.
Dalam alasan isi permohonan, mereka memaparkan proses pemilihan kepala daerah dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menyebutkan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota didasari sistem demokrasi. Ketentuan ini merupakan hasil dari amendemen kedua UUD 1945. Pada amendemen ketiga dan keempat, menurut mereka, tidak lagi muncul aturan soal pemilihan kepala daerah. Amendemen selanjutnya mengatur pemilihan umum dalam pasal 22-E ayat 1, yakni pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Amendemen ketiga dan keempat itu, kata Victor, diperjelas lewat pasal 22-E ayat 2, yang menyebutkan pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden.
Dari dasar pasal-pasal dalam UUD 1945 ini, kata Victor, pasal 56 ayat 1 yang menyebutkan pemilihan kepala daerah secara langsung, umum, bebas, dan rahasia adalah hal yang tak berdasar. "Jika pembuat amendemen UUD menginginkan pilkada secara langsung, seharusnya muncul perubahan frasa dalam amendemen ketiga dan keempat," katanya.
Dia menunjuk Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22-E ayat 2. "Pasal 22-E ayat 2 tak menyebutkan pemilihan untuk kepala daerah," katanya. Pengertian demokrasi dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, menurut Victor, seharusnya disinkronkan dengan sila keempat Pancasila yang menyebutkan sistem musyawarah untuk mufakat. "Artinya, bukan berdasarkan pemilihan langsung, melainkan melalui perwakilan," ujar Victor.
Victor menyatakan pihaknya sudah menyiapkan dua saksi ahli dalam sidang mendatang, yakni pakar tata negara Universitas Padjadjaran, Taufiqurrohman Syahuri, dan Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Muhammad Muktasar Syamsuddin. Kepada Tempo, Taufiqurrohman, yang juga komisioner Komisi Yudisial, menyatakan argumen pemilihan kepala daerah yang dianggap bukan rezim pemilu terlihat dalam putusan uji materi Mahkamah Konstitusi mengenai kewenangan menyelesaikan persengketaan pilkada, Mei lalu. Dalam putusan tersebut, Mahkamah menyatakan tak lagi memiliki kewenangan dalam mengadili sengketapemilihan kepala daerah.
Dalam pertimbangannya saat itu, Mahkamah menyatakan wewenang Mahkamah Konstitusi bersifat limitatif. Artinya, terbatas pada apa yang secara tegas tercantum dalam UUD 1945. Pasal 24-C UUD 1945 memang menyebutkan Mahkamah Konstitusi, antara lain, berwenang memutus perselisihan pemilihan umum. Definisi pemilihan umum ini diatur dalam Pasal 22-E UUD 1945, yakni hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden.
Perihal aturan konstitusi dalam pemilihan kepala daerah, pakar hukum tata negara Refly Harun menunjuk pada dua hal. Pertama, asas kedaulatan rakyat ada di tangan rakyat. "Berlangsung proses oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat," katanya. Kedua, kecenderungan model pemilihan perwakilan tidak lagi diakui dengan ditiadakannya kekuasaan tertinggi lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat. "MPR di zaman Orde Baru dianggap sebagai penjelmaan rakyat, tapi kini sederajat dengan lembaga lain," ujarnya. Bila pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, menurut dia, posisi lembaga itu menjadi lebih tinggi dibanding kepala daerah. "Padahal, secara hukum, tidak lagi ada yang lebih tinggi," ujar Refly.
Victor mengakui nasib gugatannya sangat bergantung pada keputusan DPR. Bila Kamis pekan ini Dewan mengegolkan RUU Pilkada, baik isinya memutuskan pilkada langsung maupun tak langsung, kemungkinan besar gugatan mereka akan gugur. "Karena dianggap obyek hukumnya tidak ada," katanya.
Terhadap hasil apa pun di DPR itu, Victor dan kawan-kawan juga sudah menyiapkan dua "skenario" permohonan uji materi. Jikapun Dewan, misalnya, memutuskan pilkada tak langsung, mereka akan menggugat karena masih memakai lembaga komisi pemilihan umum daerah. "Sebab, lembaga itu perpanjangan tangan untuk pemilu saja, bukan pemilihan dengan perwakilan," katanya.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo