Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan pengacara berjejalan di pinggir kolam air mancur Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Bertoga hitam berlengan gombrang, lengkap dengan simare dan bef putih di leher, mereka berkumpul di sana jelas bukan untuk bersidang. Pagi itu, Kamis dua pekan lalu, pengurus dan anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang datang dari berbagai daerah tersebut tengah berunjuk rasa. Mereka menolak Rancangan Undang-Undang Advokat yang tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Peradi memang paling getol menolak RUU Advokat. Mereka sudah melancarkan penolakan sekitar dua tahun lalu, ketika tahu RUU Advokat masuk Program Legislasi Nasional 2012-2014. "Kami sudah enjoy dengan undang-undang sekarang. Rancangan yang dibahas DPR akan merongrong independensi advokat," ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Peradi Otto Hasibuan, Jumat pekan lalu.
Di Badan Legislasi, RUU Advokat tercatat sebagai inisiatif DPR. Rancangan itu digagas sejumlah anggota Komisi Hukum DPR yang berlatar belakang pengacara. Mereka antara lain Ahmad Yani dari Partai Persatuan Pembangunan dan Nudirman Munir dari Partai Golkar. Ketua DPR Marzuki Alie menyampaikan RUU Advokat itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Juli 2013. Presiden pun sudah menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mewakili pemerintah dalam membahas rancangan itu di DPR.
Karena RUU Advokat terus melaju, pada 28 September 2013, Peradi mengirim surat kepada Menteri Amir, yang juga berlatar belakang pengacara. Otto dan rekan-rekan meminta pemerintah menunda pembahasan draf pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat itu. Menurut Peradi, kalaupun Undang-Undang Advokat hendak direvisi, sebaiknya dilakukan setelah DPR merampungkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pada 1 November 2013, Menteri Amir membalas surat Peradi. Intinya, Amir menyatakan sepakat dengan pemikiran Peradi bahwa materi RUU Advokat terkait erat dengan RUU KUHP dan KUHAP. "Sehingga perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam pembahasannya," kata Amir dalam surat itu.
Otto dan kawan-kawan mengira surat balasan Amir itu sebagai "janji" menunda pembahasan RUU Advokat. Ternyata, pada 3 September lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia justru menyampaikan daftar inventarisasi masalah dalam RUU Advokat kepada DPR. Sejak itu, pembahasan RUU Advokat bergulir di panitia kerja yang dipimpin Syarifuddin Suding, politikus dari Partai Hati Nurani Rakyat. "Kami kaget dan kembali bergerak," ujar Otto.
Pembahasan RUU Advokat merupakan buntut panjang dari perseteruan di antara sejumlah tokoh advokat. Sebelum Peradi berdiri-pada 21 Desember 2004-para advokat tersebar setidaknya dalam delapan organisasi. Menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang menganut sistem wadah tunggal (single bar) organisasi advokat, delapan organisasi itu bergabung dalam Peradi. Kendati semua kewenangan mereka diambil Peradi, organisasi lama tak membubarkan diri.
Benih perpecahan menyembul sejak Peradi masih tergolong jabang bayi. Pada 2006, posisi Peradi sebagai wadah tunggal digugat ke Mahkamah Konstitusi. Seiring dengan itu, keterbukaan dalam pengelolaan uang organisasi juga dipertanyakan sejumlah anggota. Kepada Tempo, Otto menegaskan setiap tahun Peradi selalu diaudit akuntan publik. Anggota bisa membaca hasil audit itu, termasuk soal penggunaan uang ujian calon advokat yang totalnya sekitar Rp 11 miliar. "Tak ada yang kami tutupi," kata Otto.
Perpecahan kian mengemuka ketika pada Mei 2008 Majelis Kehormatan Peradi memecat pengacara Todung Mulya Lubis. Pemecatan Todung merupakan buntut dari pengaduan Hotman Paris Hutapea, yang menuduh Todung memiliki konflik kepentingan dalam menjalankan tugas sebagai pengacara.
Pemecatan terhadap Todung ini mengundang perlawanan dari dalam tubuh Peradi sendiri. Wakil Ketua Umum Peradi kala itu, Indra Sahnun Lubis, meminta Todung tak mempedulikan hukuman tersebut. Bersama pengacara senior Adnan Buyung Nasution, Todung dan Indra kemudian memotori berdirinya Kongres Advokat Indonesia (KAI), yang dideklarasikan pada 30 Mei 2008.
Upaya mendamaikan kubu Peradi dan KAI telah dilakukan berbagai pihak. Pada Juni 2010, misalnya, diteken nota perdamaian di depan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Namun perdamaian di atas kertas itu tak benar-benar memadamkan bara perseteruan.
Gugatan demi gugatan terhadap Peradi pun terus mengalir, baik ke Mahkamah Konstitusi maupun ke pengadilan negeri. Tercatat setidaknya 11 gugatan di Mahkamah Konstitusi dan 5 gugatan di pengadilan negeri. Yang digugat terutama seputar "wadah tunggal" dan wewenang Peradi. "Tapi hampir semua gugatan itu gugur," ujar Otto.
Tak menemukan jalan di jalur uji materi undang-undang, Todung dan kawan-kawan mengubah strategi. Sejak 2011, mereka melobi DPR untuk memecah kebuntuan monopoli organisasi. Todung meminta DPR membuka kunci wadah tunggal untuk advokat. Caranya, ya, dengan merevisi Undang-Undang Advokat sehingga memungkinkan lahirnya banyak organisasi (multi-bar).
Dalam RUU Advokat, keran untuk banyak organisasi advokat pun dibuka. Pasal 16 menyebutkan organisasi advokat cukup didirikan 35 orang dengan akta notaris. Nah, kemudahan itulah yang dihujat pengurus Peradi. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi Leonard Simorangkir, dengan syarat yang begitu longgar, bisa lahir ribuan organisasi advokat baru. Pengacara yang dipecat satu organisasi tinggal pindah ke organisasi lain. "Lalu bagaimana mengawasinya?" kata Leonard.
Dari sisi syarat pembentukan memang ada kemudahan. Namun RUU Advokat menetapkan syarat ketat dalam tahap verifikasi organisasi. Hanya organisasi advokat berbadan hukum yang bisa menjalankan fungsi dan wewenang yang diberikan undang-undang. Untuk menjadi badan hukum, organisasi advokat harus punya kepengurusan di semua provinsi dan minimal di 30 persen kabupaten di setiap provinsi. Untuk syarat terakhir ini, Todung yang mendukung pengesahan RUU Advokat pun menganggapnya terlalu berat.
Agar tak kebablasan, menurut Todung, kebebasan membentuk organisasi perlu dibarengi penegakan kode etik. Todung merujuk pada pengalaman di bidang jurnalistik. Kebebasan jurnalis membentuk dan memilih organisasi, saat ini, dikawal kehadiran Dewan Pers yang independen. Dewan Pers antara lain bertugas menetapkan kode etik dan mengawasi pelaksanaannya serta membuat standar untuk meningkatkan profesionalisme wartawan. "Untuk itu, kami usulkan Dewan Advokat Nasional," ujar Todung.
Pasal 40 RUU Advokat menyebutkan Dewan Advokat Nasional berwenang menetapkan kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan kemahiran advokat. Dewan juga menetapkan kode etik dan standar pendidikan profesi advokat. Yang tak kalah penting, dewan ini bertugas pula menyelesaikan kasus kode etik advokat pada tingkat banding. "Advokat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh organisasinya bisa banding di sini," kata Todung.
Toh, Otto dan kawan-kawan melihat usul tentang Dewan Advokat dari sisi berbeda. Mereka melihat ada bahaya di balik usul tersebut. Rancangan itu menyebutkan sembilan anggota Dewan Advokat akan dipilih DPR berdasarkan calon yang diusulkan presiden. "Itu pintu masuk kekuasaan untuk mengintervensi profesi advokat," ujar Otto. Karena itu, kata Otto, penolakan Peradi atas konsep Dewan Advokat merupakan harga mati.
Perdebatan di ruang rapat Panitia Kerja DPR pun ternyata tak kalah alot. "Padahal diskusi belum menyentuh substansi penting," ujar Ketua Panitia Kerja RUU Syarifuddin Sudding. Dua kali rapat pekan lalu di Hotel JW Marriott, Panitia Kerja DPR dan pemerintah belum sama sekali membahas soal single bar versus multi-bar serta soal Dewan Advokat Nasional. Dari sekitar 340 poin daftar inventarisasi masalah yang disorongkan pemerintah, "Kami baru membahas sekitar 60 masalah," kata Syarifuddin.
Semula, Panitia Kerja DPR memasang target RUU Advokat selesai dibahas pada pekan ini, 24 September. Selanjutnya, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna terakhir DPR periode ini, 25 September. Tapi, melihat perdebatan yang selalu panas, Syarifuddin tak mau memaksakan RUU Advokat disahkan periode ini. "Bisa saja dialihkan ke periode nanti," ujarnya.
Jajang Jamaludin
PASAL-PASAL KONTROVERSIAL
Rancangan Undang-Undang Advokat yang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat mengandung sejumlah pasal kontroversial. Pasal-pasal itu diperdebatkan, baik di lingkup internal Panitia Kerja DPR maupun di kalangan organisasi advokat. Berikut ini di antaranya.
STATUS ADVOKAT
Status
Pasal 4
"Advokat berkedudukan sebagai salah satu pilar penegakan hukum…."
Pro: Rumusan ini tak jadi masalah, toh advokat tetap dianggap sebagai bagian dari penegak hukum.
Kontra: Merendahkan profesi advokat, karena dalam undang-undang lama advokat merupakan penegak hukum, bukan hanya salah satu pilar.
Pengangkatan dan Penyumpahan
Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
Pasal 12
(1) Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah atau berjanji menurut agama dan kepercayaannya yang dipimpin oleh ketua organisasi advokat dengan dipandu oleh rohaniwan. (Sebelumnya, penyumpahan advokat dilakukan pengadilan negeri.)
Pro: Mempermudah prosedur dan memangkas biaya penyumpahan advokat.
Kontra: Penyumpahan bisa jadi serampangan, dikhawatirkan disalahgunakan para makelar kasus yang pura-pura menjadi advokat.
ORGANISASI ADVOKAT
Pembentukan
Pasal 16
(1) Organisasi advokat didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 35 (tiga puluh lima) orang advokat dengan akta notaris.
Pro: Sesuai dengan prinsip kebebasan berserikat, setiap advokat berhak membentuk dan memilih organisasi (sistem multi-bar).
Kontra: Terlalu longgar dan dikhawatirkan memunculkan banyak organisasi advokat abal-abal. Menghapus status Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai wadah tunggal advokat (sistem single bar).
Badan Hukum
Pasal 17
(1) Organisasi advokat harus didaftarkan kepada menteri untuk menjadi badan hukum, dengan syarat memiliki kepengurusan 100 persen dari jumlah provinsi dan paling sedikit 30 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi.
Catatan: Kedua kubu yang pro dan kontra terhadap RUU Advokat menganggap persyaratan ini terlalu berat.
DEWAN ADVOKAT NASIONAL
Pasal 40
Dewan Advokat Nasional antara lain berwenang menetapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan kemahiran advokat; menetapkan kode etik; menetapkan standar pendidikan profesi; menyelesaikan perkara pelanggaran Kode Etik Advokat pada tingkat banding; dan menetapkan pedoman bagi organisasi advokat.
Pro: Dinilai sebagai kemajuan karena ada lembaga independen yang menetapkan kode etik dan standar profesi untuk semua organisasi advokat.
Kontra: Dianggap sebagai kemunduran karena mengambil semua kewenangan eksklusif yang selama ini dimiliki organisasi tunggal advokat.
Pasal 43
Anggota Dewan Advokat Nasional dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh presiden.
Pro: Pengangkatan anggota Dewan Advokat Nasional periode pertama tak mungkin diserahkan kepada organisasi advokat karena akan terus bertengkar.
Kontra: Campur tangan pemerintah dan DPR akan merongrong independensi organisasi dan profesi advokat.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
(1) Advokat yang telah diangkat sampai dengan tahun 2012 (dua ribu dua belas) dinyatakan sebagai advokat. Penjelasan: mereka adalah advokat yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman, surat keputusan pimpinan lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung, atau surat keputusan organisasi advokat.
Catatan: Kubu pro dan kontra sama-sama menolak ketentuan peralihan yang bakal merugikan semua advokat muda yang baru diangkat setelah 2012.
Sumber: Wawancara dan dokumen RUU Advokat versi Panitia Kerja DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo