Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hak asasi yang tertutup

Di rrc ternyata ada pelanggaran hak asasi. orang yang berani mengkritik pemerintah dianggap sebagai penjahat & dihukum mati, tetapi penguasa peking mengecam pelanggaran hak asasi di uni soviet & taiwan. (ln)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Jimmy Carter duduk di Gedung Putih, soal hak asasi jadi "top hit." Orang pun -- dengan bantuan pers - bertanya di mana saja hak asasi tidak terjamin di dunia ini. Tapi ketika tiba pada tembok besar Cina, orang terbentur. Para wartawan, yang akhir-akhir ini banyak berkunjung ke daratan itu, tidak pula banyak menulis mengenal soal tersebut. Para wartawan atau para tamu yang datang ke sana hanya bisa menyaksikan hal-hal yang oleh pemerintah Peking memang sudah ditata rapi sehelum para tamu datang. Dan supaya orang-orang penting di Peking tidak tersinggung, para wartawan maupun sejumlah tamu yang berkunjung tidak pula acuh terhadap persoalan yang dirahasiakan itu. Konon tamu yang demikian itu amat digemari oleh Peking, dan karena digemari, sering-seringlah sang tamu dapat undangan. Revolusi Kebudayaan Adapun mengenai orang-orang Cina, beberapa ahli kabarnya cenderung percaya bahwa secara naluriah mereka itu sebenarnya bersifat nrimo. Tapi rentetan pemberontakan petani dalam sejarah Cina membuktikan bahwa teori demikian tidak benar. Terbukti kemudian bahwa revolusi komunis terjadi karena ketidak-sabaran orang cina terhadap suatu keadaan yang sudah amat bobrok. Tapi akhirnya terbukti juga bahwa pemerintahan komunis juga tidak pula lepas dari hal-hal yang dirasakan menekan oleh rakyat. Almarhum Mao Tsetung, pemimpin besar bangsa Cina pun melancarkan sebuah revolusi kebudayaan di tahun 1966. Sebelum revolusi kebudayaan berlangsung, Mao telah memperkenalkan suatu bentuk lain dari hak-hak asasi manusia. Lewat gerakan Biarkan Seratus Bunga Berkembang. Mao sebenarnya ingin membuka pintu seluas-luasnya bagi berbagai kebangkitan di tanah Cina. Mao--lewat gerakan itu -- mengundang para cerdik pandai untuk mengeritik partai. Ternyata itu menimbulkan reaksi yang jauh di luar dugaan para pengeritik bukan saja menuntut semacam kebebasan diri kepincangan sosial tapi bahkan mendesak agar di negeri itu ada pemilihan bebas dan rahasia. Ini sudah keterlaluan di mata Mao. Kini setelah Mao pergi, dan para pengikutnya yang paling fanatik nyaris habis disapu, suatu suasana baru sedang berkembang di tanah Cina. Sebenarnya bahkan ketika Mao masih hidup, gejolak ingin bebas itu tidak pernah padam. Hampir 4 tahun silam, misalnya, sebuah poster raksasa berukuran 90 meter, muncul di Kanton. Isinya: mengutuk penguasa yang menyalah-gunakan kekuasaan politik. Tertulis juga pada poster itu: "Rakyat menuntut demokrasi sistim hukum sosialis, hak-hak revolusioner serta hak-hak asasi manusia." Tidak pernah diketahui, apakah tuntutan semacam itu terus menerus muncul. Juga tak pernah diketahui berapa banyak orang yang telah jadi korban karena telah berani mengkritik pemerintah. Yang bisa diketahui oleh dunia luar adalah berita-berita yang dibawa para pelancong keluar dari Cina. Kadang-kadang mereka mendengar atau membaca berita koran atau poster dinding yang mengatakan bahwa "beberapa orang penjahat telah dihukum mati." Ada beberapa petunjuk yang mengungkapkan bahwa para penguasa Cina hingga kini masih menganut formula Mao yang mengatakan 5 persen dari seluruh penduduk Cina masih merupakan "elemen-elemen reaksioner".yang tak punya hak-hak politik. Apabila kita hitung, 5 persen dari 900 juta mallusia berarti 45 juta. Kelas Kambing Tapi tentang jumlah sebenarnya dari kaum "kontra revolusioner" ini, macam-macam perkiraan yang muncul. William Safire dari New York Times mengatakan bahwa jumlah sebenarnya barangkali kurang sedikit dari perkiraan resmi. Ross Munro, wartawan Toronto Globe and Mail - satu-satunya wartawan asing yang berpangkalan di Peking yang berani membuat serentetan tulisan mengenai hak-hak asasi di Cina - memperkirakan sekitar 30 juta manusia Cina dapat dimasukkan ke dalam golongan "petani kaya." Dikatakan demikian karena mereka pernah memiliki tanah yang "agak luas" dan mempekerjakan orang untuk mengolah tanah mereka pada masa sebelum komunis berkuasa. "Petani-petani kaya" ini sekarang termasuk "warga negara kelas kambing. Gaji mereka dikurangi sekitar 20 persen dari pendapatan yang diperoleh "rakyat" untuk pekerjaan yang sama. "Dosa" orang tua diturunkan kepada anak-anaknya. Pendidikan mereka terbengkalai karena untuk masuk sekolah yang paling dasar pun dibatasi. Keluarga mereka tidak boleh mendapat perawatan kesehatan dengan cuma-cuma. Beberapa juta kaum "reaksioner" ini masih berada dalam kam-kam "pendidikan kembali." Akibat tulisan itu, Munro segera harus mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan Peking. Aneh, meski mereka menyepelekan hak-hak asasi, para penguasa Peking masih juga sempat menyerang dengan keras atas hak-hak asasi yang diinjak-injak di Uni Soviet dan di Taiwan. Dan sementara pemerintah Carter cukup keras mengecam pelanggaran hak-hak asasi di Uni Soviet, AS ternyata tidak melakukan tekanan apapun terhadap RRC. Ia hanya meminta agar Peking memberi izin ke pada warganya yang punya sanak saudara di Amerika untuk keluar dari negeri itu dan bergabung dengan keluarganya. Demikian pula sikap pemerintah-pemerintah Barat lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus