SEJAK Jimmy Carter duduk di Gedung Putih, soal hak asasi jadi
"top hit." Orang pun -- dengan bantuan pers - bertanya di mana
saja hak asasi tidak terjamin di dunia ini.
Tapi ketika tiba pada tembok besar Cina, orang terbentur. Para
wartawan, yang akhir-akhir ini banyak berkunjung ke daratan itu,
tidak pula banyak menulis mengenal soal tersebut. Para wartawan
atau para tamu yang datang ke sana hanya bisa menyaksikan
hal-hal yang oleh pemerintah Peking memang sudah ditata rapi
sehelum para tamu datang. Dan supaya orang-orang penting di
Peking tidak tersinggung, para wartawan maupun sejumlah tamu
yang berkunjung tidak pula acuh terhadap persoalan yang
dirahasiakan itu. Konon tamu yang demikian itu amat digemari
oleh Peking, dan karena digemari, sering-seringlah sang tamu
dapat undangan.
Revolusi Kebudayaan
Adapun mengenai orang-orang Cina, beberapa ahli kabarnya
cenderung percaya bahwa secara naluriah mereka itu sebenarnya
bersifat nrimo. Tapi rentetan pemberontakan petani dalam sejarah
Cina membuktikan bahwa teori demikian tidak benar. Terbukti
kemudian bahwa revolusi komunis terjadi karena ketidak-sabaran
orang cina terhadap suatu keadaan yang sudah amat bobrok.
Tapi akhirnya terbukti juga bahwa pemerintahan komunis juga
tidak pula lepas dari hal-hal yang dirasakan menekan oleh
rakyat. Almarhum Mao Tsetung, pemimpin besar bangsa Cina pun
melancarkan sebuah revolusi kebudayaan di tahun 1966.
Sebelum revolusi kebudayaan berlangsung, Mao telah
memperkenalkan suatu bentuk lain dari hak-hak asasi manusia.
Lewat gerakan Biarkan Seratus Bunga Berkembang. Mao sebenarnya
ingin membuka pintu seluas-luasnya bagi berbagai kebangkitan di
tanah Cina. Mao--lewat gerakan itu -- mengundang para cerdik
pandai untuk mengeritik partai. Ternyata itu menimbulkan reaksi
yang jauh di luar dugaan para pengeritik bukan saja menuntut
semacam kebebasan diri kepincangan sosial tapi bahkan mendesak
agar di negeri itu ada pemilihan bebas dan rahasia. Ini sudah
keterlaluan di mata Mao.
Kini setelah Mao pergi, dan para pengikutnya yang paling fanatik
nyaris habis disapu, suatu suasana baru sedang berkembang di
tanah Cina. Sebenarnya bahkan ketika Mao masih hidup, gejolak
ingin bebas itu tidak pernah padam. Hampir 4 tahun silam,
misalnya, sebuah poster raksasa berukuran 90 meter, muncul di
Kanton. Isinya: mengutuk penguasa yang menyalah-gunakan
kekuasaan politik. Tertulis juga pada poster itu: "Rakyat
menuntut demokrasi sistim hukum sosialis, hak-hak revolusioner
serta hak-hak asasi manusia."
Tidak pernah diketahui, apakah tuntutan semacam itu terus
menerus muncul. Juga tak pernah diketahui berapa banyak orang
yang telah jadi korban karena telah berani mengkritik
pemerintah. Yang bisa diketahui oleh dunia luar adalah
berita-berita yang dibawa para pelancong keluar dari Cina.
Kadang-kadang mereka mendengar atau membaca berita koran atau
poster dinding yang mengatakan bahwa "beberapa orang penjahat
telah dihukum mati."
Ada beberapa petunjuk yang mengungkapkan bahwa para penguasa
Cina hingga kini masih menganut formula Mao yang mengatakan 5
persen dari seluruh penduduk Cina masih merupakan "elemen-elemen
reaksioner".yang tak punya hak-hak politik. Apabila kita hitung,
5 persen dari 900 juta mallusia berarti 45 juta.
Kelas Kambing
Tapi tentang jumlah sebenarnya dari kaum "kontra revolusioner"
ini, macam-macam perkiraan yang muncul. William Safire dari New
York Times mengatakan bahwa jumlah sebenarnya barangkali kurang
sedikit dari perkiraan resmi. Ross Munro, wartawan Toronto Globe
and Mail - satu-satunya wartawan asing yang berpangkalan di
Peking yang berani membuat serentetan tulisan mengenai hak-hak
asasi di Cina - memperkirakan sekitar 30 juta manusia Cina dapat
dimasukkan ke dalam golongan "petani kaya." Dikatakan demikian
karena mereka pernah memiliki tanah yang "agak luas" dan
mempekerjakan orang untuk mengolah tanah mereka pada masa
sebelum komunis berkuasa.
"Petani-petani kaya" ini sekarang termasuk "warga negara kelas
kambing. Gaji mereka dikurangi sekitar 20 persen dari pendapatan
yang diperoleh "rakyat" untuk pekerjaan yang sama. "Dosa" orang
tua diturunkan kepada anak-anaknya. Pendidikan mereka
terbengkalai karena untuk masuk sekolah yang paling dasar pun
dibatasi. Keluarga mereka tidak boleh mendapat perawatan
kesehatan dengan cuma-cuma. Beberapa juta kaum "reaksioner" ini
masih berada dalam kam-kam "pendidikan kembali." Akibat tulisan
itu, Munro segera harus mengemasi barang-barangnya dan
meninggalkan Peking.
Aneh, meski mereka menyepelekan hak-hak asasi, para penguasa
Peking masih juga sempat menyerang dengan keras atas hak-hak
asasi yang diinjak-injak di Uni Soviet dan di Taiwan. Dan
sementara pemerintah Carter cukup keras mengecam pelanggaran
hak-hak asasi di Uni Soviet, AS ternyata tidak melakukan tekanan
apapun terhadap RRC. Ia hanya meminta agar Peking memberi izin
ke pada warganya yang punya sanak saudara di Amerika untuk
keluar dari negeri itu dan bergabung dengan keluarganya.
Demikian pula sikap pemerintah-pemerintah Barat lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini