Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pak Kepala Sekolah Dituduh

Chalid abubakar ma, kepsek sma xxi dituduh melakukan pungutan liar, murid baru diwajibkan membeli meja & kursi sendiri untuk mengisi ruangan yang masih kosong. opstibda jaya menangani masalah ini. (pdk)

4 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA pungli hangat lagi, ketika minggu ketiga Januari lalu, Letkol Anas Malik, Kepala Humas Opstibda Jaya, menuduh Kepala SMA XXI telah melakukan pungutan liar. Pungli itu, menurut Anas Malik yang membeberkannya lewat pers, berupa pembebanan kepada orang tua calon murid sebesar Rp 25 ribu. Uang itu harus dibayar untuk memperoleh formulir pendaftaran murid baru. "Yang terang, pungutan diambil sebelum calon murid diterima di sekolah itu. Tindakan ini jelas bertentangan dengan hukum," kata Anas Malik. Dan Anas juga menyebutkan diberhentikannya Kepala Sekolah itu dari jabatannya. Namun sehari kemudian, muncul bantahan dari yang bersangkutan. Chalid Abubakar MA, Kepala Sekolah SMA XXI itu membantah dirinya diberhentikan sementara dari jabatannya. Memang benar pernah Opstibda Jaya untuk diminta keterangannya sekitar persoalan sumbangan meja dan kursi dari orang tua murid. Dan dijelaskan sumbangan tersebut diperoleh dari siswa yang telah dinyatakan diterima. Bahkan untuk persoalan ini telah diadakan pertemuan dengan Badan Pembantu Pembinaan Pendidikan (BP3) dan dengan orang tua murid baru kelas I. Ternyata, katanya, tak ada orang tua murid yang tidak rela menyediakan meja dan kursi itu, mengingat barang-barang tersebut untuk keperluan sekolah. Penjelasan Kepala Sekolah itu kemudian diperkuat dengan lampiran fotoopy sebuah kwitansi atas nama Elfia Susanti, sebuah perusahaan mebel di Jakarta Timur. Eh, Ada Yang Lapor Ridwan, dari bagian Tata Usaha sekolah yang merangkap sebagai sekretaris panitia penerimaan murid baru, membenarkan Kepala Sekolahnya. Tadinya yang diterima di SMA XXI hanya 200 murid baru. "Tapi ada 45 murid lainnya yang sanggup membeli sendiri meja dan kursi, sebagai syarat bisa diterima. Jumlah itu bisa diterima karena memang ada ruangannya," ucap Ridwan. Tapi sumbangan itu memang bukan keputusan panitia penerimaan murid baru, melainkan merupakan kebijaksanaan Kepala Sekolah. "Eh, tahu-tahu ada yang melaporkan bahwa itu pungli," tambah Ridwan lagi. Menurut Ridwan, pasti yang melaporkan itu salah seorang dari panitia, dan salah seorang dari orang tua murid. Dan Ridwan yang merasa bahwa akibat pemberitaan ini memburukkan nama sekolah, menuduh si pelapor itu bisa menjadi duri dalam daging. "Saya akan bayar pada orang yang mau menunjukkan nama si pelapor itu," katanya, "Akibat berita itu para murid juga menanggung beban mental, karena dianggap anak murid sekolah pungli." Sementara itu M. Yoesoef KM, Ketua BP3 SMA XXI, berpendapat BP3 tidak campur tangan dalam hal penerimaan murid baru. "Tapi kalau ke 45 orang tua murid itu rela menyumbangkan meja dan kursi masa disebut pungli," katanya. Dan Yoesoef memang mendengar ada orang tua murid yang anaknya tidak diterima di SMA XX1 melapor soal sumbangan itu ke Laksusda. Namun bagi Anas Malik yang ditemui kembali oleh Syarif Hidayat dari TEMPO, soalnya tetap. "Kalau sumbangan itu dirundingkan dengan para orang tua murid setelah si calon murid itu diterima, itu betul. Tapi ini kan minta bangku dan meja dulu baru dapat diterima di sekolah, itu salah," ucap Anas Malik. Dan Kepala Humas Opstibda Jaya itu mengakui berita diberhentikannya Kepala Sekolah itu salah. "Yang benar Kepala Sekolah itu masih dalam pemeriksaan. Tapi soal pungli itu betul," kata Anas. Komisi 10% Adakah pungli yang dmaksud Anas Malik menyangkut juga permainan harga meja dan kursi? Dalam bantahannya, Chalid Abubakar menyebutkan uang sumbangan meja dan kursi itu tidak diberikan ke sekolah. Melainkan hanya diminta kepada orang tua murid untuk menyediakan sebuah kursi dan meja. Tapi Haji Mahbub yang memiliki perusahaan mebel, mengakui memperoleh pesanan dari SMA XXI dengan harga Rp 25 ribu untuk sebuah meja dan sebuah kursi. "Tapi sebagai pedagang, kami mempunyai kebiasaan untuk memberikan kornisi 10%," katanya kepada Syarif Hidayat dari TEMPO, "soal siapa yang akan menerima komisi itu, ya urusan merekalah." Sampai kini belum jelas apakah kasus itu termasuk pungli atau bukan. Anas Malik tetap mengatakan pungli. Tapi Chalid Abubakar membantahnya. Ketika akan ditemui TEMPO kembali, Chalid menolak memberikan keterangan. Karena, katanya, berita bantahan yang dikirimkannya ke koran-koran, sudah mendapatkan teguran dari Kanwil P&K Jakarta. "Padahal dalam hati, saya kepingin betul mengungkapkan persoalan ini. Siapa sih yang tak panas dituduh pungli," katanya. Menurut Kepala Sekolah itu, sesuai dengan teguran Kanwil P&K, yang berhak membantah hanya Humas Kanwil P&K. Tapi repotnya Ending Karmadi, Kepala Humas Kanwil P&K, ketika dihubungi TEMPO cuma menjawab "no comment." Malah menyilakan untuk menghubungi Anas Malik kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus