Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hantu stalinisme masuk lithuania

Presiden uni soviet mikhail gorbachev kini menghadapi masalah. lithuania tetap mempertahankan kemerdekaannya walaupun digertak dengan tank dan senapan. Amerika menuntut penyelesaian lewat dialog.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HANTU Stalinisme gentayangan di Kremlin, bayangan hitamnya kini menuju ke arah barat," kata Presiden Vytautas Landsbergis, awal pekan ini. Itulah puncak kejengkelan profesor musikologi yang terpilih jadi presiden republik (baru) Lithuania. Republik yang tak direstui Moskow, dan karena itu pekan lalu sejumlah tank dan panser menderu masuk Lithuania. Ketegangan segera menjalar keluar. Swedia, negeri yang dipisahkan oleh Laut Baltik dengan Lithuania, pada Sabtu itu pula menyiapkan penampungan bagi pengungsi Lithuania. Pemerintah Stockholm, ibu kota Swedia, meramalkan, setelah masuknya pasukan Soviet ke Lithuania, bakal ada pengungsian besar. Sejumlah kapal sudah ditugasi beroperasi di kawasan bebas Laut Baltik, siap melakukan pertolongan. Mungkin, Pemerintah Swedia berpikir, sebijaksana-bijaksananya Gorbachev, insiden yang bisa menjadi kerusuhan besar bukannya mustahil terjadi. Saat ini Presiden Mikhail Gorbachev mestinya sedang puyeng sekaligus jengkel. Pemerintahan baru Lithuania tetap ngotot untuk memerdekakan diri. Bahkan Minggu pekan lalu, Partai Komunis Republik Estonia, negeri Baltik yang lain, menyatakan cerai dari induknya -- Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Persis seperti dilakukan oleh Partai Komunis Lithuania pada Desember tahun lalu. Sementara itu, bentrokan fisik antara etnis Azerbaijan dan Armenia memanas lagi. Kabarnya, pekan lalu, bentrokan itu menewaskan 11 orang. Gilanya, bentrokan maut itu tak lagi cuma menggunakan senapan berburu. Bom waktu dan artileri ikut menyalak. Para pembangkang itu seperti tak takut meski Gorbachev sudah mulai unjuk taring, yang telah membuat seluruh Lithuania dicekam ketakutan. Menjelang Sabtu subuh pekan lalu, seratus kendaraan angkut militer berlapis baja diperintahkan menuju gedung parlemen di pusat Kota Vilnius, ibu kota Lithuania. Saat itu, gedung itu sedang riuh oleh perdebatan para wakil rakyat yang dibuka sejak malam sebelumnya. Tanpa basa-basi, 1.500 tentara berhamburan dari perut mesin-mesin perang itu. Mereka langsung mengepung dan menyerbu ruang sidang. Perdebatan pun kontan terhenti kendati sudah hampir menghasilkan sebuah resolusi. Para wakil rakyat itu dipaksa pulang ke rumah masing-masing. Secara politis, penggerebekan itu memang tepat. Sebab, bila tak keburu dihentikan, sebuah undang-undang darurat Lithuania akan lahir, dan bisa berdampak sangat besar di kancah politik internasional. Undang-undang darurat itu memberikan hak penuh kepada perwakilan diplomatik Lithuania di Washington untuk mengambil alih semua wewenang eksekutif, jika Moskow berhasil memberangus kabinet Presiden Vytautas Landsbergis. Tak pelak, Landsbergis berang. Aksi penggerebekan itu dia jawab dengan mengirimkan pesan teleks kepada Gorbachev, disertai sebuah pernyataan kepada para wartawan, "Ini perang urat saraf, tekanan psikologis, dan penghinaan terhadap rakyat Lithuania." Sementara itu, helikopter Soviet meraung-raung di udara sambil menebarkan selebaran berisi dekrit Gorbachev agar Lithuania kembali ke pangkuan Moskow. Pihak Moskow ternyata tak bergeming. Semua wartawan asing tetap diperintahkan meninggalkan Lithuania. Demikian pula para diplomat, seperti dialami oleh dua diplomat yang dikirim oleh konsulat AS di Leningrad. Hanya mereka yang punya izin tinggal boleh tetap di sana. Hari itu, nyali ribuan prajurit keturunan Lithuania yang sudah keburu membelot juga digoyang. Yaitu dengan mengumumkan bahwa tenggat (deadline) bagi para pembelot untuk kembali ke kesatuan masing-masing tetap hari Sabtu. Disertai unjuk kekuatan, dengan meningkatkan patroli, sebagai isyarat bahwa perburuan besar-besaran terhadap para prajurit pembelot dimulai. Pembelotan para prajurit itu dimulai sejak parlemen Lithuania mengumandangkan proklamasi kemerdekaan 11 Maret lalu. Mereka, yang datang dari berbagai penjuru Uni Soviet, kebanyakan mengaku merasa berkewajiban untuk membelot agar bisa ikut membela kemerdekaan tanah air. Tapi ada pula yang sekadar merasa tak berkewajiban lagi ikut membela Soviet, karena telah menjadi warga Lithuania merdeka. Sebelum tenggat tiba, sudah 900 pembelot ditangkap. Kini, perburuan itu diarahkan kepada sekitar 2.000 pembelot lainnya yang bertebaran di seluruh negeri. Ahad kemarin di Vilnius seorang prajurit berkata kepada seorang koresponden surat kabar Jepang Asahi Shimbun yang masih bisa keluyuran di negeri yang tegang ini: "Saya tak ingin kembali ke kesatuan Soviet." Hari itu, menurut koresponden tersebut, rasanya seperti hari Minggu biasa, seolah tak ada tentara dan kendaraan lapis baja Soviet berkeliaran. Hanya di depan Markas Besar Pemerintahan Lithuania, tampak antrean panjang. Tanpa takut, orang-orang itu antre mendaftar sebagai tentara sukarela, tak mengacuhkan tentara Soviet. Sebuah rumah sakit jiwa, di sebelah timur Vilnius, dijadikan penampungan para desertir. Di situ palang merah membuka klinik. Tapi sampai awal pekan ini hanya sekitar 30 pembelot datang berlindung, padahal disediakan tempat buat 400 orang. Rupanya, mereka yang dituduh melakukan desersi itu, sesuai dengan saran Landsbergis, banyak minta perlindungan pada gereja. Hanya sebagian kecil yang ngumpet di tempat lain. Itulah usaha maksimum Landsbergis. Gereja memang merupakan kekuatan di bawah tanah. Sebelum Lithuania jatuh ke Pemerintah Soviet, gereja Katolik banyak berdiri di sini. Kemudian, orang Lithuania mesti menyaksikan satu per satu gerejanya diruntuhkan, atau diubah menjadi bukan tempat ibadah. Sebuah gereja di sebuah desa malah dijadikan penjara. Pemerintah Lithuania rupanya berupaya mempertahankan para desertir. "Kami tak akan mengorbankan anak-anak kami," ujar Cesoslav Stankevicius, deputi ketua parlemen Lithuania, beberapa jam sebelum Sabtu lalu berakhir. Memang, bila mereka kembali ke kesatuan, risiko amat besar. Selain adanya mahkamah militer, mereka juga harus siap menghadapi bogem mentah dari rekan-rekan yang merasa dikhianati. Kekhawatiran itu tentu saja berpangkal pada pengalaman sejumlah pembelot. Mereka mengaku, sebelum membelot, dikeroyok oleh rekan-rekan dari suku lain, terutama Rusia. Mereka dihajar sekaligus dicaci, "Orang Lithuania bangsat!" Tapi murka Gorbachev dianggap sebagai kesempatan emas oleh kaum komunis kolot. Maka, tak lama setelah penggerebekan gedung parlemen, mereka menduduki markas besar partai komunis. Dengan alasan untuk melindungi semua kepentinganan Soviet, sesuai dengan perintah Moskow. Kaum kolot itu, sejak Partai Komunis Lithuania menyatakan cerai kepada PKUS, beberapa bulan lalu, hanya kebagian ruang kecil di markas tersebut. Mereka tak kuasa menyangkal klaim kaum prokemerdekaan sebagai pemilik sah. Pendudukan itu ternyata dianggap belum cukup memuaskan. Kaum kolot itu lalu minta bantuan militer untuk menduduki gedung-gedung partai lainnya. Dan dikabulkan oleh Jenderal Valentin Varennikov, panglima angkatan darat Soviet di Lithuania. Maka, Minggu pagi pekan lalu, Institut Marxisme-Leninisme Lithuania dan Sekolah Tinggi Partai, yang dikenal sebagai markas kaum pro-kemerdekaan, diduduki oleh pasukan para. Emosi Landsbergis langsung memuncak. Apalagi terbetik kabar, sasaran berikut pasukan penyerbu itu adalah gedung parlemen. Hari itu, dia sampai dua kali menelepon Varennikov. Tapi sang jenderal menolak menemui Landsbergis. Dia hanya mengirimkan, menurut radio BBC London, tiga perwira untuk merundingkan soal pendudukan dengan Landsbergis. Sayang, tak jelas bagaimana jalannya perundingan hari itu. Yang pasti, malam harinya, suara Landsbergis berkumandang lewat stasiun radio Vilnius. Dari mulutnya berhamburan kecaman keras terhadap Soviet. Pendudukan atas kompleks perkantoran pemerintah dan parlemen, katanya, "sebagai watak asli Partai Komunis Uni Soviet yang suka menggunakan tentara dan tangan besi." Landsbergis juga mengisyaratkan bahwa penyerbuan Soviet terhadap Hungaria dan Cekoslovakia bisa saja terulang di Lithuania. Dalih untuk melakukan penyerbuan itu sudah dibuat, dengan menimbulkan kesan bahwa Lithuania sedang membangun angkatan bersenjata. Sebuah kesan yang bisa dijadikan alasan oleh Soviet untuk melakukan penyerbuan. Meski demikian, kesan Soviet mungkin ada benarnya. Sebab, pekan lalu, Pemerintah Lithuania melakukan mobilisasi umum. Setiap orang dewasa diminta mendaftarkan diri untuk menjadi anggota milisi. Mereka diminta membawa segala macam senjata yang dimiliki. Hasilnya, terbentuklah satuan-satuan milisi bersenjatakan senapan berburu. Selintas, milisi itu memang tampak sangat lemah. Jelas bukan tandingan pasukan Soviet. Tapi, di balik itu, mereka menyimpan pontensi besar sebagai pasukan yang tangguh. Kekuatan mereka bisa terkatrol berkali lipat bila mendapatkan bantuan militer dari pihak ketiga, dan punya nyali besar menjadi gerilyawan. Maka, bila hal itu tak segera diselesaikan, Soviet harus bekerja lebih keras untuk mematahkan perjuangan mereka. Kata seorang bapak dua anak, yang ikut mendaftar, "Mengapa saya harus ambil risiko? Semata karena saya mencintai Lithuania." Sebenarnya, Sabtu pekan lalu, pasukan milisi itu harus sudah menyerahkan seluruh senjata yang dimiliki. Ternyata, mereka tak mau menuruti perintah itu meski juga tak bisa dikatakan membangkang. Mereka menghilang begitu saja dari muka umum. Tapi, sungguh di luar dugaan kebanyakan orang, Moskow ternyata tak cuma mengincar para pendukung kemerdekaan. Kaum komunis kolot pro-Moskow ternyata juga akan digilas. "Semua orang komunis telah memecah belah partai. Saya mau mengirim mereka ke kamp-kamp tahanan atau penjara," ujar Varennikov. Wah. Apakah itu isyarat bahwa Moskow bakal segera menggunakan kekerasan? "Tidak," kata Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnadze, Senin pekan ini, di sela kunjungannya di Nigeria. Moskow, katanya lagi, hanya memakai dialog sebagai senjata untuk menghadapi semua persoalan di dalam dan di luar negeri. Inilah sebabnya mengapa para pengamat lebih suka menyebut krisis di Lithuania sekadar sebagai perang urat saraf. Hanya satu hal yang bisa memancing Moskow melakukan tindak kekerasan. "Bila kehidupan telah terancam," kata Gorbachev Senin pekan ini, kepada senator AS Edward Kennedy, dalam pertemuan mereka di Moskow. Bagaimana bentuk ancaman yang dimaksud, tak dijelaskan. Maka, kartu "as" yang masih paling mungkin dipakai untuk menghantam perjuangan kaum separatis adalah blokade ekonomi. Bila Moskow menutup jalur suplai bahan bakar, kata Perdana Menteri Lithuania Kazimiera Prunskierne, "Itu benar-benar ancaman." Bagaimana tidak, musim semi sudah hampir tiba sehingga traktor harus beroperasi di ladang-ladang pertanian. Ingat, sebagian besar kebutuhan bahan bakar Lithuania dipasok oleh Soviet. Karena itu, meski Moskow belum menunjukkan gelagat akan melakukan tindakan menakutkan, Prunskierne telah mengontak negara-negara sahabat di Eropa Barat. Dan gayung sudah bersambut. Menurut Prunskierne, negara-negara Skandinavia telah menawarkan diri menjadi pengganti peran Soviet. Sementara itu, Kongres dan Senat AS mendesak Presiden Bush agar AS lebih tegas bersikap dalam menghadapi krisis di Lithuania. Sejumlah senator malah mengusulkan agar AS segera mengakui kemerdekaan negeri itu. Toh AS tak pernah mengakui keanggotaan Lithuania dalam Uni Soviet sehingga tak pernah menutup konsulat Lithuania di Washington. Minggu pekan lalu, Menteri Pertahanan AS Dick Cheney memperingatkan, penggunaan kekerasan di Lithuania bisa berakibat buruk bagi hubungan antara kedua negara superkuat. Cheney menuntut agar masalah Lithuania dituntaskan lewat dialog. Sayang, Cheney tak menyinggung soal pertemuan puncak Bush-Gorbachev pada Juni mendatang. Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ikut bereaksi. Minggu pekan lalu, sejumlah kapal perang NATO berlayar di laut bebas, sangat dekat dengan zone Soviet. Tampaknya, tindakan ini untuk memantau setiap gerakan militer Soviet di seputar dan dalam Lithuania. Rangkaian peristiwa di atas agaknya dianggap sebagai contoh buruk oleh kaum nasionalis di dua republik Baltik lainnya -- Estonia dan Latvia -- yang memutuskan untuk tak bersikap konfrontatif. Demikian pula dengan Partai Komunis Estonia, yang telah menyatakan bebas dari Moskow. Anggota yang pro-Moskow tak disingkirkan, seperti terjadi di Lithuania. Mereka diberi kesempatan enam bulan untuk mendaftarkan diri. "Kami lebih hati-hati ketimbang orang Lithuania," ujar Uno Masaikas, redaktur TV Estonia. Sedangkan sasaran terakhir yang hendak dicapai sama saja. Yaitu kemerdekaan Estonia. Dan bagaimana cara kaum komunis nasionalis itu mencapai sasaran, akan sangat ditentukan dalam kongres pertama partai baru itu, Oktober mendatang. Dengan kata lain, Estonia lebih suka mengikuti jalur konstitusional. "Pertama, kami akan berunding dengan Soviet untuk mengambil keputusan politik," tutur Henry Suva, pembantu kepala ideologi partai komunis. Dalam kasus Lithuania, proklamasi kemerdekaan hanya diputuskan lewat pemungutan suara di parlemen. Tak ada referendum dan perundingan dengan Moskow. Sebuah tindakan yang bertentangan dengan undang-undang tentang hak memisahkan diri yang disahkan parlemen dua pekan lalu. Dalam undang-undang ini, setiap republik yang hendak memisahkan diri harus menyelesaikan semua masalah keuangan dan pemilikan harta dengan Moskow, sebelum melakukan referendum. Undang-undang ini ditolak Pemerintah Lithuania. Dengan alasan, undang-undang itu lahir setelah Lithuania menyatakan kemerdekaan diri. Selain itu, menurut wakil Lithuania di parlemen, Bapak Pendiri Soviet, Lenin, pernah memerdekakan Lithuania tanpa prasyarat apa pun. Memang, Lenin adalah orang yang membebaskan kawasan Baltik dari cengkeraman kekaisaran Rusia, setelah ia berhasil memenangkan Revolusi Bolsyewik. Stalin-lah yang memasukkan kawasan itu ke dalam Uni Soviet. Berbeda dengan di Estonia, kaum nasionalis di Republik Latvia tampaknya mulai terpancing untuk mengikuti jejak rekan mereka di Lithuania. Menurut Presiden Front Rakyat Latvia Dannis Ivans, langkah pertama yang akan diambil oleh parlemen mendatang adalah melakukan pemungutan suara untuk menentukan kemerdekaan Latvia. Menurut rencana, pemungutan bersejarah ini akan dilakukan dalam enam pekan mendatang. Sesungguhnya, kesempatan untuk menyelesaikan persoalan dengan dialog memang masih terbuka sangat lebar. Apalagi, pekan lalu, sebagian besar orang yang ditunjuk Gorbachev menjadi anggota kepresidenan bergaris moderat -- antara lain Menlu Eduard Shevardnadze dan Ketua KGB Vladimir Kryuchkov. Lembaga ini baru dibentuk pekan lalu, berfungsi sebagai perancang kebijaksanaan pemerintah. Mungkin antara lain karena keanggotaan lembaga itu kaum konservatif dan radikal berang. Mereka meramal kebijaksanaan Gorbachev hanya akan menyebabkan Soviet tercabik-cabik oleh separatisme dan kapitalisme. Sedangkan bagi kaum radikal, Gorbachev bakal segera tumbang karena perkembangan masyarakat jauh lebih cepat ketimbang ide-ide pembaruannya. Kedua kelompok ini tak mengada-ada. Contoh sudah di depan mata: proklamasi kemerdekaan Lithuania. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus