MIKHAIL Gorbachev memang bukan Deng Xiaoping. Dia belum pernah terbukti tega melakukan pembantaian masal terhadap rakyatnya sendiri. Sebaliknya, dia malah kondang sebagai tokoh pembaru yang membuka pintu kebebasan berpendapat di Soviet. Dia juga tak menganggap komunisme sebagai kebenaran mutlak, sehingga layak menjadi penguasa tunggal. Sementara itu, Deng, yang kini pensiun, meninggalkan kemenangan berdarah bagi Partai Komunis Cina. Tahun lalu, dia berhasil mematahkan gerakan demokrasi terbesar dalam riwayat politik RRC dengan pembantaian terhadap ratusan mahasiswa di Lapangan Tiananmen. Kaki tangan Deng kemudian bergerak ke seantero negeri, memburu para dedengkot gerakan pro-demokrasi. Mereka diperlakukan sebagai penjahat. Dosa utama mereka, menurut Deng, membahayakan pilar-pilar komunisme. Pasalnya, mereka juga menghendaki pembaruan politik agar RRC menegakkan demokrasi. Sejauh ini, Gorbachev memang sukses dalam berpolitik tanpa kekerasan. Beberapa pekan lalu, kala sekitar 200 ribu kaum pembaru radikal berdemonstrasi di Lapangan Merah, tak satu pun peluru meletup dari laras senapan petugas. Memang, ada sedikit darah, ketika tentara merah dikirim ke Azerbaijan untuk meredakan perkelahian etnis antara Armenia dan Azerbaijan. Tapi alasan campur tangannya militer dalam kasus itu bisa dimengerti. Tanpa tentara merah, mungkin jatuh korban lebih besar. Sampai kapan dia bisa bertahan? Mungkin dia tak bisa pensiun dengan damai seperti Deng. Sebab, dengan demokratisasi yang dia kembangkan sendiri, segala kesalahannya lebih gampang terkuak. Para pesaingnya juga bisa lebih leluasa menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin. Deng lain. Politik dalam negeri RRC belum tercium oleh pembaruan. Kekuasaan Deng hampir absolut sehingga teramat sulit mencari orang RRC yang berani mengungkit kesalahannya. Sementara itu, bayang-bayang Gorbachev mulai goyang. Ajakan "dialog"-nya kepada para pembelot itu, dua pekan lalu, kini mulai redup. Diganti oleh penampilannya yang tampak grogi. Bahkan dia telah memerintahkan pasukan melucuti senjata para milisi Lithuania, memburu para prajurit pembelot, dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Memang, bayang-bayang itu baru goyang, belum berubah. Belum ada peluru yang meletup atau politikus Lithuania yang diindekoskan dalam penjara. Sementara situasi tampak makin lengang di jalanan meski Ahad kemarin, menurut laporan koresponden Jepang, suasana Vilnius sama seperti biasanya. Adakah Gorbachev mampu mencari jalan keluar, tanpa merobek-robek lambang Lithuania yang bukan "palu-arit" lagi, melainkan berupa ornamen seorang kesatria di punggung kuda? Prg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini