SUKHUMI tadinya dikenal sebagai kota peristirahatan di tepi Laut Hitam. Tapi kini turis yang paling suka bertualang pun dijamin tak punya niat berwisata ke kota di Republik Georgia bekas negara bagian Uni Soviet yang menolak bergabung dengan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, persemakmuran yang dibentuk untuk mewadahi kerja sama bekas negara-negara bagian bekas induk komunisme itu. Soalnya, akibat perang saudara yang berkepanjangan, hampir sebulan ini Sukhumi tanpa telepon dan listrik, dan pelabuhan macet. Jalan raya ke luar kota diblokir pasukan yang membelot. Bandara ditutup setelah tiga pesawat terbang komersial Georgia hancur di landasan, tersambar peluru nyasar. Tanpa jalur keluar-masuk ini, Sukhumi praktis sebuah kota terkepung dengan sekitar 200 ribu warganya terjebak di tengah pertempuran. Belum jelas siapa yang kini memegang kendali situasi. Jumat pekan lalu, stasiun televisi nasional mengabarkan pasukan pemerintah berhasil menerobos barikade. Namun, pasukan pemberontak etnis Abkhaz yang dipimpin Vladislav Ardzinba bukan sekadar gerombolan bandit yang mudah ditaklukkan. Sejak mereka mengangkat senjata terhadap pemerintah Tbilisi, Mei lalu, tak sekali pun mereka bertekuk lutut. Malah mereka hampir saja menewaskan Ketua Parlemen Georgia, orang nomor satu saat ini di negeri ini, Edvard Shevardnadze. Ketika itu, menteri luar negeri di zaman Mikhail Gorbachev masih memimpin Uni Soviet itu dengan berani mengunjungi Shukumi untuk berunding dengan pejabat setempat, untuk mencari jalan keluar bagi kemelut tak berkesudahan itu. Semasa masih berkantor di Moskow, Shevardnadze memang telah menyadari bahwa Georgia adalah nama lain untuk persoalan pelik. Di satu pihak, negeri kelahiran Stalin ini pernah dikenal sebagai salah satu negara bagian Uni Soviet yang makmur. Komoditi anggur dan jeruk sitrun marak seiring dengan berkembangnya industri berat dan pertambangan. Di lain pihak, Georgia, yang dihuni oleh beragam etnis (Georgia, Armenia, Rusia, Azerbaijan, Ossetia, dan Abkhaz), ternyata rawan konflik dan pergolakan politik. Bahkan, sebelum Uni Soviet bubar, tepatnya Februari 1988, konflik antaretnis di Georgia sudah meledak: di Kota Sumgait, yang mayoritas penduduknya etnis Azerbaijan, orang-orang Armenia dikejar-kejar dan dibunuh. Bahwa waktu itu konflik tak berkembang, itu karena pasukan Soviet yang didominasi etnis Rusia masih punya gigi dan memang ditakuti. Tapi, setelah Uni Soviet runtuh, etnis-etnis di Georgia seperti mendapatkan keberanian untuk berdiri sendiri. Mula-mula adalah kaum Abkhaz, yang kemudian didukung oleh dua provinsi utama lainnya, Ossetia dan Adzharia, yang ingin merdeka. Setidaknya, ketiga provinsi yang mayoritas penduduknya muslim ini sama-sama menginginkan otonomi sendiri, terlepas dari Georgia, yang penduduknya kebanyakan beragama Katolik Ortodoks. Perlawanan keras dan brutal terus berlangsung di Ossetia Selatan. Bisa jadi kesalahan Georgia adalah menaikkan Zviad Gamsakhurdia menjadi presiden pertama, setelah Georgia merdeka, April 1991. Di sini muncul ironi. Presiden hasil pemilihan demokratis di Georgia yang pertama kali itu memerintah dengan gaya diktator dan tidak memikirkan ekonomi Georgia yang merosot terus. Penswastaan tanah dan rumah, yang diiming-imingkan pada rakyat sejak sebelum merdeka, tak ada realisasinya. Suara oposisi dibungkam dengan memasukkan mereka ke penjara. Runyamnya situasi ekonomi di masa Gamsakhurdia inilah yang memancing pertikaian politik di parlemen dan di jalan-jalan. Setelah serangkaian protes, Gamsakhurdia terguling pada Januari 1992. Pemimpin kelompok paramiliter Tengiz Kitovani membentuk dewan militer untuk menguasai pemerintahan yang ditinggalkan. Gamsakhurdia lari ke Armenia via Azerbaijan. Di sana ia mengatur gerakan pasukannya yang dijuluki Zviadist. Sebulan lalu, Zviadist menguasai Kota Migreliya dan memotong jalur ke seluruh bagian barat Georgia. Meski Georgia telah koyak-koyak dicakar konflik etnis dan pertikaian politik, Shevardnadze mau juga mengambil risiko kembali ke tempat ia pernah berdomisili dan memimpin pemerintahan. Setelah berkeliling dunia untuk menyelesaikan konflik berbagai bangsa, Shevardnadze tampaknya tak bisa mengabaikan urusan di kampungnya. ''Saya adalah anak masyarakat Georgia, dan saya didorong oleh berbagai ketakutan akibat meluasnya perang saudara,'' katanya mengingatkan pada berbagai konflik etnis yang merebak di wilayah-wilayah bekas Uni Soviet. Mula-mula, kehadiran Shevardnadze justru menimbulkan pro dan kontra. Soalnya, ia dianggap orang ''orde lama'': dia dulu Ketua Partai Komunis Georgia. Meski dialah orang yang oleh Mikhail Gorbachev diajak berdiskusi untuk menggelindingkan glasnost dan perestroika dua gagasan besar yang menjadi awal terbukanya negeri-negeri Eropa Timur, dan seterusnya. Untung, lalu terbukti Shevardnadze mampu menyatukan banyak pemimpin lokal yang siap bertikai. Ia memang lincah berdiplomasi. Dan beberapa hari belakangan, bukti kepiawaian diplomasi Shevardnadze terlihat. Terlepas dari ada udang di balik batu atau tidak, Jumat pekan lalu lalu Gamsakhurdia mendadak memberikan perintah yang kontroversial: lupakan perbedaan pendapat, bantu Eduard membebaskan Sukhumi. Bila ini merupakan titik balik suasana di Georgia, orang bisa berharap kembali berlibur di negeri yang bisa mempertahankan budaya khasnya meski 70 tahun berada dalam sebuah uni yang berideologi merah ini. Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini