OTI, yang bekerja di sebuah pabrik yang tak kita ketahui, hanya kita kenal lewat Riding The Tiger. Dalam film dokumenter yang dibuat oleh Curtis Levy dari Australia ini, perempuan dari Jawa Barat yang masih muda itu jadi penyanyi dalam band para buruh di tempat kerja. Oti manis, ramah, dan tak banyak menuntut dari hidup. Pabrik tempatnya bekerja mungkin di wilayah Tangerang tampaknya bukanlah pabrik yang menyediakan fasilitas yang memadai: para buruh harus antre untuk mendapatkan air dari pompa bila mereka hendak membersihkan diri. Tapi Oti bukanlah suara getir. Ia suara yang bahkan tanpa ambisi. Seseorang bertanya tidakkah ia ingin jadi penyanyi terkenal dengan banyak uang. Ia menjawab (kalau saya tak salah ingat) bahwa banyak uang belum tentu berbahagia. Dan Oti, perempuan pekerja yang berada hanya setengah senti di atas garis kemiskinan itu, tersenyum, santai, tampak berbahagia. Apa artinya ''berbahagia'', Oti? Sepotong pertanyaan kuno. Sebuah pertanyaan yang tak kunjung terjawab dan terutama buat buruh. Dalam sebuah diskusi setelah menonton Riding The Tiger, seorang intelektual yang tidak jelas omongannya tapi jelas kemarahannya menilai bahwa film dokumenter itu kurang memperlihatkan kesengsaraan buruh Indonesia yang sebenarnya: wajah Oti terlampau manis, terlampau menyerah pada keadaan, dan tak representatis. Seorang intelektual lain yang juga tak begitu mudah diikuti membantah. Ia mengatakan bahwa justru barangkali Oti itulah yang mewakili suara kelas bawah Indonesia dewasa ini: orang-orang yang berbeda dari yang dibayangkan kaum aktivis. Tapi ... Oti, yang kita seakan-akan kenal di layar putih itu, mewakili sesuatu? Barangkali Oti adalah Oti, titik. Ia tidak mewakili siapa-siapa. Ia unik, dalam kebahagiaan dan ketidakbahagiaannya. Argumen Oti-adalah-Oti ini tentu saja bisa ditembak jatuh, terutama apabila kita mengaitkan Oti yang kita lihat dalam Riding The Tiger berniat memaparkan sebuah keadaan, bukan sebuah biografis. Kita memang senantiasa bersua kesulitan di hadapan Oti. Bukan karena senyumnya dan penderitaannya. Tetapi barangkali karena kita sendiri. Kita ingin berbicara tentang sebuah nasib yang buruk ataupun yang sudah lumayan dan kita ingin berbicara tentang sebuah ide. Kita ingin menemukan sebuah konsep yang diperlukan untuk menyusun sebuah proyek ataupun agenda. Tetapi dalam proses abstraksi itu, ketika sebuah konsep dirumuskan dan hanya satu aspek dalam diri Oti yang diutamakan, kita pada dasarnya tidak berada di dekatnya lagi. Apalagi bila kita, dengan berhasil membuat sebuah konsep yang ''dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah'', merasa memiliki sebuah peranti pengetahuan yang bisa dipakai kapan saja dan di mana saja. Sayangnya, zaman kita adalah zaman yang tidak beruntung dalam perkara konseptualisasi khususnya tentang Oti dan teman- temannya, tentang buruh dan nasib mereka. Zaman kita adalah zaman setelah Marxisme terguncang dengan hebat, sementara kaum buruh (seperti yang kita saksikan di Indonesia kini) tak kunjung juga mentas dari palung busuk yang luas. Di negeri- negeri industri yang lebih tua, proletariat ternyata tak terbukti menjadi kelas terakhir yang membebaskan dan mengakhiri sejarah. Pemerintahan atas nama kaum pekerja gagal di Eropa Timur, dan gerakan atas nama kelas buruh semakin ditinggalkan bahkan oleh para pekerja sendiri di Eropa Barat. Alienasi terjadi ternyata bukan lantaran mesin-mesin dikuasai oleh kaum majikan semata-mata. Keterasingan yang mengumpulkan jiwa itu juga terjadi karena hilangnya diri dalam organisasi, baik dalam bentuk partai komunis ataupun serikat sekerja sosial. Lalu apa dan bagaimanakah pembebasan itu? Ah, kata seorang teman, kita harus mengoreksi epistemologi kita tentang Si Oti dan dari sana berbicara tentang keadilan dengan pendekatan yang baru. Kita mungkin harus membebaskan diri dari godaan membentuk suatu konsep yang serba mencakup, yang begitu total dan tidak memungkinkan keanekaragaman hidup. Kita tidak bisa berbicara tentang buruh dan keadilan dengan cara lama. Kita mungkin harus menghayati makna dari ''acuh'', atau care, dan lebih ''mendengarkan'' ketimbang menentukan, dan dengan demikian peka terhadap adanya batas yakni keterbatasan kita sendiri dalam mengetahui dan keterbatasan kita di depan kedaulatan ''(orang) yang lain'' itu. Kita harus berteman dengan dia, dan berteman artinya tidak meringkusnya dalam rumus, juga dalam klaim. Ada simpati, juga respek .... Soalnya, kemudian, bagaimana dengan itu kita bisa merombak bangunan besar yang mengimpit beribu-ribu Oti, yang tampak bahagia tapi mungkin sebenarnya seperti bermimpi. Terutama ketika sosialisme sedang bingung dan di Indonesia perihidup yang berlangsung adalah perihidup yang ditopang oleh surplus tenaga kerja. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini