KETIKA upaya sipil gagal, tampillah militer. Hal ini sudah seperti rumus di Dunia Ketiga. Dan pekan lalu, itulah yang diduga akan terjadi di Aljazair. Menteri Pertahanan Liamine Zeroual muncul sebagai calon tunggal presiden negeri itu setelah konferensi nasional gagal memilih presiden, Rabu pekan lalu. Tahun lalu, ketua dewan negara yang berfungsi sebagai presiden, Mohammad Boudiaf, ditembak tewas. Dewan, pemegang kekuasaan tertinggi di Aljazair sejak dua tahun lalu, kemudian mengangkat salah seorang anggotanya, Ali Kafi, sebagai pejabat presiden. Kafi berjanji akan mengadakan pemilihan presiden dan 180 anggota parlemen - dan inilah yang gagal itu. Toh, meski pemilihan presiden definitif gagal, tersirat harapan wajah politik Aljazair bakal berubah. Liamine Zeroual, 52 tahun, serdadu tulen, dikenal cukup akomodatif dengan semua kelompok. Pidatonya di televisi awal bulan ini, misalnya, menyinggung kelompok militan dengan lebih lunak jika dibandingkan dengan pejabat lainnya. Tokoh militer yang pernah menjalani pendidikan di akademi militer Rusia dan Prancis ini, ketika menjadi kepala staf angkatan darat, akhir tahun 1980-an, berselisih paham dengan presidennya, waktu itu Chadli Benjedid. Karena itu, ia menerima pos barunya, di Rumania, sebagai duta besar. Baru pada pertengahan tahun lalu, ia dipanggil kembali, dan diserahi kuris menteri pertahanan. Sebagai menteri pertahanan, Zeroual, tak bisa tidak, ikut menggelindingkan politik pemerintahnya, dan mau tak mau mewarisi hitam-putihnya pendahulunya. Kelompok militan, terutama FIS (Front Islam Penyelamat), partai Islam yang menghendaki sebuah Aljazair yang berdasarkan hukum Islam, tentunya menganggap ia pun ikut bertanggung jawab atas terbunuhnya sekitar 2.000 orang sejak gejolak politik meledak di Aljazair, tahun 1992. Kenyataannya, situasi keamanan tak bertambah baik, malah sebaliknya. Menurut New York Times Services, belakangan ini muncul satuan pembunuh yang beroperasi di siang bolong, setelah jam malam berakhir. Karena korban-korbannya adalah kelompok militan, orang pun menduga satuan maut itu orang pemerintah. Tentu saja, pemerintah Aljier membantah, dan menyatakan tak tahu-menahu siapa di balik "pembunuhan misterius" itu. Dengan berkedok dan mengenakan pakaian loreng, demikian New York Times, satuan maut itu menculik para korban di kawasan kumuh Ain-Taya, Saoula, dan Bourj el Kifan, di luar Kota Aljier. Pada hari berikutnya masyarakat setempat pun geger: ditemukan sejumlah mayat di tepi jalan, dengan lubang peluru. "Sulit menghitung sudah berapa korban satuan pembunuh itu," ujar seorang diplomat Eropa. Ada yang menduga, sejak November lalu, sejak pembunuhan misterius pertama kali menggegerkan masyarakat, sudah belasan mayat ditemukan. Dan, kabarnya, korban itu anggota kelompok Islam militan. Akankah teror itu hilang setelah, misalnya, Liamine Zeroual menjadi presiden? Memang ada tanda-tanda uluran tangan damai dari pemerintah Aljazair pada kelompok militan. Misalnya, lebih dari 800 tahanan muslim militan dibebaskan bulan ini. Tak jelas, berapa orang anggota kelompok militan yang masih ditahan, tapi ada kabar mereka akan dibebaskan semua, kecuali dua orang: Abbassi Madani dan Ali Belhadj, dua pemimpin FIS. Dari pihak kelompok militan, enam pemimpin Islam Aljazair yang dianggap moderat telah mendirikan Gerakan Republik Islam. Gerakan yang anggotanya terdiri atas sejumlah imam dan khatib, termasuk ulama FIS, ini dimaksudkan sebagai media dialog antara kelompok oposisi dan pemerintah militer. Tapi sejauh ini Gerakan Republik Islam belum membuahkan apa pun. Satu pihak menuduh para jenderal tak bersedia datang berunding. Dan pihak yang lain menuding para pemimpin radikal enggan kompromi. Bertolak dari peristiwa itu, ada yang bilang, Zeroual punya kesempatan mempertemukan kelompok moderat di pihak Islam militan dan para pemimpin pemerintahan yang bisa menerima rekonsiliasi. Sudah ada pernyataan dari seorang pemimpin Front Islam Penyelamat, bahwa "kami tidak memusuhi angkatan bersenjata." Tapi, di Aljazair, yang kabarnya kelompok radikalnya punya cukup senjata dan anggota, mendamaikan pertikaian tentunya tak begitu mudah. Yakni, selama ada faktor yang bisa menjadi "bensin". Faktor itu adalah kondisi ekonomi yang sulit. Bukan rahasia lagi, antrean pembagian makanan dan roti hari-hari ini dikabarkan oleh para wartawan semakin panjang. Bila situasi ini memburuk, mereka yang dalam keadaan sulit biasanya gampang memilih jalur di rel kelompok radikal. "Kalau itu yang terjadi, ini berbahaya," kata Ali Rachedi dari harian El Haq. "Bukan lagi perebutan kekuasaan yang akan berlangsung, tapi sebuah revolusi." Mungkin ramalan itu berlebihan. Andai saja Zeroual, bapak tiga anak, mampu menjadi penengah dan bisa menggerakkan pembangunan ekonomi -- meski sulit dilakukan dalam waktu dekat -- "revolusi" mestinya bisa dicegah.Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini