Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah hamlet yang sederhana

Untuk ketiga kalinya bengkel teater rendra menyuguhkan hamlet, yang menggelinding dengan para pemain yang pas-pasan, kecuali adi kurdi, sudibyanto, dan beberapa lagi.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA banyak momen indah dari Shakespeare menghilang dari pentas, apa lagi yang tersaji bagi penonton? Rendra. Itulah gantinya. Dalam pementasan Hamlet di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang berakhir Jumat pekan ini, Rendra bisa dipastikan yakin benar bahwa kalibernya sebagai aktor maupun, lebih-lebih, sebagai master panggung mampu menghidupkan sebuah Shakespeare yang "menerjang segala syarat" untuk bisa bertahan selama tak kurang dari 10 malam (dengan karcis masuk Rp 30 ribu dan Rp 20 ribu). Syarat itu, yang dengan sengaja diabaikan pemenuhannya, adalah kemampuan pemain sebagai satu keseluruhan. Tapi ini bukan yang pertama. Dan bukan yang pertama pula bila ia tidak meleset. Teater tertutup Graha Bhakti Budaya malam itu menyaksikan Hamlet yang hidup, dan hidup dengan cantik -- meskipun ini Hamlet sebagai tokoh, yang diperankan Rendra sendiri. Sebagai pertunjukan, Hamlet juga harus dikatakan berjalan dalam kerangka sang maestro yang sudah tentu sangat sadar pada kebulatan konsep. Di pentas yang efektif dan elastis bagi pengembangan imaji, dibangun di bawah Ken Zuraida, klimaks-klimaks tercapai -- tanpa merendahkan kekuatan naskah asli, juga para pemain pengimbang seperti Adi Kurdi, lalu Sudibyanto, dan beberapa yang "di atas garis minimal": Awan Sanwani, Otig Pakis, Sitok Srengenge, Yakub Kupu, Sukarno D. Sayuti, misalnya. Building, penumbuhan emosi, bisa digelindingkan keseluruhan pemain (dengan megap-megap) - kemegap-megapan yang menyebabkan lima setengah jam pertunjukan itu sedikit layu, dalam tempo yang sebenarnya terencana baik. Ini lakon tentang keragu-raguan dan penunda-nundaan. Sebuah tragedi moral yang murni, bukan sebuah ironi situasi politik dan bukan protes (kecuali bagi mereka yang mencari-cari), di seputar satu pribadi yang seharusnya menyenangkan -- tajam, cerdik, bersahabat, tercinta dan sedikit manja, pemilik humor yang cendekia dan logika yang mengejutkan, namun hampir tanpa inisiatif dan banyak syak -- dari pemuda Hamlet, pangeran Denmark. Ini tontonan tentang putra mahkota yang dirusak kebahagiaannya oleh pamannya yang merebut tahta dengan, secara rahasia, membunuh ayahnya dan kemudian mengawini ibunya. "Tugas moral" membalas dendam dengan menghukum si bapak tiri itulah yang menurut dongeng Shakespeare diberikan oleh arwah sang ayah yang menampakkan diri, yang membangun cerita ini. Kelemahan pribadi Hamlet membangkitkan niatnya untuk lebih dulu "mengecek" kebenaran rahasia yang dibukakan arwah si ayah, termasuk dengan menyuruh rombongan pemain sandiwara melakonkan adegan pembunuhan persis seperti yang dahulu dilakukan pamannya, sambil ia sendiri berpura-pura menjadi gila -- tindakan yang membingungkan kekasihnya, Ophelia, yang akhirnya benar-benar berubah ingatan, setelah sang pangeran pura-pura menolak cintanya, dan dengan gegabah membunuh ayahnya, pembesar penjilat yang suka mengadu dan mengintip- intip. Ketika pada akhirnya, sehabis acara pertandingan belati lawan Laertes, Hamlet benar-benar menusukkan pedang ke tubuh sang paman, setelah "bukti dosa sang raja perampas" mewujud nyata, belati Laertes (bukan belati yang tumpul, ini belati tajam yang dibubuhi racun pula) sudah lebih dulu digoreskan ke tubuhnya dengan khianat -- sebelum akhirnya bisa direbut sang pangeran dan dikenakan ke tubuh si abang, Ophelia. Ketiganya rubuh -- empat, dengan ibunda yang penuh dosa, Gertruda, yang tanpa diketahuinya menenggak anggur beracun yang sebenarnya disiapkan Raja untuk Putra Mahkota. "Peliharalah dirimu dari bencana (akibat dosa), yang pabila datang tak hanya akan menimpa mereka yang durjana." Tetapi ini bukan kalimat Shakespeare ini kalimat Quran. Dan itulah pesan moralnya. Adegan tanding belati itu (dengan penggarapan kurang baik) disuguhkan sebagai pengganti perang anggar (diubah, mengingat seting keseluruhan yang dijadikan lebih universal, atau "lebih pribumi", di samping terus terang saja mengingat kemampuan pemain), dan menjadikan lakon ini pada mulanya memang cerita Eropa. Juga "hantu Eropa", arwah sang ayah (yang tak dimunculkan, dan hanya diwakili suara Untung Basuki). Ada juga adegan penggali kubur, khas selingan yang disukai sang pujangga untuk berhikmah-hikmah dengan jenaka -- yang dengan cerdas ditaruh dalam naskah sambil menunggu klimaks pertengkaran hebat Hamlet dan Laertes, setelah sang pangeran tahu bahwa yang akan dimakamkan tak lain Ophelia yang mati tenggelam. Adegan penutup, setelah keempat tokoh terkapar, adalah ini: Fortinbras, pangeran Norwegia, bersama bala tentaranya masuk panggung. Ia datang dalam satu paket peperangan merebut kembali wilayah-wilayah jajahan yang tadinya diambil Hamlet Tua, raja almarhum -- dan menjumpai sebuah tragedi, yang dengan monolog akhir yang singkat dibawanya ke alam kesadaran sebagai nasib kemanusiaan yang universal. Ia memberi hormat kepada Hamlet Muda, dan layar turun. Tapi itu dipotong. Untuk tontonan yang tak lagi menggantungkan pada seting kesejarahan sebagai titik berangkat (ingat, misalnya, Inggris waktu itu jajahan Denmark), kematian sang pahlawan sendiri agaknya bisa dianggap sebagai pemungkas. Ini memang pemilihan bentuk. "Pemribumian" dirasakan pertama kali pada kostum, wanita maupun pria, dengan jas dan jaket yang tidak mampu mengalahkan kesan tersebut dan mengangkatnya ke tingkat universal. Jas inilah, ditambah peci, yang menyebabkan Adi Kurdi, Raja, muncul sebagai "bupati Depok", sedangkan jas pada Rendra di adegan-adegan pertama menyebabkannya tampak seperti staf mafia yang gemuk dan tua. Tapi hanya itulah ukuran stilisasi. Dan di sinilah soalnya: tanpa dengan sengaja memasukkan kreasi baru yang secara total mengubah naskah menjadi milik sendiri, seperti gubahan-gubahan Oedipus pertama maupun kedua, Oedipus di Kolonus, Lysistrata, Barzanji, Suku Naga, Hamlet (tahun 1976), misalnya, atau Panembahan Reso yang penuh intrik, yang tampak betapapun para pemain yang telanjang dan mayoritas tak siap. Dan gugurlah momen-momen indah Shakespeare. Adegan Ophelia yang cantik, semampai dan gila, dengan monolog-monolog kecil dan nyanyian sumbangnya yang menyayat adegan dengan penggali kubur, di antaranya -- hanya karena kekurangan pemeran lawan. Sastra teatrikal yang merenung, bijak dan kocak, mendesis dan mendesah di beberapa bagian, tak terungkapkan. Pembatasan diri hanya pada stok dalam grup, dengan postur-postur yang tak bisa dipilih, dengan konsep teater yang memang bukan sekadar menyuguhkan yang "realis" dengan penempaan pemain pada akting, memang didasarkan pada kemungkinan yang tidak sejauh jangkauan teater profesional (dengan kontrak dan gaji yang tetap, yang para pemainnya datang dan pergi berdasarkan mutu) misalnya pada Teater Populer. Tapi itulah yang kita miliki. Dan tinggallah Hamlet, setelah melemparkan jas berkabungnya yang gelap, melangkah dengan gemulai, berderap dan meraung dan menari, menari, tumbuh pelan- pelan menjadi semakin muda, mewakili keindahan karya sang pujangga dan menjadikan semuanya cukup berharga.Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum