HARI-HARI belakangan ini, tampaknya, menjadi hari-hari yang paling berat bagi Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Bagaikan antrean rakyat Soviet yang panjang dan melingkar-lingkar untuk mendapatkan jatah roti, berbagai gejolak beruntun muncul di negara federasi itu. Teriakan, tangisan, dan makian kebencian terdengar ketika roda-roda besi tank tentara Soviet menggilas dengan dingin tubuh-tubuh rakyat Lithuania yang tak berdaya. Akibatnya, 14 nyawa melayang, ratusan lainnya luka-luka demi menegakkan demokrasi. Peristiwa tragis yang terjadi di hari Minggu dua pekan lalu itu marak ketika tentara Soviet mencoba menerobos blokade manusia yang mempertahankan stasiun televisi dan radio di Kota Vilnius. "Gorbachev, Anda sudah jadi Stalin!" teriak demonstran. Belum lagi hilang perasaan ngeri orang-orang yang menjadi saksi mata kebrutalan tentara Soviet itu dalam menindas bangsanya sendiri, persis sepekan kemudian, muncul berita yang nyaris sama. Kali ini terjadi di Riga, ibu kota Lithuania. Empat demonstran nasionalis tewas ketika berhadapan dengan tentara soviet. "Saya tidak terlibat pribadi terhadap kejadian tersebut," Gorbachev mengelak atas tuntutan untuk mempertanggungjawabkan kejadian berdarah di republik Baltik tersebut. Sebaliknya, ia menuduh kelompok nasionalis sebagai biang keladinya. "Tindakan antikonstitusional, pelanggaran hak asasi, tindakan tak bertanggung jawab terhadap tentara dan keluarganya merupakan sumber tragedi," kata peraih Hadiah Nobel untuk perdamaian itu. Kalau pernyataan itu jujur, mungkin benar analisa David Remick, seorang penulis di Washington Post, "Gorbachev sekarang hanya sekadar boneka." Semudah itukah Gorbachev kehilangan kontrol? Tidakkah peristiwa berdarah itu sengaja dilakukan pada saat perhatian dunia sedang tertuju ke perang di Teluk? Gorbachev memang harus memilih: stabilitas atau perestroika. Sejak kali pertama ia menggelindingkan ide perestroika dan glasnost, orang sudah menunggu sanggupkah ia mengajak negaranya melangkah ke pembaruan tanpa harus mengambil risiko pecahnya keutuhan Soviet. Banyak analis, sebagaimana Remick, menduga Gorby kini terpaksa berat ke stabilitas. Ini bisa dilihat, Gorbachev mulai mendekati partai komunis di beberapa republik dan menggunakannya untuk mempertahankan wibawanya. Ia juga mulai dikelilingi tentara-tentara yang kerjanya antara lain menutup koran-koran dan media massa independen. Namun, masih ada batu uji yang terakhir untuk menilai Gorbachev. Ia memberi kesempatan referendum kepada republik-republik yang ada untuk menentukan nasibnya -- lepas atau tetap berada dalam federasi Uni Soviet -- yang akan berlangsung 17 Maret mendatang. Jika referendum tak jadi dilaksanakan, atau jalannya referendum dengan cara-cara kotor, siap-siaplah kita menerima Gorbachev sebagai diktator baru. Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini