PAGI hari, 8 Januari 1991. Ma'ruf, pendulang intan berusia 19 tahun, memekikkan salawat kepada Nabi Muhammad saw. Kawasan Kait-Kait Gunung yang hening berilalang itu gempar. "Jelmaan Putri Galuh", intan nan kemilau telah ditemukan. Ma'ruf diarak ke rumahnya, di Desa Cempaka, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Sekitar 8 kilometer dari Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar. Seisi rumah menghujani Ma'ruf dengan peluk-cium dan tangis gembira. Semua takjub memandang intan mentah sebesar kancing baju itu. Intan biru muda 16 karat atau 3,1 gram itu mulus. Termasuk jenis terbaik nomor dua -- nomor satu warnanya biru tua. Harganya, dalam taksiran Jauhari (ahli intan) mencapai Rp 200 juta. Hari itu juga para pembelantikan -- pembeli dan pedagang intan -- dari Martapura dan Banjarmasin berlomba menawar. Ada yang berani membayar Rp 200 juta. Tapi Saberan, ayah Ma'ruf, mematok harga Rp 400 juta. Ketika pekan lalu ada yang menawar Rp 320 juta, Saberan belum melepasnya. Di Martapura, ada kecenderungan harga intan mentah akan menurun bila ditahan terlalu lama. Namun, Saberan bertahan. Ia berani meminjam uang untuk membeli jam tangan dan perabotan baru. Bahkan sudah berniat pergi haji sekeluarga. "Saya yakin intan kami harganya bisa bertahan, karena memang benar-benar dari jenis yang baik," katanya. Ma'ruf hanya bekerja sendirian. Jadi, nanti hanya perlu membayar retribusi ke Pemda 10% dari harga jual. Sebelumnya, persis awal tahun baru 1991, tujuh pendulang pimpinan Tarmidji menemukan intan 42 karat (8,2 gram) di pendulangan Sungai Danau, Martapura. Jauhari menaksir harganya Rp 1 milyar. Ini termasuk urutan ke-5 terbesar penemuan intan di Kalimantan Selatan. Juara pertama adalah intan lagendaris Trisakti (156,72 karat), yang ditemukan pada 1965 di Kecamatan Cempaka. Berikutnya, intan 61,5 karat ditemukan pada 1990. Urutan ke-3 dan ke-4, seberat 50 dan 43 karat, ditemukan pada 1987. Intan kelompok Tarmidji sempat ditawar Rp 500 juta. Tetapi ia bertahan pada Rp 1 milyar. Calon pembeli pun mundur dan tidak kembali lagi. Akhirnya, intan itu terpaksa dilepas dengan harga Rp 400 juta pada seorang pembeli dari Jakarta, karena tidak ada tawaran yang lebih tinggi. Hasil penjualan itu didermakan Rp 5 juta, lalu masing-masing memperoleh Rp 50 juta. Intan memang bisa menyulap orang jadi kaya. Makanya, 70% dari 16 ribu penduduk Kecamatan Cempaka memilih menggali lubang, bergelimang lumpur. Malinggang -- memisahkan pasir dari batu -- selama berbulan-bulan secara berkelompok atau sendiri-sendiri. Hidup dari utang ke utang. Kalau untung, dapat intan besar. Tapi itu jarang. Biasanya mereka hanya memperoleh se-piat dua piat (1 piat sama dengan seperempat karat). Padahal, se-piat cuma berharga Rp 60 ribu. "Secara umum, kehidupan mereka tergolong miskin," kata Camat Cempaka, Drs. Gusti Chairansyah. Yang kaya mendadak pun belum tentu bisa memanfaatkan uangnya. Begitu mendapat intan, mereka jadi konsumtif. Kalau duit habis, barang-barang dilego lagi sampai ludes. Contohnya para penemu intan Trisakti. "Sekarang mereka miskin lagi. Mendulang lagi," kata Chairansyah. Sementara itu, retribusi yang masuk ke Pemda Kabupaten Banjar pun tak seberapa. Tahun 1989-90 hanya Rp 33,5 juta. Tahun sebelumnya malah cuma Rp 5 juta. Sedangkan pada 1987-88 cukup lumayan, Rp 32 juta. "Soalnya, banyak penemuan yang tidak terpantau. Apalagi yang cuma ukuran 10 karat ke bawah," kata Kahumas Pemda Banjar, Drs. Gusti Noor Afiat. Priyono B. Sumbogo dan Almin Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini